Custom content

Selamat datang di blog Sekolah Tinggi Filsafat "AL-FARABI" Silahkan kirim tulisan anda ke alamat stf.alfarabi@gmail.com

LAGI-LAGI ESENSI


Lagi-lagi Esensi

Oleh: Khoiron Nafis, Mahasiswa STF Al- Farabi[1]


“..Pikirkanlah hal yg serius
dengan enteng dan hal yang 
enteng dengan serius..”
-Etthei Ishida


Hampir semua filsuf mempercayai dua hal yang terdapat dalam ‘diri’ segala sesuatu: esensi dan eksistensi. Terlepas dari mana dan apa yang akan diunggulkan oleh satu atas lainnya, esensi dan eksistensi adalah kajian yang mutlak diperlukan guna menjaga tradisi berfilsafat yang baik dan benar. Perbedaan yang pasti dalam setiap terma yang digunakan para filsuf memang acap kali mengundang kerut dahi yang berkepanjangan, namun demikian—seperti pandangan A.C Ewing[2]—hal inilah yang justru membedakan antara metode filsafat dan metode ilmu pengetahuan biasa. Filsafat membiarkan para pecintanya (baca: filsuf) untuk menyelami dan mengarungi dunia sebebas mungkin dengan gaya dan ‘ala’nya masing-masing. Sungguh menarik bukan?

Dalam pada itu, hari ini saya akan mengajak Anda bertamasya dan (sekaligus) berdialektika, saling menjawab dan menyoal tentang esensi: tentang ke-apa-an dan ke-bagaimana-annya(?)

Berawal dari Definisi

Esensi berasal dari bahasa Latin, essentia atau esse (ada). Istilah yang sepadan dalam bahasa Yunani ialah ousia. Esensi adalah ‘apa’ yang membuat sesuatu itu menjadi apa adanya.[3] Ia dibedakan dari eksistensi dan aksiden, namun bukan berarti ketiga hal ini dapat dipisahkan! Pembedaan ini didasarkan pada pendefinisian esensi yang mengacu pada aspek-aspek ‘lebih’ permanen dan mantap dari sesuatu yang berlawanan dengan hal yang berubah-ubah, parsial atau fenomenal.[4]

Definisi di atas kiranya bisa menjadi tolak pacu kita menuju pemahaman mengenai esensi. Karena memang dalam penggunaannya, secara jujur saya akui, terkadang kita tidak benar-benar adil dalam mengklasifikasi esensi, substansi dan aksiden. Sebab, pengertian yang terlampau luas dan makna yang terkesan tidak konsisten ketika berbenturan dengan ‘konteks tertentu’, hingga penjangkaran pada definisi yang ‘absolut’ terasa sulit dilakukan[5].

Pernyataan ini jangan lantas dipahami sebagai bentuk keputusasaan dalam pencarian difinisi, sebaliknya, pahamilah ia sebagai batasan ketidakterbatasan dari definisi esensi; sehingga dalam aplikasinya kita memperoleh keterbukaan pikiran untuk menggunakan istilah esensi itu sendiri, tidak hanya sebagai pengertian ke-kamus-an an sich!

Mengintip Pikiran para Pemikir

Seoarang pengusung teori Quinque viae, Thomas Aquinias, pernah memberi ilusrasi mengenai esensi dan eksistensi melalui cerita anak kecil yang bertanya tentang unicorn kepada ibunya. Ibunya menjawab bahwa unicorn adalah kuda putih yang bertanduk lurus di kepalanya. “Apakah unicorn itu ada?” tanya anak itu lagi. “Tentu tidak ada, Nak” jawab sang ibu berbalas senyum. Dalam dialog itu, Aquinas menyimpukan jawaban dari pertanyaan “apa itu unicorn” sebagai esensi dan pertanyaan tentang keberadaannya disebut eksintensi.[6]

Dalam hubungannya dengan aksiden, sekiranya patut di cantumpan apa yang ditulis Thomas Chatchart dalam bukunya yang berjudul Plato and Platypus into a Bar. Dia, dengan sederhana, memberikan diskripsi perbedaan esensi dan aksiden dengan contoh ciri esensial: “seorang laki-laki yang menikah adalah ia mempunyai istri”, cincin kawin yang terdapat di jari manis hanyalah merupakan aksiden belaka, sebab tanpa cincin itu ia masih dikatakan seorang suami.[7]

Kesimpulan yang tak Tersimpulkan

Setelah mengutip hasil mengintip pemikiran di atas, bolehlah kiranya ia menjadi obat dari rasa bingung yang tak kunjung rampung dan menjadi pengukir deskripsi tentang esensi dalam benak para kisanak!

Namun demikian, tambalan sulaman tulisan ini tak akan sempurna jika tak pernah mampir pada panggung dialektika. Maka, dengan segala hormat, saya haturkan kepada para filsuf yang hadir untuk menghakimi dan menghabisi segala kesalahan, hingga tak tersisa apapun kecuali kebenaran. Selamat Mencoba..

___________________
[1] Penganut aliran neo-Plettonic
[2] A.C Ewing, Persoalan-Persoalan Mendasar Filsafat, h. 18
[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 215
[4] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, h. 13
[5] Lih. Protasius Hardono Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, h. 121.
[6] Bryan Magee, The Story of Philosophy; Kanisius, Pustaka Filsafat (2008), h. 60. Pandangan ini, menurut hemat saya, sama dengan apa yang telah disebutkan Ibn Sina, bahwa jawaban dari pertanyaan “apakah itu (quid sit)?” adalah esensi, terlepas ia mewujud (ada) atau tidak. Hanya saja Ibn Sina menambahkan bahwa Tuhan adalah Dzat yang kemudian menyebabkan esensi itu meng-eksistensi. Dari bangunan ini kemudian argumentasi esensialismenya terbangun. Lebih lanjut lih. Dr. Adelbert Snidjer, Seluas Segala Kenyataan; Kanisius, Pustaka Filsafat (2009), h. 91-92.
[7] Thomas Catchart & Dabiek M.Klein, Plato and Platypus into a Bar, trj. P.Hardono Hadi, Plato Ngafe Bareng Singa Laut, Kanisius (2011), h. 200

0 komentar: