Custom content

Selamat datang di blog Sekolah Tinggi Filsafat "AL-FARABI" Silahkan kirim tulisan anda ke alamat stf.alfarabi@gmail.com

BASMALAH, FILSAFAT DAN ALFIYAH IBNU MALIK DALAM BINGKAI LOGIKA

Diktat I Kuliah Filsafat STF Al-Farabi 

BASMALAH, FILSAFAT DAN ALFIYAH IBNU MALIK DALAM BINGKAI LOGIKA[1]
                                                                    Oleh: Ach Dhofir Zuhry


                                                                                 ”Sejatinya setiap orang menghasrati pengetahuan
                                                                                                          Ustadz Aristoteles (384-322 SM)

a. Laisal-Mar’u Yuladu ‘Aliman

Ta’allam, fa laisal-mar’u yuladu ‘aliman, (belajarlah! karena tak ada manusia yang terlahir pandai). Demikian kata Imam az-Zarnuji, profesor pendidikan dan penulis mahakarya Ta’lim al-Muta’allim. Artinya kepandaian, kecerdasan dan kejeniusan praktis adalah usaha manusia, begitu juga dengan kesuksesan, kemuliaan dan kehormatan diri semua tergantung pada usaha manusia. Menjadi pandai atau bodoh, baik atau buruk, memilih cinta atau benci, menjadi kekasih atau musuh dan seterusnya dan sebagainya... semua sudah tersedia dihadapan kita. Tuhan sudah menghamparkan dua jalan dan kemungkinan untuk kita tempuh. Adalah tugas manusia untuk menjadi apa, siapa, kenapa, bagaimana, kapan dan di mana dalam segala aksentuasi hidup.

Sejak mula, Tuhan sudah meng-install software dalam diri manusia bernama fithri (suci), hanif (lurus) dan dha’if (lemah). Dari tiga potensi itu akan lahir sekian juta kecenderungan dalam diri manusia, termasuk kecenderungan menghasrati kebaikan dan keburukan sekaligus. Benarlah jika ustadz Aristoteles (384-322 SM) mengatakan bahwa setiap orang menghasrati pengetahuan. Nah, pertanyaan yang muncul kemudian, kenapa manusia harus berpengetahuan, mengapa harus terus-menerus menyelenggarakan kabaikan, dan yang paling penting: kenapa manusia harus berfilsafat? Seperti kata Imam Az-Zarnuji: kenapa manusia harus berenang di lautan makna (wasbah fi buhuril-fawaid)?

b. Basmalah, Falsafah dan Alfiyah

Basmalah adalah ayat pertama dari surat al-Fatihah sekaligus surat pertama dalam al-Qur’an. Beberapa riset membuktikan, basmalah yang jumlah hurufnya 19 memiliki banyak keistimewaan luar biasa, karena hampir semua isi al-Qur’an yang terdiri dari 325.345 huruf, 6.236 ayat, dan 114 surat adalah kelipatan dari 19 (jumlah huruf basmalah). Ini bukan semata-mata kebetulan, tapi membuktikan betapa al-Qur’an adalah benar-benar wahyu, karena akal manusia tidak akan mampu untuk menyusunnya. Angka 19 adalah angka yang sangat istimewa, terdiri dari angka 1 dan angka 9. Kenapa demikian? karena jumlah huruf dalam Basmalah yang 19 memiliki hubungan yang sangat erat dengan Al-Qur’an, dan tidak dapat dipisahkan sampai kapanpun, serta tidak akan habis di bagi dengan angka lain.

Ditinjau dari pembagian kata itu, bahwa lafadz basmalah terdiri dari 1 huruf dan 4 buah kata: Yaitu huruf ba’ dan lafadz (1) ism, (2) Allah (lafdhul jalalah), (3) ar-rahman, dan (4) ar-rahim. Sekarang kita buktikan di manakah letak keistimewaan angka 19 dari jumlah huruf basmalah. Kata ism di ulang dalam Al-Qur’an sebanyak 19 kali, lafadz Allah (lafdul jalalah) sejatinya terbagi atas tiga bagian yaitu, Allahu, Allaha, dan Allahi. Allahu dalam Al-Qur’an ada 980 kata, Allaha di ulang 592 kali, sedangkan Allahi terdapat 1.126 lafadz. Dengan demikian berarti jumlah lafdzul jalalah dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 2.698 (980+592+1126=2.698) atau kelipatan dari 19 (19x142=2.698). Kata ar-rahman tercatat 57 kali, kelipatan dari 19 (19x3=57) atau perkalian kata bism dengan ism (19x3=57). Kata ar-rahim sebagai salah satu asma Allah terdapat 114 sama dengan jumlah surat dalam Al-Qur’an atau kelipatan dari 19 (19x6=114). Oleh karena itulah Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 225 tidak menggunakan kata rahim tapi halim, karena bila Allah SWT tetap menggunakan kata rahim maka jumlahnya menjadi 115 dan bukan kelipatkan 19. Dengan demikian secara keseluruhan lafadz basmalah lengkap terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 114 atau sama dengan jumlah surat, walaupun ada satu surat dalam Al-Qur’an tidak diawali dengan basmalah yaitu surat ke-9 (At-Taubah), akan tetapi dapat di imbangi dengan kata basmalah dalam surat ke 27 An-Naml, yaitu pada permulaan surat dan pada ayat ke 30. (Surat nabi Sulaiman AS kepada Ratu Bilqis dari negeri Saba’)

ÇÌÉÈ OŠÏm§�9$#zÉ`»yJôm§�9$# «!$# Oó¡Î0 ¼çm¯RÎ)ur `»yJø‹n=ß™`ÏBçm¯RÎ)

Jadi dengan adanya basmalah dalam surat An-Naml, maka lafadz basmalah benar-benar terulang 114 kali, atau sama dengan kelipatan 19 (19x6=114). Tapi jika kita teliti secara seksama dari surat At-Taubah (surat ke-9) menuju surat An-Naml (surat ke-27) mengindikasikan adanya transformasi 19, maksudnya dari 9 menuju pada 27 yaitu terdapat 19 bilangan. Sekedar diketahui bahwa angka 19 ini sesuai dengan jumlah ruas jari, tulang rusuk dan tulang punggung manusia, serta masih banyak lagi unsur 19 dalam diri manusia.

Dari basmalah ini kita berangkatkan kapal pesiar filsafat untuk mengarungi samudera ilmu pengetahuan. Menurut Al-Kindi filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan tentang eksistensi[2]. Dengan demikian filsafat bukan merupakan pengetahuan an sich, tetapi juga merupakan ”pisau analisa” dan cara pandang yang luas (weltanschauung) tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Filsafat adalah intisari kearifan dari semua aspek kehidupan. Filsafat bukan semata-mata satu bidang ilmu untuk dikaji, tapi lebih jauh lagi filsafat adalah cara untuk mengkaji segala ilmu secara kritis dan holistis.

Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq) dan secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr). Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat meluas dan berkembang ke berbagai ranah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran solutif dari berbagai problematika sampai saat ini. Sejauh ini, filsafat bagi sementara orang kurang begitu down to earth alias kurang membumi, sehingga tidak begitu diminati dan diakrabi. Dengan lain kata, filsafat masih ”dianggap” terlalu mythos dan terlampau logos. Mempelajari dan memasuki alam pikir falsafi seringkali dianggap buang-buang waktu dan tidak jarang membuat seseorang menjadi ”gila”, teralienasi dan menyusuri jalan-jalan sunyi kehidupan. Orang kebanyakan an sich lebih tertarik mempelajari ekonomi, hukum, kedokteran maupun pendidikan yang aplikasi dan orientasi kerjanya jelas, padahal filsafat adalah embrio dari segala ilmu, induk segala pengetahuan.

Namun demikian, ketika seseorang dapat berpikir logis, sistematis dan rasional sejatinya ia telah berfilsafat. Seorang petani, misalnya, ketika menjalani aktifitas pertanian dengan penuh perencanaan dan perhitungan, maka ia telah menerapkan filosofi bertani yang baik dan benar. Dalam hal ini filsafat lebih diposisikan sebagai metode dan alat, sehingga bagi petani, filsafat adalah ”cangkul” dan ”cara mencangkul yang benar”. Manakala seorang petani tahu dan memiliki cangkul yang proporsional (ontologi) dan bisa mencangkul secara prosedural (epistemologi) dan lantas merawat tanamannya dengan baik tentu hasil taninya akan maksimal (aksiologi). Maka, jadilah ia petani yang philosophia alias filsuf pertanian. Dengan demikian, memasuki alam pikir falsafi sangat mudah dan sederhana, tidak harus cerdas (apalagi jenius), modalnya cuma satu dan gratis, yakni sikap kritis. Dan, ini bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan di manapun. Bagaimana itu bisa dilakukan? Marilah kita jalan-jalan ke tanah para filsuf pada pertemuan-pertemuan yang akan datang. Agar lebih mudah memahami kerangka dasar filsafat, perhatikan tabel berikut!

Lantas bagaimana dengan Alfiyah? Ada apa gerangan? Apa pula hubungannya dengan basmalah dan filsafat? Alfiyah, karangan Ibnu Malik Al-Andalusi adalah nadzam (puisi) sebanyak seribu bait yang berisi tentang ilmu gramatika bahasa Arab (Nahwu) dan morfologi (Sharf) yang di dalamnya juga memuat sintaksis-semantik (I’lal). Alfiyah adalah risalah tentang ilmu linguistik, sementara filsafat sendiri harus di-bismillahi dari ilmu linguistik (bahasa) dan logika. Maka, jelaslah bahwa basmalah, falsafah dan alfiyah sangat berhubungan erat. Mari kita pelajari Bab I bait ke-8 dari Alfiyah Ibnu Malik tentang pengertian Kalam: ”Kalamuna lafdhun mufidun kastaqim # wasmun wa fi’lun tsumma harfunil kalim”. Arti sebenarnya sebagai berikut: definisi kalam adalah kata yang memiliki fungsi dan bisa dimengerti, misalnya: istaqim (konsistenlah!). Kata itu dibagi menjadi 3, yakni: isim (kata benda), fi’il (kata kerja) dan huruf (kata depan atau preposisi).

Nah, marilah kita berenang di lautan makna. Sekarang kita geser sedikit pemahaman menganai bait alfiyah di atas, sehingga terjemah filosofis dari bait tersebut adalah: ”Ucapan para filsuf harus arif, bijak dan aplikatif. Yakni harus mengandung unsur ontologi (isim), epistemologi (fi’il) dan aksiologi (huruf)”. Bagaimana menurut Anda? Saya yakin Anda sudah mulai tertarik dengan logika basmalah, falsafah dan alfiyah. Semoga...

Kepanjen, Shafar 1432 H
___________________
[1] Bismillahirrahmanirrahim, Allaahummaj’alna wa jamaa’atana min ahlis-tibaaqil haqqi wal-khairaat. Kuliah perdana STF Al-Farabi pada 10 Shafar 1432 H/15 Januari 2010. Mudah-mudahan Allah SWT meridhoi dan Rasulullah SAW menyafa’ati sekolah ini.
[2] Al-Farabi, al-Jam‘ Bayn Ra’yay al-Hakîmayn, ed. Albert Nashri Nader, Beirut: Mathba‘ah al-Kathulikah, 1969, hlm. 81.

1 komentar: