FILSAFAT ISLAM PASCA IBNU RUSYD
Oleh: Ach.
Dhofir Zuhry
رايت الحق فالاعيان
حقا # وفي الاسماء فلم اراه سواني
I. IBNU "SI BELERANG
MERAH" ARABI (560/1165-638 H/1240 M)
A. Biografi (مناقب )
Abu Bakr
Muhammad ibn al-‘Arabi, lahir di Murcia, Spanyol ini lahir pada tanggal 17
Ramadhan 560 H /1165 M. Dia dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan
”Muhyiddin” (Sang Penghidup Agama) dan "al-Kibrit al-Ahmar" (si
Belerang Merah). Kendati tidak mendirikan tarekat populer—atau agama massa
menurut istilah Fazlur Rahman—pengaruh Ibn Arabi atas para sufi meluas dengan
cepat, melalui mahasiswa-mahasiswa terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran
dengan terminologi intelektual maupun filosofis.
Ayah Ibn
Arabi adalah pegawai Muhammad ibn Mardanisy, penguasa Murcia. Ketika ia berusia
tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahhidun (al-Mohad) sehingga
ia membawa pergi keluarganya ke Sevilla. Di tempat itu, sekali lagi dirinya
menjadi pegawai pemerintah. Pada masa mudanya Ibn Arabi bekerja sebagai
sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis bernama Maryam, yang
berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun 590 si Belerang Merah
meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun 597/1200, sebuah ilham
spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun kemudian, ia
melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan dengan seorang syaikh dari
Isfahan yang memiliki seorang puteri. Pertemuan dengan perempuan ini mengilhami
Ibn ’Arabi untuk menyusun Tarjumân al-Asywâq (Tafsir Kerinduan). Di
Mekkah pula ia berjumpa dengan Majd al-Din Ishaq, seorang syaikh dari Malatya,
yang kelak akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn Arabi,
Shadr al-Din al-Qunawi (606-673/1210-1274).
Dalam
perjalanan menyertai kepulangan Majd al-Din ke Malatya, Ibn Arabi bermukim
sementara waktu di Mosul. Di kota ini, ia ditahbiskan oleh Ibn al-Jami’,
seseorang yang memperoleh kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidhr. Selama
beberapa tahun Ibn Arabi melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah, Mesir,
serta kota suci Mekkah dan Madinah. Pada tahun 608/1211-12 M, ia dikirim ke
Bagdad oleh Sultan Kay Kaus I (607-616/1210-19) dari Konya dalam misi yuridis
kekhalifahan, kemungkinan ditemani oleh Majd al-Din. Ibn ’Arabi memiliki
hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat berisi nasihat
praktis. Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik Zhahir
(582-615/1186-1218), putra Sultan Saladin (Shalah al-Din) al-Ayyubi.
Pada tahun
620/1233, Ibn Arabi menetap di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk
al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia
menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut,
penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah
seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn
’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) untuk mengajarkan karya-karyanya
yang ditengarai berjumlah 290 buah. Ia pun menyebutkan tujuh puluh karya
tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang menunjukkan ketidaklengkapan informasi
tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa dalam upaya menyempurnakan studi
tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk
mempelajari pengetahuan eksoteris seperti tujuh qira’ah al-Quran,
tafsir, fikih, dan, terutama, hadis.
Ibn Arabi wafat
di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 H pada
usia tujuh puluh tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar
ke hampir seluruh Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.
B. Karyanya ( نتائج الفكر )
Ibn Arabi tidak
menulis seperti penulis biasa. Ia pernah berkata, “Apa yang telah aku tulis,
tidak pernah tertulis dengan satu tujuan sebagaimana penulis-penulis yang lain.
Cahaya-cahaya dari inspirasi Ilahi sering terpancar kepadaku dan hampir
menyelubungiku, hingga aku hanya bisa mengekspresikannya dari pikiranku dan mencatat
di kertas apa yang telah ditampakkan untukku. Jika tulisanku tampak berupa
sebuah komposisi, itu terjadi tanpa disengaja. Sebagian karyaku, telah kutulis
karena perintah dari Tuhan, yang telah disampaikan kepadaku di dalam mimpi atau
melalui kasyaf. Kalbuku berpaut di pintu Hadirat Ilahi, menunggu dengan penuh
kesadaran apa yang akan datang ketika pintu itu terbuka. Kalbuku fakir dan
membutuhkan, kosong dari segala ilmu. Ketika sesuatu mulai tampak kepada kalbu
dari balik tirai, kalbu segera menaatinya dan mencatatnya dalam batasan yang
sudah ditentukan.”
Karya Ibn Arabi
yang terbesar dan ensiklopedis adalah Futuhat al-Makkiyyah. Kitab ini
mempunyai 560 bab yang membicarakan prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu
sakral dan juga tercatat di dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn
‘Arabi. Futuhat, tegas Ibn ‘Arabi, bukanlah satu karya individualis,
tetapi, “Ketahuilah bahwa susunan bab-bab di dalam Futuhat bukanlah hasil
dari pilihanku sendiri maupun dari pikiranku. Sebenarnya, Tuhanlah yang telah
mendikte kepadaku semua yang telah kutulis lewat malaikat inspirasi.”
Beberapa
peneliti Ibnu Arabi, seperti Nasr menjelaskan tentang isi Futuhat, “The
Futuhat contains, in addition to the doctrines of Sufism, much about the lives
and sayings of the earlier Sufis, cosmological doctrines of Neoplatonic origin
integrated into Sufi metaphysics, esoteric sciences, alchemical and
astrological symbolism, and practically everything else of an esoteric nature
which in one way or another has a found a place in the Islamic scheme of
things.”
Fushush
al-Hikam, menurut Ibn Arabi adalah pemberian dari Nabi sendiri. “Amma ba’du, aku telah melihat Rasulullah
shallahu ‘alaihi wa sallam, dalam satu penglihatan batin (mubasysyirah) yang
telah diperlihatkan kepadaku di sepuluh hari terakhir di bulan Muharam pada
tahun 627 di kota Damisyq. Dan di tangan beliau, ada sebuah kitab. Beliau
berkata kepadaku: ‘Ini adalah kitab Fushush Al-Hikam. Ambillah ia dan
sampaikanlah ia kepada manusia agar bermanfaat.’ Dan aku berkata: ‘Aku dengar
dan aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya”
Jelas dari
kalimat Ibn ‘Arabi, kitab Fushush al-Hikam bukanlah karyanya sendiri.
Tetapi secara esensial ia adalah kitab dari Sumber Ilahi. Ibn Arabi sekadar
"mesin ketik". Tentang nama kitab ini, Qaysari menafsirkan
ketika Ibn Arabi memberitahu, “Ini adalah kitab Fushush al-Hikam”, ada
kemungkinan di sini beliau ingin memberitahu bahwa nama kitab tersebut di sisi
Allah adalah sebagaimana yang disebutkan, maka itu Nabi menamakan kitab itu
sesuai dengan namanya di sisi Allah. Sudah tentu antara “nama” (al-ism) dan
“yang dinamakan” (al-musamma) akan ada relasi". Dengan demikian “yang
dinamakan” adalah intisari (quintessence) hikmah-hikmah dan rahasia yang
telah diturunkan kepada arwah para nabi yang disebut dalam kitab itu. Al-Fashsh
juga berarti tatakan atau penyangga batu-cincin atau cap-cincin (seal).
Karena kalbu insan kamil adalah tempat tertulisnya hikmah Ilahiah, maka itu
kalbu diumpamakan sebagai al-fashsh.
Dari itu kata
Fushush al-Hikam berarti tempat terletaknya batu-cincin yang bernilai
atau dengan kata lain, ia adalah kalbu-kalbu insan kamil yang terletak dan
terkandung di dalamnya hikmah dan rahasia Ilahiah. Dan Insan Kamil di
sini direpresentasi dengan para Nabi, yang kalbu mereka adalah lokus
termanifestasinya hikmah Ilahiah. Al-Kalimah yang sebenarnya mengandung al-fashsh,
karena yang individual yaitu “al-juz’i” yang akan terkandung di dalam
yang universal yaitu “al-kulli” dan tidak sebaliknya. Dengan kata lain,
manusia dalam derajat individual yang terkandung di dalam manusia derajat
universal. Ketika terjadi penyatuan antara manusia individual dengan Hikmah
Ilahiah, manusia itu adalah determinasi Kalimat Tuhan. Maka itu setiap nabi
sebagai Insan Kamil mengandungi dirinya sendiri yaitu diri individualnya karena
ia mengandungi Hikmah Ilahiah. Dan berkaitan dengan diri universal dan
esensialnya pula, dia adalah identik dengan Hikmah tersebut. Sekali lagi saya
mau menegaskan, secara lahiriah kelihatannya manusia yang mengandungi Hikmah Ilahiah
tetapi sebenarnya Hikmah Ilahiah yang mengandungi manusia.
Selain dari
dua kitab ini, Ibn Arabi telah menulis banyak sekali risalah-risalah tentang
kosmologi seperti: Insya' al-Dawair (The Creation of the Spheres),‘Uqlat
al-Mustawfiz (The Spell of the Obedient Servant), dan Al-Tadbirat
al-Ilahiah (The Divine Directions). Mengenai metode praktis yang harus
diikuti para murid dan salik tarikat (thariqah), seperti al-Risalat
al-Khalwah (Treatise on the Spiritual Retreat) dan al-Washaya
(Spiritual Counsels). Si Belerang Merah juga menulis berbagai aspek
al-Quran, termasuk simbolisme huruf-huruf, mengenai asma’ dan sifat Ilahiah,
mengenai syariat dan hadis dan hampir semua yang berkaitan dengan urusan
religius dan spiritual. Beliau juga pernah menulis syair sufi seperti Tarjuman
al-Asywaq (The Interpreter of Desires) dan juga Diwan. Secara
kronologis, berikut ini adalah daftar karya-karya Ibn Arabi adalah:
- Mashahid al-Asrar al-Qudsiyya (Contemplations
of the Holy Mysteries) (Written in Andalusia, 590/1194).
- Al-Tadbirat al-Ilahiyya (Divine
Governance of the Human Kingdom). Written in Andalusia.
- Kitab Al-Isrâ’ (The
Book of Night Journey). Written in Fez, 594/1198.
- Mawaqi' al-Nujûm (Settings
of the Stars). Writen in Almeria, 595/1199.
- ‘Anqa` Mughrib (The
Fabulous Gryphon of the West), Written in Andalusia, 595/1199.
- Insha’ al-Dawa’ir (The
Description of the Encompassing Circles). Written in Tunis, 598/1201.
- Misykat al-Anwâr (The
Niche of Lights). Written in Mecca, 599/1202/03.
- Hilyat al-Abdal (the
Adornment of the Substitutes). Written in Taif, 599/1203.
- Rûh al-Quds (The
Epistle of the Spirit of Holiness). Written in Mecca, 600/1203.
- Taj al-Rasâil (The
Crown of Epistles). Written in Mecca, 600/1203.
- Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya.
Written in Yerusalem, 601/1204.
- Tanazzulat al-Mawsiliyyai
(Descents of Revelation). Written in Mosul, 601/1205.
- Kitab al-Jalal wa al-Jamâl (The
Book of Majesty and Beauty). Written in Mosul, 601/1205.
- Kitab Kunh ma La Budda lil Murid Minhu (What is
essential for the Seeker). Mosul, 601/1205.
- Fusûs al-Hikam
(Vessels of Wisdom). Damascus, 627/1229.
- al-Futûhât al-Makkiyyah (Meccan
Illuminations). Mecca, 1202-1231/629 H
C. Pemikiran Filsafatnya ( اثرالتفكير )
I. Pengaruh Ibnu Rusyd
Nama Ibn Arabi
sudah menjadi hampir sinonim dengan doktrin wahdat al-wujud. Benar bahwa
doktrin ini mempunyai peran sentral dalam metafisis Ibn ‘Arabi, tetapi agaknya
pesan beliau bukan sekadar doktrin tersebut. Seluruh kehidupan Syaikh al-Akbar
dan doktrin ajarannya ingin menyatakan bahwa esoterisme adalah Prinsip dan juga
Jalan. Dengan kata lain, Prinsip Kebenaran (the Principle of the Truth)
dan juga Jalan kepada Kebenaran (the Way to the Truth) adalah
esoterisme. Satu-satunya tujuan Ibn Arabi adalah untuk mengenal—dan malah untuk
merealisasikan—Realitas.
Semasa
remajanya, seperti remaja-remaja lain, ia juga punya waktu untuk
bersenang-senang selain dari waktu belajarnya. Pada satu masa ketika ia lagi
bersenang-senang di Sevilla, dia telah mendengar suara yang memanggilnya
beliau, “Hai Muhammad, bukan untuk ini kamu diciptakan.” Ia menjadi gelisah dan
penasaran dengan pengalaman ini. Dalam kegelisahan itu, ia melarikan diri dan
menyendiri untuk beberapa hari di sebuah tempat pekuburan. Di situlah Ibn Arabi
mengalami tiga musyahadah yang mempunyai pengaruh besar dalam
perkembangan spiritual masa depannya. Dia telah bertemu Nabi Isa, Musa, dan
Muhammad—yang telah memberi instruksi spiritual untuknya[1].
Pertemuan spiritualnya dengan tiga nabi besar yang mewakili tradisi
Ibrahimiyah, mempunyai arti implisit yang sangat fundamental dalam doktrin ‘irfan
Ibn ‘Arabi. Tradisi Ibrahimiyah terpusat pada doktrin tauhid. Tauhid dalam
perspektif Ibn Arabi tidak lain dan tidak bukan adalah wahdat al-wujud.
Doktrin ini adalah prinsip esoterisme dan mengejawantahkan doktrin tersebut
adalah jalan esoterisme.
Doktrin ini
akan menjadi “akar segala sesuatu” (the root of all things). Dan, secara
lebih spesifik lagi ia akan mejadi akar metafisikanya. Ketika al-wujud
adalah “the one and only Real”, yang lain semuanya akan menjadi relatif atau
manifestasi bagi-Nya. Dan sebagai manifestasi, setiap detik seluruh ma siwa
Allâh adalah “Dia dan tidak Dia”. Ini adalah apa yang Schuon sering
istilahkan sebagai paradoks spiritual. Paradoks inilah yang telah diceritakan
begitu indah sekali dalam pertemuan bersejarah antara Ibn Arabi dengan Ibn
Rusyd. Ibnu Arabi mengemukakan:
"Aku
pernah menginap sehari di Cordoba, di rumah Abu al-Walid Ibn Rusyd. Dia telah
menyatakan keinginannya untuk bertemu denganku, karena dia pernah dengar
beberapa ilham yang aku dapatkan semasa berkhalwah. Dan dia merasa sangat
tertarik berkenaan ilham itu. Akhirnya ayahku, salah seorang teman dekatnya,
telah membawaku kepadanya dengan alasan ada urusan dagang, agar Ibn Rusyd
mendapat kesempatan untuk berkenalan denganku.
Pada masa itu
aku adalah seorang remaja tanpa jenggot dan cambang di wajahku. Ketika aku
memasuki rumahnya, filosof itu pun menyambutku dengan penuh kemesraan dan
keramahan, dan dia terus memelukku. Kemudian dia berkata kepadaku, “Iya.” Dan
kelihatan sekali kegembiraan pada wajahnya karena aku paham apa yang dia
maksudkan. kemudian dia melontarkan satu pertanyaan, “Solusi apa yang telah
kamu ketahui dari hasil kasyaf dan ilhammu?” Apakah ia sejajar dengan hasil
pemikiran spekulatif?” Aku jawab, “ya dan tidak. Di antara ya dan tidak ini,
tidak ada arwah akan terbang jauh di atas materi dan leher-leher akan terpisah
dari tubuh-tubuhnya.” Ibn Rusyd menjadi pucat, dan aku lihat dia menggeletar
ketika dia membisik, “La hawla wa la quwwata illa billah” (tidak ada daya dan
kekuatan kecuali dengan Allah). Ini adalah karena dia paham isyaratku. Tidak
diragukan lagi Ibn Rusyd adalah seorang pemikir dan faylasuf besar. Dia
berkata, “Ini adalah sesuatu yang aku sendiri telah membuktikan kemungkinannya
tanpa pertemuan dengan orang yang telah mengalaminya. Subhanallah, aku hidup
pada masa adanya ahli pengalaman (Ibnu Rusyd) ini, seorang yang bisa membuka
kunci pintu-pintu-Nya. Mahasuci Dia yang menganugerahkan aku pertemuan dengan
salah seorang dari mereka dengan mataku sendiri.[2]
Dalam
pertemuan keduanya pada tempat yang sama Ibn Arabi menceritakan: "Aku
ingin bertemu dengan Ibn Rusyd sekali lagi. Rahmat Ilahi membuat dia tampak
kepadaku dalam keadaan ekstase hingga di antara dirinya dan diriku ada tirai
yang tipis. Aku melihatnya lewat tirai itu tanpa dia melihatku atau menyadari
bahwa aku berada di sana. Sebenarnya dia terlalu tenggelam dalam tafakkurnya
sehingga tidak sadar terhadapku."
II. Filsafat Wahdah al-Wujud
Garis besar (outline)
pemikiran filosofis-metafisis Ibnu Arabi adalah Kesatuan Eksistensi atau Wahdah
al-Wujud[3] ada yang
mengatakan wihdah al-Wujud (Unity of Being) dan Manusia Paripurna (al-Insan
al-Kamil) atau dalam bahasa Ibnu Arabi Haqiqah Muhammadiyah,
sebagaimana dipaparkan secara apik oleh mahasiswanya, Abdul Karim al-Jilli dalam
karyanya al-Insan al-Kamil fi Ma'rifah al-Awakhir wa al-Awa'il.
Melalui doktrin Wahdah al-Wujud ini Ibnu Arabi menegaskan bahwa
hanya Tuhanlah satu-satunya eksistensi yang riil, dan dengan demikian segala
sesuatu dalam ruang semesta adalah nihil belaka. Tuhan adalah Realitas Sejati
dari segala wujud, oleh karena itu si Belerang Merah mengatakan dalam Futuhat
al-Makkiyah:
وفي كل شيء له اية
تدل على انه عينه
(dan pada segala hal terdapat tanda
bahwa ia adalah Dia). Meski dari sekian banyak penganut
tasawuf falsafi atau sufi besar (Quthb al-Awliya') hampir semuanya
memproklamirkan gagasan ini, tapi yang menarik dan sangat istimewa dari Ibnu
Arabi adalah doktrin metafisikanya diilhami oleh perempuan, terutama pada
karyanya Tarjuman al-Asywaq (Tafsir Kerinduan).
Ada tiga tokoh perempuan yang
menginspirasi Ibnu Arabi dalam buku ini, yakni: (1) Fakhrun-Nisa', saudara
perempuan syaikh Abu Syuja' bin Rustam al-Isbihani, (2) Qurratul 'Ain,
perempuan yang ia temui ketika thawaf, dan (3) sayyidah (lady) Nidham. Hal ini
ia ungkapkan dalam salah satu syairnya:
والهوى بيننا يسوق
حديثا # طيبا مطربا بغير لسان
لرايتم ما يذهب العقل
فيه # يمن والعراق
معتنقان
Dari sanalah puisi-puisi spiritual dan metafisis
mengalir, bahkan, dari semua karyanya Ibnu Arabi menyatakan sendiri adalah
pengetahuan dari Tuhan sebagaimana yang ia tulis dalam masterpiecenya[4]:
ولاانزل في هذا المسطورالا
ماينزل به علي ولست بنبي ولارسول ولكني وارث ولاخرتي حارث
Tarjumanul Asywaq adalah diwan (kumpulan puisi)
spiritual Ibnu Arabi yang paling frnomenal dan sulit diterjemahkan, bukan hanya
karena ungkapan-ungkapannya metaforis, tapi juga setiap kata dan kalimatnya
mengandung kode. Bias dikatakan hamper tidak ada buku-buku yang mengupas karya
ini secara tuntas. Mungkin hanya mereka yang sudah bergelut dengan
filsafat-tasawwuf-sejarah secara serius yang diharapkan mampu memahami karya
ini. Bahkan tidak sedikit golongan tekstualis (ahli fiqh dan ahli hadits) yang
mengecam dan menuduhnya kafir, zindiq dan fasiq ketika Ibnu Arabi menyatakan:
يا من يراني ولا اراه
كم ذا اراه ولا يراني
فيحمدني واحمده # ويعبدني واعبده
Padahal
kalau kita telaah lebih jauh, dalam pentas pemikiran metafisika, al-Hallaj,
seorang sufi martir yang fenomenal dan controversial dalam puisinya mengatakan:
مزجت روحك وروحي كما
# تمزج الخمرة بالماء
الزلال
فاءذا
مسك شئ مسني # فاءذ انت انا في كل شئ
Dialektika
pemikiran sang mahaguru (syaikh al-akbar) memang controversial, oleh
karena itu kabanyakan orang awam atau juga kaum tekstualis acapkali memvonis
dia—dalam konteks pemahaman akan tarjuman al-asywaq di mana ungkapan
kerinduannya diapresiasikannya pada sosok ketiga perempuan di atas—sebagai
kerinduan atau cinta yang porno, penuh birahi dan menjurus erotis (gharamiy).
Orang awam memang hanya mampu memahami secara verbal dan tekstual, dangkal dan
gersang, litetal dan dhahiri. Padahal yang dimaksudkan Ibnu Arabi bukan
relasi cinta-rindu dan gairah yang eksoterik tapi esoteric. Oleh karena itu dia
menulis sendiri syarh (komentar dan penjelasan) dari Tarjuman
al-Asywaq berjudul Fath Dzakha'ir wa al-Aghlaq (Membuka
Misteri-misteri dan Rahasia) sehingga, ungkapan metaforis, simbol dan teka-teki
metafisis berupa wahdah al-wujud, hulul, ittihad, luthf di dalamnya
menjadi sangat rasional, namun demikian tetap saja kaum tekstualis menolak
karya monumentalnya, itulah menyapa ia dijuluki al-Kibrit al-Ahmar.
Di tengah
kecaman dari berbagai pihak tentang teorinya yang dikenal dengan istilah
"Kesatuan dan Manifestasi Tuhan dengan Kosmos" (wahdah al-wujud),
Ibnu Arabi menegaskan bahwa pemikirannya bukan akal-akalan dan cari sensasi,
sebab ia mengacu pada Al-Qur'an dan al-Hadits, misalnya:
ôs)s9ur $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# ÞOn=÷ètRur $tB â¨Èqóuqè? ¾ÏmÎ/ ¼çmÝ¡øÿtR ( ß`øtwUur Ü>tø%r& Ïmøs9Î) ô`ÏB È@ö7ym ÏÍuqø9$# ÇÊÏÈ
Artinya: "Dan Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (QS. Qaf: 16)
wur äíôs? yìtB «!$# $·g»s9Î) tyz#uä ¢ Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd 4 @ä. >äóÓx« î7Ï9$yd wÎ) ¼çmygô_ur 4 ã&s! â/õ3çtø:$# Ïmøs9Î)ur tbqãèy_öè? ÇÑÑÈ
Artinya: "Janganlah kamu sembah di samping
(menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.
bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan."
(QS. Qashash: 88)
Atau sebuah hadits Qudsi berbunyi:
كنت كنزا مخفيا فاحب
ان اعرف فخلقت الخلق فبي عرفوني
Artinya: "Aku (Allah) adalah entitas yang tersembunyi. Aku ingin
dikenal, lalu aku ciptakan makhluk. Karena (Aku) itulah mereka
mengenal-Ku"
Pengaruh Ibnu Arabi
Demikianlah,
Ibnu Arabi telah menyenandungkan cintanya pada Tuhan dengan cara tasawwuf
falsafi yang luar biasa. Dia mabuk kepayang dalam lingkaran cinta, agamanya
adalah cinta, kiblatnya adalah cinta, tempat ibadahnya adalah cinta, kitab
sucinya adalah cinta, Tuhannya adalah Cinta, yang membara, bergelora dan
menghanyutkan. Cinta itulah yang meliputi dan menguasai langit dan bumi, ia
terserap, terseret, hanyut, luruh dan hilang bentuk dan cinta-rinduNya dan
hanya kepadaNya. Di kemudian hari, seorang bernama Jalaluddin ar-Rumi
melanjutkan jejaknya.
Pengaruh Ibnu
Arabi dalam bidang tasawuf, khususnya tasawuf filosofis, sangat luar biasa.
Gagasan Ibnu Arabi menyebar luas dan memiliki pengikut yang tidak sedikit
jumlahnya. Di Indonesia, paham wahdah al-wujud Ibnu arabi berpengaruh
besar. Terbukti dengan banyak ulama Indonesia yang memakai prinsip wahdah
al-wujud, di antaranya: Hamzah Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani dan Abdus
Samad al-Palimbani. Tidak ada harapan lain selain mudah-mudahan kita sebagai
generasi yang cinta ilmu dan kebijasanaan, selain mendapatkan iluminasi (futuh)
untuk memahami dan bergabuung dengan cintaNya. Wallahu Yuwaffiquna Ila
Sabilil-Anbiya' wal-Mursalin.
***
Neo-Damaskus (Kepanjen), 15 Muharram 1433 H
II. SUHRAWARDI
AL-MAQTUL
"…lebih baik ilmuwan (aku) mati
dari pada umat manusia tidak
mendapatkan ilmu pengetahuan utama (isyraqiyyah)
selama hidupnya…"
a. Biografi
(مناقب
)
Nama lengkap Suhrawardi adalah Abu
al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak Shihabuddin as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir
pada tahun 548 H/ 1153M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran
Barat Laut dekat Zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar: Shaikh al-Isyraq
atau Master of Illuminationist, al-Hakim (sang Bijak),
asy-Syahid (the Martyr), dan al-Maqtul. Julukan ini diberikan karena
kematiannya dieksekusi, disamping itu sebagai pemdeda dengan ilmuan-ilmuan lain
dengan nama serupa, misalnya Suhrawardi al-Baghdadi (w.1234 M) pengarang buku Awarif
al-Ma'arif dan Abdul Qahir as-Suhrawardi (w.563 H/1168 M) pengarang buku Adab
al-Muridin[5].Sebagaimana
umumnya para intelektual muslim, Suhrawardi juga melakukan perjalanan ke
berbagai daerah untuk mengembangkan wawasannya. Wilayah pertama yang ia
kunjungi adalah Maragha yang berada di kawasan Azerbaijan. Di kota ini ia
belajar filsafat, hukum dan teologi kepada Majd al-Din al-Jili. Untuk
memperdalam kajian filsafat ia juga berguru pada Fakhr al-Din al-Mardini.
Tampaknya tokoh terakhir ini merupakan guru filsafat yang sangat berpengaruh
bagi Suhrawardi.
Pengembaraan ilmiahnya kemudian
berlanjut ke Isfahan, Iran Tengah dan belajar logika kepada Dhahiruddin al-Qari.
Dia juga mempelajari logika dari buku al-Basa’ir al-Nasiriyyah karya
Umar ibn Sahlan al-Sawi. Dari Isfahan ia melanjutkan perjalanannya ke Anatolia
Tenggara dan diterima dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq. Setelah itu
pengembaraan Suhrawardi berlanjut ke Persia yang merupakan “gudang” tokoh-tokoh
sufi. Di sini ia tertarik kepada ajaran tasawuf dan akhirnya menekuni
mistisisme.
Dalam hal ini Suhrawardi tidak hanya
mempelajari teori-teori dan metode-metode untuk menjadi sufi, tetapi sekaligus
mempraktekkannya sebagai sufi sejati. Dia menjadi seorang zahid yang menjalani
hidupnya dengan ibadah, merenung, kontemplasi, dan berfilsafat. Dengan pola
hidup seperti ini akhirnya dalam diri Suhrawardi terkumpul dua keahlian
sekaligus, yakni filsafat dan tasawuf. Dengan demikian ia dapat dikatakan
sebagai seorang filosof sekaligus sufi.
Perjalanannya berakhir di Aleppo, Syria.
Di sini ia berbeda pandangan dengan para fuqaha sehingga akhirnya ia dihukum
penjara oleh gubernur Aleppo Malikudh-Dhahir atas perintah ayahnya Sultan
Salahuddin al-Ayyubi di bawah tekanan para fuqaha yang tidak suka dengan
pandangannya. Akhirnya Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 1191 M/578 H dalam
usia 36 tahun (kalender Syamsiyyah) atau 38 tahun (kalender Qamariyyah). Gelar al-Maqtul
(yang terbunuh) diperolehnya karena pada saat itu Suhrawardi bersama Qaramithah
dan Hasyasyin secara politis dituduh telah merongrong kekuasaan
Sultan Shalahuddin al-Ayubi[6].
Ketika itu Sultan adalah penganut dan pembela faham Sunni serta berusaha
menegakkan hegemoni sunni di seluruh wilayah kekuasaannya. Akhirnya atas
desakan para fuqaha, Suhrawardi dipenjarakan di Aleppo dan dijatuhi
hukuman mati.
b.
Karyanya ( نتائج الفكر )
Suhrawardi
adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam
jajaran para filsuf-sufi yang sangat produktif sehingga dalam usianya yang
relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini menunjukkan
kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni.
Dalam konteks karya-karyanya ini, Hossein Nasr mengklasifikasikan-nya menjadi
lima kategori sebagai berikut:
a.
Memberi interpretasi dan memodifikasi kembali ajaran
peripatetik. Termasuk dalam kelompok ini antara lain kitab: At-Talwihat
al-Lauhiyyat al-‘Arsyiyyat (The Book of Intimations), Al-Muqawamat (The Book of
Oppositions), dan Hikmah al-‘Isyraq (Theosophy of The Light Orient).
b.
Membahas tentang filsafat yang disusun secara singkat
dengan bahasa yang mudah dipahami : Hayakil an-Nur The Tample of Light), dan
Partaw-Namah (Treatise of Illumination), Fi I'tiqad al-Hukama' (Faith of
Philosphers).
c.
Karya yang bermuatan sufistik: Qissah al-Ghurbah al
Gharbiyyah (The Occidental of Exile), Al-‘Aql al-Ahmar, dan Yauman ma’a
Jama’at al-Sufiyyin.
d.
Karya yang merupakan ulasan dari filsafat klasik: Risalah
al-Tair dan Risalah fi al-‘Isyq.
e.
Karya yang berupa serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat
wa al-Taqdisat.
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).
c. Pemikiran
Filsafatnya ( اثرالتفكير )
Inti ajaran isyraqiyyah yang
dibawa Suhrawardi adalah bahwa segala sesuatu yang ada (al-Maujudat)
adalah Nur al-Anwar (cahaya dari segala cahaya). Kosmos diciptakan Tuhan
melalui penyinaran sehingga kosmos terdiri atas tingkatan-tingkatan pancaran
cahaya. Cahaya tertinggi sebaga sumber cahaya itu dinamakan Nur al-Anwar
dan menurutnya itulah Tuhan yang abadi. Selanjutnya, salah satu ajaran yang
dianggap sesat oleh fuqaha adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa
masih ada kemungkinan Tuhan mengutus nabi baru sesudah Nabi Muhammad Saw.
Suhrawardi mendasarkan pendapatnya itu pada konsep kekuasaan Tuhan tidak
berbatas sehingga memberikan peluan akan datangnya nabi baru, akan tetapi nabi
baru itu tidak harus membawa syariat baru[7].
Melihat pada tahun hidupnya, peradaban
Islam pada masa Suhrawardi berada pada fase kematangan. Kondisi ini merupakan
akumulasi dari sejarah panjang peradaban Islam, terutama sejak bani Abbasiyah
menjadi penguasa dunia Islam. Diawali dengan penerjemahan berbagai karya ilmiah
klasik ke dalam bahasa Arab peradaban Islam terus berkembang. Kegiatan
penerjemahan ini pada gilirannya mendorong lahirnya para intelektual muslim
dengan berbagai karya monumental mereka sebagai indikator yang paling real bagi
masa keemasan Islam mulai abad X hingga mencapai puncaknya pada abad XII.
Secara garis besar, wacana pemikiran
Islam pada masa ini memiliki tiga alur utama, pertama, falsafi yang
dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn
Rushd, kedua, mistis (tasawuf) dengan Rabi’ah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Basthami,
dan al-Ghazali di antara pionir-pionirnya, ketiga¸ gabungan dari dua aliran itu
melahirkan aliran yang disebut dengan teosofi. Corak pemikiran teosofi ini
selain bertumpu pada rasio, ia juga bertumpu pada rasa (dzawq) yang
mengandung nilai mistis. Berdasarkan pembagian ini, agaknya pada aliran ketiga
inilah Suhrawardi mengembang-kan pemikiran-pemikirannya.
Sebagai orang yang mencoba menggabungkan
dua aliran pemikiran yang sudah berkembang, pemikiran Suhrawardi tentu tidak
terlepas dari pengaruh kedua aliran pemikiran itu. Dalam bidang filsafat,
Suhrawardi dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Zoroasterianisme, filsafat
Yunani khususnya Plato, Aristoteles, dan Plotinus, serta al-Farabi dan Ibn Sina
dari kalangan filosof Islam. Di samping itu, sebagai seorang sufi, Suhrawardi
juga banyak terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya seperti Dhun-Nun al-Mishri
(w. 860), Abu Yazid al-Basthami (w. 974), dan al-Ghazali (w. 1111). Tanpa
terkecuali, pemikiran Suhrawardi tentang teosofi, tumbuh dan berkembang sebagai
wujud ketidak-puasannya terhadap pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya.
Secara etimologis kata teosofi berasal
dari kata theosophia, gabungan dari kata theos yang berarti Tuhan dan shophia
yang berarti knowledge, doctrine, dan wisdom. Jadi secara literal teosofi
berarti pengetahuan atau keahlian dalam masalah-masalah ketuhanan. Dalam kaitan
dengan bidang kajiannya, ada term lain yang mirip dengan teosofi, yaitu
teologi. Kedua istilah ini mengacu pada pembahasan terhadap masalah-masalah
ketuhanan, perbedaannya terletak pada operasionalnya.
Di dalam mengkaji masalah metafisika,
teologi menggunakan pendekatan spekulatif-intelektual dalam menginterpretasikan
hubungan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Sementara teosofi lebih
menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang
paling dalam. Orang yang ahli dalam bidang teologi disebut teolog sementara
orang yang ahli teosofi dinamakan teosofos. Dalam pemahaman Suhrawardi,
pengertian teosofos menjadi lebih luas. Menurutnya, teosofos adalah orang
yang ahli dalam dua hikmah sekaligus, yakni hikmah nadhariyyah dan hikmah
‘amaliyyah. Adapun yang dimaksud dengan hikmah nazariyyah ialah
filsafat sementara hikmah ‘amaliyyah ialah tasawuf[8].
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan
bahwa teosofi adalah pemahaman tentang misteri-misteri ketuhanan yang diperoleh
melalui pemikiran filosofis-sufistis sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang
yang mampu mengawinkan latihan intelektual teoritis melalui filsafat dengan
penyucian jiwa melalui tasawuf dalam mencapai pemahaman tersebut. Pemikiran
teosofi Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi, isyraqiyyah)
yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah Ishraqi sendiri
sebagai simbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya. Sementara
mashriq yang berarti tempat matahari terbit merefleksikan sumber cahaya.
Sebelum menawarkan konsep iluminasi,
Suhrawardi pada mulanya mengikuti pola emanasi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh
peripatetik, terutama al-Farabi dan Ibn Sina, yang membagi arah pemikiran tiap
akal yang dihasilkan ke dalam tiga posisi : 1) posisi akal-akal sebagai wajib
al-wujud lighairihi, 2) sebagai mumkin al-wujud lidhatihi, dan 3) sebagai
mahiyah/zatnya sendiri. Akal pertama, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai
wajib al-wujud lighairihi memunculkan akal kedua, dengan memikirkan dirinya
sendiri sebagai mumkin al-wujud lidhatihi memunculkan jirm al-falak al-aqsa,
dan dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mahiyah menimbulkan nafs al-falak
al-muharrik. Begitu seterusnya sampai akal X sebagai al-‘Aql al-fa’al yang
menyebabkan adanya alam. (Gambaran lengkap mengenai emanasi al-farabi dan Ibn
Sina lihat lampiran 1 dan 2).
Sebagai pembanding dari teori emanasi di
atas, Suhrawardi memformulasikan teori baru, yakni teori iluminasi, yang
sebenarnya merupa-kan koreksi atas pembatasan akal sepuluh pada teori emanasi.
Dalam teorinya ini Suhrawardi tampaknya keberatan dengan adanya posisi akal
sebagai wajib al-wujud lighairihi, mumkin al-wujud lidhatihi, dan mahiyah.
Menurutnya, bagaimana mungkin dari satu akal memunculkan falak-falak dan
kawakib yang tak terhitung banyaknya? Dengan menetapkan tiga posisi akal
seperti yang disebutkan di atas, maka mustahil bagi akal tertinggi memiliki
persambungan dengan falak-falak dan kawakib yang sangat banyak itu. Oleh
karenanya, Suhrawardi menolak pembatasan akal hanya pada jumlah sepuluh. Selanjutnya
Suhrawardi mengganti istilah akal-akal dalam teori emanasi itu dengan istilah
cahaya-cahaya. Secara teknis proses iluminasi cahaya-cahaya tersebut dapat
diilustrasikan sebagai berikut :
Proses iluminasi Suhrawardi dimulai
dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada.
Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya.
Ia adalah Allah. Nur al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya
yang disebut Nur al-Aqrab. Selain Nur al-Aqrab tidak ada
lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dari Nur al-Aqrab
(cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga,
dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya
kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga
mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak. Pada setiap tingkat penyinaran
setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap
cahaya dominator meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang berada di
bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari
Nur al-Anwar secara langsung dan pancaran dari semua cahaya yang berada di
atasnya sejumlah pancaran yang dimiliki oleh cahaya tersebut. Dengan demikian,
semakin bertambah ke bawah tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia
menerima pancaran[9].
Mengacu pada proses penerimaan cahaya
yang digambarkan di atas, maka dari proses penyebaran cahaya menurut iluminasi
Suhrawardi dapat diperoleh gambaran hasil jumlah pancaran yang dimiliki oleh
tiap-tiap cahaya. Cahaya I (Nur al-Aqrab) memperoleh 1 kali pancaran,
cahaya II memperoleh 2 kali pancaran, cahaya III memperoleh 4 kali pancaran,
cahaya IV memperoleh 8 kali pancara, cahaya V memperoleh 16 kali pancaran,
cahaya VI memperoleh 32 kali pancaran, cahaya, VII memperoleh 64 kali pancaran,
cahaya VIII memperoleh 128 kali pancaran, cahaya IX memperoleh 256 kali
pancaran, dan cahaya X memperoleh 512 kali pancaran, begitu seterusnya. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa setiap cahaya yang berada di bawah akan menerima
pancaran sebanyak dua kali jumlah pancaran yang dimiliki cahaya yang berada
setingkat di atasnya. Senada dengan teori emanasi, teori iluminasi ini juga
membentuk susunan kosmologi yang terpancar dari cahaya-cahaya pada tiap
tingkatan. Susunan tersebut, dari cahaya pertama sampai cahaya kesepuluh secara
berturut-turut, adalah The great sphere of diurnal motion, the sphere
of fixed stars, the sphere of Saturn, the sphere of Jupiter, the
sphere of mars, the sphere of the sun, the sphere of venus, the sphere of
mercuri, the sphere of moon, the sphere of ether, dan the sphere of
zamharir yang dikenal sebagai ruang perbatasan dengan langit dunia.
Memperhatikan pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini mengingatkan kita pada
QS. An-Nur: 35[10].
Dalam konteks iluminasi Suhrawardi,
posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar
yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari
pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama
kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang terpancar dari Nur
al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian menghasilkan banyak
cahaya yang saling memancar dan menghasilkan cahaya lain. Dari proses seperti
inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Berdasarkan pemahaman seperti
ini, maka agaknya ayat inilah yang mendasari atau paling tidak menjadi
inspirator bagi Suhrawardi dalam merumuskan teori iluminasinya.
d. Epilog
( الخاتمة )
Suhrawardi boleh saja dihentikan
hidupnya, akan tetapi warisan yang ditinggalkannya tetap hidup. Dia mampu
survive di tengah kekuasaan yang mengekang kebebasan intelektualnya. Idealisme
tinggi yang ia miliki mendorongnya untuk tetap berjuang mempertahankan apa yang
diyakini sebagai kebenaran. Hasil pemikiran Suhrawardi juga mampu mempengaruhi
generasi-generasi sesudahnya. Hal ini dapat ditelusuri melalui karya-karya yang
muncul belakangan yang indikatornya antara lain terlihat dari adanya tanggapan
yang ditunjukkan oleh generasi setelahnya baik berupa komentar, sanggahan
ataupun kritik. Pengaruh pemikirannya ini dapat ditelusuri melalui aspek
geografis, kontinuitas hubungan antara guru dan murid, dan perdebatan
pro-kontra di sekitar pemikirannya. Baru pada abad XX sejumlah sarjana Barat
seperti Carra de Vaux, Max Horten, Louis Massignon, Otto Spies, dan Henry Corbin
mulai melirik karya-karya Suhrawardi yang mereka anggap sebagai tokoh penting
pasca Ibn Sina. Sedangkan dari segi kontinuitas hubungan antara guru-murid
serta perdebatan pro-kontra di sekitar pemikirannya, pengaruh pemikiran
Suhrawardi ini terlihat dari lahirnya tokoh-tokoh yang berusaha melestarikan
ajarannya dari abad ke abad. Pada abad XIII, misalnya, lahir komentator
pemikiran Suhrawardi seperti Syamsuddin Muhammad Shahrazuri (w. 1288) dan Sa’d
bin Manshur Ibn Kammunah (w. 1284). Pada abad XIV muncul tokoh Quthbud-Din
al-Shirazi (w. 1311), pada bad XVI ada Jalaluddin Muhammad al-Dawwani (w. 1502)
dan Ghiyathuddin Manshur (w. 1542), pada abad XVII lahir tokoh Muhammad Sharif
Nidhamuddin al-Harawi dan Mulla Shadra, pada abad XIX terdapat Mulla Ali Nuri
(w. 1830) dan Mulla Hadi Sabziwari (w. 1878), dan pada abad XX terdapat tokoh
Muhammad Hussein Tabattaba’i serta Seyyed Hossein Nasr.
Dari serangkaian pembahasan yang
tertuang dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa Suhrawardi merupakan
filosof muda Islam yang sangat cerdas sehingga mampu membongkar
pemikiran-pemikiran para filosof peripatetik yang sudah mapan sebelumnya,
sekaligus menawarkan sebuah pemikiran baru yang bercorak filosofis-mistis, yang
kemudian lebih popular dengan sebutan teosofi. Teosofi merupakan bentuk final
dari pemikiran filosofis Suhrawardi yang lahir sebagai akibat dari ketidak
puasannya kepada pemikiran-pemikiran filosof sebelumnya. Pemikiran teosofisnya
ini kemudian berujung kepada pembangunan sebuah teori yang membahas proses
penciptaan alam yang dikenal dengan teori iluminasi.
Meskipun mekanisme kerja teori ini
dibangun dengan cara yang sama dengan teori sebelumnya (emanasi), yakni melalui
pancaran atau limpahan, tetapi tetap ada hal mendasar yang membedakan kedua
teori ini. Hal tersebut dapat terlihat pada instrumen yang digunakan dan
keberlangsungan proses pancaran dari kedua teori tersebut. Bila teori
emanasi menggunakan istilah akal sebagai instrument, maka teori iluminasi
menggunakan istilah cahaya, Bila pada teori emanasi penyebaran akal hanya
terbatas pada akal ke-10, maka pada teori iluminasi pancaran cahaya itu tidak
terbatas. Allahu yuwaffiquna ila sabilil-anbiya'I wal mursalin.
***
Tanah Para
Filsuf, 29 Muharram 1433 H
III. NASHIRUDDIN AT-THUSI
"…Setiap akal perlu tiga ide untuk
melahirkan akal, ruh dan langit berikutnya…"
a. Biografi
(مناقب
)
Ketika Hulagu Khan, sang penakluk dari Mongol, pada tahun
1256 M berhasil menaklukkan benteng Alamut, yang megah dan kukuh, di tengah
pegunungan Kaukasus yang dipertahankan oleh Hasan ibn Sabha dan para
pengikutnya (kaum Assassin). Dari tawanan yang dirantai dan diseret di hadapan
Hulagu, terdapat seorang pria setengah baya yang memberi kesan kepada Hulagu
karena kefasihan lidahnya dan intelegensiannya yang luar biasa, apalagi ia
adalah astrolog ulung yang bisa meramal nasib, maka Hulagu mengambilnya sebagai
penasihat (wazir) selama hidupnya. Tawanan itu bernama Thusi, nama
lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad al-Hasan Nashiruddin
at-Thuai al-Muhaqqiq lahir pada 18 Februari 1201M/597H di Thus, sebuah kota di
Khurasan tempat ia menerima pendidikan pertama dari Muhammad ibn Hasan. Gurunya yang lain adalah
Mahdar al-Fariduddin Damad dalam bidang fiqh, ushul, hikmah, dan ilmu kalam,
Muhammad Hasib dalam bidang matematika di Nishapur. Kemudian ia pergi ke
Baghdad untuk belajar pengobatan dan filsafat pada Qutbuddin dan matematika
pada Kamaluddin bin Yunus, sedangkan fiqh dan ushul pada Salim bin Badran.
Kemashurannya sebagai intelektual tersiar ke berbagai wilayah Persia, lalu ia
diculik oleh Ali Manshur, Gubernur kaum Isma'ili di Kohistan, yang mengutusnya
ke Alamut.
Thusi dikenal sebagai seorang matematikawan, astronom, ahli
optik, geografi, farmakologi, filsafat, musik dan mineralogi terkemuka setelah
invasi Mongol. Pada usia 60 tahun, tepatnya pada tahun 675H/1259M. Setahun
sesudah penaklukan Baghdad Thusi
berhasil membujuk Hulagu untuk membangun observatorium (rasad khanah)
yang kemudian menjadi terkenal dibawah pimpinan at-Thusi, di Maraghah,
Azarbaijan. Observatorium ini merupakan pusat terbesar penelitian sastra dan
astronomi di Timur setelah Darul-Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh
al-Makmun pada abad XI. Observatorium yang hingga kini masih ada dilengkapi
dengan peralatan terbaik, seperti peta bola langit dan perpustakaan yang
menurut Ibnu Syakir memiliki buku lebih dari 400.000 yang dikumpulkan oleh
pasukan Mongol dari Syiria, Irak dan Persia, di samping itu didukung oleh staf
yang terdiri dari astronom terkemuka peda masa itu, seperti Muhyiddin
al-Maghribi dan Abul Farraj, sehingga memudahkan melakukan
penelitian-penelitian penting. Ia juga tetap mempertahankan pengaruhnya di
istana Mongol hingga masa Abaka, sampai ia wafat pada 26 Juni 1274 M/672 H di
Baghdad. Salah satu bukti kejeniusan Thusi, ia mengkritik Ptolemeus yang
dikenal dengan Thuai Couple (pasangan Thuai).[11]
At-Thusi memberikan gambaran bahwa kehancuran politik
tidak berarti secara otomatis memusnahkan kehidupan intelektual. Apa yang
dialami dunia Islam pada masa disentegrasi yang ditandai dengan kehancuran Baghdad
dan berakhirnya Daulah Abbasiyah, ia
mampu memanfaatkan “kebringasan” Hulagu untuk menyelamatkan khazanah pemikiran
Muslim. Dengan demikian, kebangkitan kembali atau perkembangan ilmu-ilmu dan
filsafat di penghujung abad VII H/XIII M berpusat di sekitar pribadi Thusi,
sehingga berbagai gelar diberikan kepadanya. Orang Persia menyebutnya ustadz
al-basyar (guru manusia), Ivanov menjulukinya dengan “kamus hidup”,
Bar Hebraeus menganggapnya sebagai “orang yang berpengetahuan luas di semua
cabang filsafat”, dan Afnan menyebutnya sebagai “komentator karya Ibnu
Sina”.
Sebenarnya bukan saja al-Ghazali yang melakukan serangan
terhadap filsuf, Fakhruddin ar-Razi, Teolog, musaffir al-Qur’an dan banyak
menulis tentang pengetahuan alam dan matematika, yang hidup hampir seabad
setelah al-Ghazali, juga malakukan hal yang sama, tetapi tidak begitu dikenal,
padahal kritik Razi tersebut mempunyai akibat lebih lanjut dilihat dari segi
teknis filosofis dari pada serangan al-Ghazali. Ar-Razi berupaya menghancurkan
pengaruh filsafat Peripatetik dengan menulis kritik terhadap karya besar
filsafat Ibnu Sina, Al-Qanun. Kritik al-Gahzali dan al-Razi tersebut
disambut oleh Thusi yang berusaha menegakkan kembali aliran Ibnu Sina, dengan
menulis ulasan atas kitab Al-Isyarat wa at-Tanbihat yang ditulis oleh
Ibnu Sina. Usahanya inilah yang memberikan pengaruh dan bertahan lama ketimbang
karya Ibnu Rusyd, Tahafut at-Tahafut, khususnya di belahan Timur,
sehingga di Timur Thusi lebih dikenal sebagai filsuf, sementara di Barat
sebagai matematikawan dan astronom.
c.
Karyanya ( نتائج الفكر )
Karl
Brockelmann mengumpulkan tidak kurang dari 56 judul karya at-Thusi, sementara
Ivanov mengatakan bahwa karya Thusi ada 150 judul, sedangkan Mudarris Ridwi
menyebutkan sekitar 130 judul, di antaranya:
I.
Tentang Logika: Asas al-Iqtibas,
Al-Tajrid fi ‘ilm al-Mantiq, Ta’dil al-Mi’yar.
II.
Tentang Metafisika, dia antaranya: Risalah dar Ithbat
al-Wajib, Risalah dar Wujud-i Jauhar-i Mujarrad, Risalah dar Istbat-I ‘Aql-I
Fa’al, Risalah Sudur Kathrat az Wahdat, Risalah ‘Ilal wa Ma’lulat, Fushul,
Tashawwurat, Talkhis al-Muhassal, dipersembahkan untuk Alauddin
III.
Tentang Etika, di antaranya: Akhlaq-i Nasiri dan Ausaf
al-Asyraf.
IV.
Tentang Teologi: Tajrid al-‘Aqa’id, Qawa’id
al-‘Aqa’id dan Risalah-i I’tiqadat.
V.
Tentang Astronomi, di antaranya: Kitab al-Mutawassitat
Bain al-Handasa wa Hai’a. Buku suntingan dari sejumlah karya Yunani, Zubdat
al-Hai’a (yang terbaik dari astronomi), Kitab al-Barifi ulum al-Taqwin
wa Harakat al-Aflak wa Ahkam al-Nujum (Buku Unggul tentang
Almanak/Kalender, Gerak Bintang-bintang dan Astrologi Kehakiman), Ilkhanian
Tables (Penyempurnaan Planetary Tables), Kitab al-Tazkira fi al-Ilm
al-Hai’a.
Buku
yang disebutkan terakhir terdiri dari empat bab, yaitu (a) pengantar
geometrikal dan sinematikal dengan diskusi-diskusi tentang saat berhenti,
gerak-gerak sederhana dan kompleksitas, (b) pengertian-pengertian astronomikal
secara umum, perubahan sekular pembiasan ekliptis, getaran dari penyamaan
siang-malam. Sebagian dari bab ini yang diterjemahkan oleh Carr de Vaux, penuh
dengan kritik yang tajam atas Almagest karya Ptolemeus—kritikan ini
merupakan pembuka jalan bagi Copernicus—terutama pandangan mengenai pembiasan
pada bulan dan gerakan planet, (c) bumi dan pengaruh benda-benda angkasa atasnya,
termasuk di dalamnya tentang laut, angin, pasang, dan bagaimna hal ini terjadi,
(d) besar dan jarak antara planet.
VI.
Tentang Aritmatika, Geometri dan Trigonometri, di
antaranya: Al-Mukhtasar bi jami al-Hisab bi al-takht wa al turab
(Ikhtisar Dari seluruh Perhitungan dengan Tabel dan Bumi), Kitab al-Jabr wa
al-Muqabala (Risalah tentang al-Jabar, Qawaid Al-Handasa
(Kaidah-kaidah Geometri), Tahrir al-Ushul, Kitab Shakl al-Qatta
(Risalah tentang Kuadrilateral), suatu karya terbaik tentang tema ini yang ditulis
sepanjang abad pertengahan. Buku ini sangat berpengaruh di Timur dan di Barat
dan menjadi rujukan utama dalam penelitian trigonometri.
VII.
Tentang Optik, di antaranya: Tahrir Kitab al-Manazir dan
Mabahis finikas al-Shu’ar wa in Itafiha (Penelitian tentang Refleksi dan
Defleksi Sinar-sinar).
VIII. Tentang Musik, di
antaranya: Kitab fi ilm al-Mausuqi dan Kanz al-Tuhaf.
IX.
Tentang Medis, di antaranya: Kitab al-Bab Bahiya fi
al-Tarakib al-Sultaniya, tentang cara hidup sehat dalam tiga bagian:
menguraikan diet, peraturan kesehatan dan hubungan seksual.[12]
d. Pemikiran
Filsafatnya ( اثرالتفكير )
1.
Metafisika, terdiri
atas dua bagian:
ü Ilmu Ketuhanan (‘ilm-i
Ilahi), mencakup persoalan ketuhanan, akal, jiwa, dan hal-hal yang
berkaitan dengan hal tersebut, seperti kenabian (nubuwwat), kepemimpinan
spiritual (imamat), dan hari pengadilan (qiyamah).
ü Filsafat Pertama (falsafah-i
ula), meliputi alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam
semesta, tentang ketunggalan dan kemajemukan, kepastian atau kemungkinan,
esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidakkekalan.
Bagi
At-Thusi, Tuhan tidak perlu dibuktikan secara logis. Eksistensi Tuhan harus
diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan. Mustahil bagi
manusia yang terbatas untuk memahami Tuhan di dalam keseluruhanNya, termasuk
membuktikan eksistensiNya. Mengenai penciptaan, at-Thusi menulis dalam Tashawwurat
bab II tentang “turunnya semua benda dunia dari Sebab Yang Awal”. Ia menjelaskan
masalah ini dalam bentuk delapan soal-jawab, sebagai berikut:
v Beberapa orang
berpendirian bahwa sumber eksistensi adalah satu, yang lain mengatakan dua,
yang lain tiga dan yang lain lagi empat. Bagaimana pendapat anda? Pendapat saya ialah sumber eksistensi
adalah satu, yaitu kehendak Allah Maha Tinggi, yang tersebut “Kalam”. Makhluk
pertama yang tercipta langsung dengan kehendak kreatif tersebut, tanpa
perantaraan apapun ialah "Akal" Pertama itu. Semua makhluk tersebut
dari kehendak Ilahi itu dengan berbagai perantaraan. Jadi "jiwa"
tercipta melalui "Akal" dan "Hyle", alam dan benda lahir
melalui "Jiwa".
v Sebagian orang
berpendapat bahwa peristiwa penciptaan dari kehendak sang Khaliq—tanpa suatu perantara dan tidak pada
saat tertentu—harus dibayangkan seperti cahaya yang memancar lampu. Tapi
sebagian berkata, bahwa cahaya memancar dari lampu secara otomatis, yakni tanpa
kehendak. Pernyataan ini tidak membuktikan eksistensi Pencipta ataupun tindakan
penciptaan. Bagaimana pendapat Anda? Tindakan kreatif dari kehendak al-Khaliq
dengan perumpamaan cahaya lampu hanyalah satu metafor (kiasan) agar orang
mengerti dan menyadari prilaku Kehendak Ilahi itu dari perumpamaan tadi, dalam
hal ini bukan supaya mereka menerima perumpamaan dalam realitasnya persis sama
dengan yang dibandingkan. Sifat-sifat yang dikenakan orang kepada Tuhan,
seperti eksistensi absolut, keesaan, kesederhanaan zat, spontanitas,
pengetahuan, kekuasaan, dan sebagainya dalam gaya yang serupa seperti
mengatakan bahwa Tuhan adalah Cahaya Murni atau Karunia Mutlak, sementara eksistensi
mutlak, keesaan, ada, kesederhanaan subtansi, spontanitas kehendak, kebajikan,
kekuasaan, dan sebagainya dikenakan kepadaNya secara terpisah. ini tidak
berarti bahwa semuanya ini tidak menyatu dengan Dia. Dapat disimpulkan bahwa
(sifat-sifat) yang diciptakan merujuk hanya kepada makhluk, tidak kepada Allah.
v Bagaimana
rasionalisasi kejadian ciptaan pertama dari kehendak Ilahi? Karena Tuhan menyadari diriNya sebagai
Pencipta, maka kenyataan ini membuat perlu adanya makhluk. Makhluk itu ialah
"Akal" Pertama dan karena "Akal" Pertama itu adalah keesaan
mutlak, esa dalam hal, maka timbul masalah prinsip, yang menyatakan “dari satu hanya
bisa timbul satu.” (yakni, satu sebab sederhana hanya menghasilkan satu
akibat).
v Anda telah
menjelaskan asal "Akal" Pertama dari Sebab Pertama. Apa kata anda
tentang makhluk yang lain? Jawab: Pertanyaan ini dapat dijawab dalam dua cara,
secara menyeluruh atau sebagian. Jawaban yang penuh ialah bahwa
"Akal" Pertama dengan kekuatan bantuan Ilahi dari Kalam Tertinggi
(yakni kehendak Ilahi), menggambarkan ide tentang segalanya, yang spiritual
maupun material, sampai ke batas terakhir. Jadi semua yang membentuk dunia saat
ini, dari angkasa luar hingga ke inti bumi, harus mempunyai rupa dan penampilan
khusus ini, membentuk suatu organisme yang mesti memiliki jiwa untuk
mempertahankan, mengatur dan mengawasinya, ide tentang "Akal" seperti
itu merupakan sebab kejadian asal semua ciptaan serta segala yang diperlukan
setiap makhluk. Ketika ia (Akal Pertama) menimbang-nimbang substansinya
sendiri—yang mengerti bahwa ia disebabkan oleh sesuatu yang lain—maka pikiran
itu menjadi sebab kejadian (Ruh Semesta), yakni (Ruh) angkasa luar. Dan ketika
ia, "Akal" Pertama, memikir-mikirkan eksistensinya sendiri melalui
kemungkinan—yang punya afinitas rendah, yaitu menyadari bahwa ia sendiri tidak
lain hanyalah satu kemungkinan—pikiran ini menjadi sebab eksistensi angkasa
luar itu sendiri.
v Tidak ada benda
nyata yang terwujud tanpa partisipasi Hyle dan bentuk yang mendahului benda
tersebut. Jadi, mengapa Anda membicarakan kejadian langit tanpa sedikit pun
menyinggung "Hyle" dan "Bentuk"? Keduanya terjadi
ketika Ruh Semesta memikirkan substansi Akal Pertama dan menyadari bahwa ia
sempurna. Dari kesempurnaan, Ruh Semesta memikirkan substansinya sendiri dan
menyadari dirinya sendiri tidak sempurna, dari kesadaran ini muncul Hyle yang
berasal dari segala bentuk kekurangan. Keduanya perlu bagi Jiwa, karena ia
punya dua wajah; satu sisi menghadap keesaan dan yang lain ke arah
pluralitas.
v Karena keesaan
adalah ciri bagi Akal dan pluralitas adalah ciri bagi Ruh, mengapa anda
memberikan tiga pemikiran bagi Akal sedangkan untuk Ruh hanya dua? Karena
dalam hal "Akal" semuanya adalah kesempurnaan dan untuk segalanya
itu, semua aspek relatif adalah satu dan yang satu itu ada dalam kenyataan
bahwa ia berpaling kepada Dia, Yang Mahatinggi. Karenanya, satu ide di sini
berarti semua ide dan semua idenya adalah satu. Tapi lain halnya dengan Ruh
yang menempati kedudukan lebih rendah dan memiliki ketidaksempurnaan pada
substansi-nya. Hal-hal lain yang telah disebutkan, yakni Ruh, Akal, langit,
elemen, kerajaan alam dan Akal angkasa luar, falakul-aflak, semuanya
juga mesti punya tiga tashawwur seperti halnya Akal Pertama. Satu tashawwur
perlu untuk melahirkan Akal Kedua, yakni Akal langit bintang-bintang tetap atau
tahta Tuhan. Satu tashawwur diperlukan untuk pembuatan segala yang ada
di antara langit bintang tetap hingga Akal langit Zuhal (Saturnus). Dari
sana lalu ke Akal langit Musytari (Jupiter). Dari situ ke Akal langit Murikh
(Mars), lalu ke Akal langit syams (Matahari), dari sini ke Akal langit Zuhra
(Venus), lantas ke Akal langit Atarid (Markurius), lalu ke Akal langit
Bulan. Setiap Akal ini perlu tiga ide untuk melahirkan Akal, Ruh dan langit
berikutnya. Hyle dan bentuk tiap langit dengan sendirinya lahir dari dua
kesadaran tadi, yaitu kesadaran akan kesempurnaan Akal dan ketidaksempurnaan
dirinya sendiri, yang timbul pada Ruh
yang bersangkutan. Demikian aturan yang ditentukan olehTuhan melalui sembilan
langit. Ini dapat dibandingkan umpamanya dengan satu magnet yang dengan dirinya
tidak bergerak tapi menggerakkan dan menarik besi ke arahnya.
v
Apakah jumlah langit seperti adanya tidak lebih banyak dan
tidak kurang dari sembilan, karena ini adalah jumlah terakhir benda atau karena
Hyle telah habis atau ada alasan lain? Dunia ini merupakan apa yang disebut
dalam QS. al-Baqarah: 225[13].
Begitu ditakdirkan oleh perintah dan kebijaksanaan Allah Yang Maha Tinggi,
bahwa ada Sembilan langit, dua belas konstelasi zodiak, tujuh “ayah”, yaitu
planet, empat “ibu”, yakni elemen dan tiga kerajaan alam. Dengan rotasi yang
dilakukan setiap keliling langit mengitari pusatnya menurut aturan yang otonom,
elemen-elelmen yaitu api, udara, air dan tanah—yang merupakan bahan alam dalam
rongga langit Bulan—menjadi tersusun dalam urutan dan system benda.
Masing-masing elemen dasar yang empat ini, yang berada lebih dekat ke langit
terbukti punya substansi lebih ringan dan halus (dari yang lain), seperti api,
yang berada diatas udara lebih halus substansinya daripada udara, meski lebih
padat jika dibandingkan dengan substansi langit. Udara, yang ada diatas air,
lebih halus, sedangkan ia lebih padat ketimbang api. Air, yang ada diatas
tanah, lebih halus dari tanah tapi lebih padat jika dibandingkan dengan udara.
Tanah, yang berada paling jauh dari langit bersifat padat.
Hirarki penciptaan demikian dalam periodisitas makhluk
dengan keinginan Allah SWT mencapai puncak kesempurnaannya pada derajat manusia
dan kemampuannya menerima kesempurnaan tersebut yang terdiri dari pemilikan
sarana mental dan kemungkinan fisik dan menjadi ciri watak manusia. Dari sini
nyatalah bahwa meskipun mineral, tumbuhan dan hewan yang berbicara mendahului
manusia dalam urutan penciptaan, tujuan akhir semua (kemunculan eksistensi)
ini, sesuai dengan doktrinnya: pada mulanya datang pikiran lalu tindakan.
Berkenaan dengan perbedaan dalam bentuk berbagai kategori makhluk dapat
dijelaskan sebagai Allah SWT adalah untuk membuat semua yang potensial pada
jiwa individual menjadi actual dengan pengaruh langit-langit dan
bintang-bintang.[14]
b. Jiwa
Menurut
At-Thusi, jiwa merupakan substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa
sendiri. Keberadaan jiwa tidak memerlukan pembuktian. Jiwa mengontrol tubuh
melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi ia sendiri tidak dapat dirasa oleh
alat-alat tubuh. Berbagai ragam yang diterima oleh jiwa, seperti persoalan
logika, fisika, matematika dan lain-lain tidak terjadi campur baur, dan dapat
diingat dengan jelas. Tentu hal ini tidak mungkin terdapat pada suatu substansi
material yang kapasitasnya terbatas. Karena itu, jiwa adalah substansi
immaterial. Kalaupun jiwa memerlukan tubuh sebagai alat penyempurnaan dirinya,
tetapi ia tidak begitu dikarenakan pemilikannya akan tubuh.
Pembagian jiwa sebagaimana dipahami para
filsuf sebelumnya kepada jiwa vegetatif, hewani, dan manusia, oleh At-Thusi
ditambahkan jiwa imajinatif yang menempati posisi tengah diantara jiwa hewani
dan manusiawi. Jiwa imajinatif ini berkaitan dengan persepsi-persepsi rasa
disatu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi rasional dipihak lain,
sehingga jika ia disatukan dengan jiwa hewani maka ia akan menjadi bergantung
kepadanya dan hancur bersamanya, tetapi jikalau ia dihubungkan dengan jiwa
manusia, ia menjadi terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira
atau bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah keterpisahan jiwa
dari tubuh, suatu jejak imajinasi tetap berada dalam bentuknya, dan hukuman dan
penghargaan jiwa manusiawi menjadi bergantung kepada jejak ini, yang dikenal
atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia ini.
Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya
akal, yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal itu ada dua macam:
akal teoritis dan akal praktis. Akal teoritis merupakan suatu potensialitas
yang perwujudannya mencakup empat tingkatan, yakni akal material (‘aql
hayulani), akal malaikat (‘aql malaki), akal aktif (‘aql bi
al-fi’l), dan akal yang diperoleh (‘aql mustafad). Pada
tingkatan akal mustafad setiap bentuk konseptual yang terdapat didalam jiwa
menjadi nyata terlihat, seperti dalam cermin. Adapun akal praktis, menyangkut
dengan perbuatan-perbuatan sengaja dan tidak sengaja. Karena itu
potensialitasnya diwujudkan lewat tindakan moral, kerumah tanggaan dan politis.
c. Moral
Nasiruddin
‘abd al-Rahman, gubernur Ismailiyah dari Quhistan, memerintahkan At-Thusi
menerjemahkan kitab al-thaharah (Tahdzib al-Akhlaq) dari bahasa Arab ke
dalam bahasa Persia. Namun At-Thusi melihat karya Ibnu Miskawaih tersebut
terbatas pada penggambaran disiplin moral; hal yang berhubungan dengan rumah
tangga dan politik tidak disinggung dalam buku tersebut. Padahal, keduanya
merupakan aspek yang sangat penting dari “filsafat praktis”, dan karena itu
tidak bo;eh diabaikan. Atas dasar itulah At-Thusi memasukkan persoalan rumah
tangga dan politik dalam karyanya, Akhlaq-I Nasiri, dengan menyetir
pemikiran Al-Frabi dan Ibnu Sina. Jadi karya tersebut tidak semata-mata terjemahan dari Tahdzib al-Akhlaq sebagai
diutarakan dalam Encyclopaedia of islam (I,933), tetapi tetapi lebih
bersifat ringkasan dari buku Tahdzib al-Akhlaq dengan format dan
klasifikasi masalah sepenuhnya merupakan karya At-Thusi.
Bukunya Akhlaq
an-Nashiri mengklasifikasikan pengetahuan kedalam spekulasi dan praktek.
Pengetahuan spekulatif dibaginya pula dalam (a) metafisika dan teologi (b)
matematika (termasuk musik, optik dan mekanik), (c) ilmu alam, termasuk elemen,
ilmu-ilmu transportasi, meteorologi, minerologi, botani, zoologi, psikologi,
pengobatan, astrologi dan agrikultur. Pengetahuan praktis termasuk (a) etika,
(b) ekonomi domestic, dan (c) politik. Baik dan buruk tidak luput dari
perhatian Thusi. Kebaikan datang dari Tuhan, sedangkan yang buruk lahir secara
kebetulan dalam perjalanan yang baik. Kebaikan ibarat gandum yang ditanam dan
disiram sehingga tumbuh dengan baik yang akhirnya dapat dipanen. Sedangkan
keburukan, seperti busa yang muncul diatas permukaan air sebagai akibat gerakan
air, bukan berasal dari air. Jadi tidak ada prinsip buruk di dunia ini tetapi
sebagai suatu kebetulan yang diperlukan atau hasil dari aksentuasi hidup
manusia. Dalam kehidupan manusia, keburukan terjadi karena kesalahan penilaian
atau penyalahgunaan karunia Tuhan yang berupa kehendak bebas (free will).
Keburukan juga bisa muncul sebagai akibat kebodohan. Meskipun demikian, keburukan
adalah sesuatu yang penting bagi dua hakikat sekaligus, langit dan bumi,
manusia dan tuhan sekaligus.
Menurut
At-Thusi, bahwa kebahagiaan utama (sa’adah al-ula) adalah tujuan moral
utama, yang ditentukan oleh kedudukan manusia dalam evolusi kosmik dan
diwujudkan kesediaannya untuk berdisiplin dan patuh. Pendapat ini berbeda
dengan konsepsi yang diajukanoleh Aristoteles yang bebas dari unsure-unsur
angkasa. At-Thusi mendukung pemikiran Plato sebagai dikembangkan Ibnu Miskawaih
Bahwa kenbaikan-kebaikan mengacu kepada kebijakasanaan, keberaniaan,
kesederhanaan, dan keadilan yang berasal dari tiga kekuatan jiwa, yakni Akal,
kemarahan, dan hasrat. At-Thusi juga menempatkan kebajikan (tafadhdhul)
di atas keadilan, dan cinta (mahabbah) sebagai sumber alami kesatuan, di
atas kebajikan.
Tentang
penyakit jiwa, bagi At-Thusi merupakan penyimangan jiwa dari keseimbangan (‘itidal),
baik dari segi jumlah (kammiyat)—sebagai dikemukakan oleh Aristoteles
dan Ibnu Miskawaih dengan keberlebihan (ifrad) dan keberkurangan (tafrid)—maupun
dari segi mutu, yang dinamakan oleh At-Thusi sebagai perbuatan yang tidak wajar
(rada’at). Jadi, penyakit moral bisa disebabkan oleh salah satu dari
tiga sebab, yaitu (1) keberlebihan, (2) keberkurangan, dan (3) ketakwajaran
akal, kemarahan atau hasrat. Atas dasar ketiga sebab penyakit jiwa tersebut,
At-Thusi menggolongkan penyakit-penyakit akal teoritis menjadi kebingungan
(hairat), kebodohan sederhana (jahl al-basith), dan kebodohan fatal (jahl
al-murakkab). Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa
untuk membedakan relasi biner antara benar-salah dan baik-buruk, padahal tidak
mungkin muncul secara serempak dua hal yang bertentangan, dengan kata lain,
jika suatu hal benar, maka tidak mungkin salah. Kebodohan sederhana
terdapat pada kekurangtahuan manusia bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan semacam
ini merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan starting point untuk
mencari pengetahuan, sebaliknya akan sangat berbahaya jika riang gembira dengan
keadaaan demikian. Untuk itu, manusia perlu disadarkan akan perkembangan
nalarnya, bukan pada penampilan lahiriyah, sekaligus sebagai pembedanya dari
hewan. Kebodohan fatal ialah kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal,
tetapi ia merasa mengetahui hal itu. Menurut At-Thusi, penyakit ini sulit
disembuhkan, hanya bisa ditekan dengan pengajaran matematika Qur'ani dan rasio
Nabawi.
Lebih luas
permasalahan moral, Thusi memasukkan urusan rumah tangga ke dalamnya. Thusi
mendefinisikan rumah (manzil) sebagai hubungan istimewa antara suami dan
isteri, orang tua dan anak, tuan dan hamba serta kekayaan dan pemiliknya.
Tujuan ilmu rumahtangga (tadbir al-manzil) adalah mengembangkan sistem
disiplin yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik, sosial dan mental
kelompok utama ini, dengan ayah sebagai pemegang kendalinya. Fungsi ayah adalah
menjaga dan memperbaiki keseimbangan keluarga. Jika fungsi ini tidak mampu
diemban oleh seorang laki-laki, Thusi menyarankan agar seorang laki-laki
menikah. Berdasarkan tujuan pembentukan rumahtangga, maka perkawinan
bukanlah memenuhi kepuasan syahwat. Sejalan dengan itu, poligami pun haruslah
dihindari sebab bisa membawa kekacauan dalam rumah tangga, karena wanita pada
dsarnya lemah pikiran dan secara psikologis cemburu terhadap pasangan lain
suaminya dalam merebut cinta dan kekayaannya. Laki-laki yang berpoligami
diibaratkan oleh Thusi sebagai sebuah jantung Yng menghidupi dua tubuh.
Sedangkan isteri yang baik adalah memiliki kecerdasan, integritas, kemurniaan,
kesederhanaan, dan kelembutan hati. Adapun kehormatan, kekayaan dan kecantikan
adalah unsur pelengkap—beauty is only a skin deep. Kekayaan sangat diperlukan
untuk mencapai tujuan pokok pemeliharaan diri serta pemeliharaan keturunan,
namun demikian seseorang harus bekerja secara terhormat dan pantang merugi
dalam berdagang (tijaratan lan tabor), dan gemar menabung secara wajar.
d. Politik
Thusi
menggunakan istilah siyash al-mudun untuk ilmu kemasyarakatan dan ilmu
pemerintahan. pada dasarnya, manusia adalah makhluk social, hal itu sesuai
dengan istilah insan yang secara harfiah berarti orang yang suka
berkumpul dan berhubungan. Karena kemampuan alamiah untuk berteman itu (uns
at-thaba’i) merupakan ciri khas manusia, maka kesempurnaan manusia dapat
dicapai dengan menunjukkan sepenuhnya watak ini terhadap sesamanya. Itulah
sebabnya Islam menekankan keutamaan shalat berjamaah. Kata Tamaddun
berasal dari kata madinah (kota) yang berarti kehidupan bersama manusia yang
memiliki pekerjaan yang berbeda-beda dengan tujuan mutualistis. Karena tidak
satu manusiapun bisa mencukupi dirinya sendiri, maka setiap orang membutuhkan
bantuan dan kerjasama orang lain. Keinginan setiap manusia berbeda-beda dan
begitu juga dengan dorongan yang membuat manusia mau bekerjasama. Perbedaan
motivasi kerjasama tersebut menjdi pemicu perbedaan minat yang menjurus kepada
pertentangan dan ketidakadilan. Atas dasar itu diperlukan pemerintah yang adil
untuk melindungi hak, dan menjadi penenganh kedua setelah hukum-hukum Tuhan.
Thusi berpendapat, raja semacam itu merupakan wakil Tuhan di bumi (khalifa
fi al- ardh). Menurut Thusi, suatu Negara didukung oleh empat kelompok,
yaitu ilmuwan, prajurit, petani, dan pedagang. Tugas raja yang utama adalah
mengukuhkan Negara dengan menignkatkan persatuan anatara ke-empat kelomok
tersebut disamping menumbuhkan rasa cinta diantara kawan-kawannya dan kebencian
diantara musuh-musuhnya.untuk itu, seorang raja harus memiliki latar belakang
(1) keluarga terhormat, (2) bercita-cita itnggi, (3) adil dalam menilai, (4)
teguh pendirian, (5) kukuh dalam menghadapi kesulitan, (6) lapangdada, dan(7)
memiliki sahabat-sahabat yang berbudi baik.
Thusi juga
membicarakan etika perang. Meski ia membenarkan politik lewat diplomasi dalam menghadapi
musuh, tetapi ia tidak menyetujui adanya penghianat. Jika tak terelakkan
terjadinya pertentangan, maka serangan harus dilakukan atas nama Tuhan dan
dengan persetujuan seluruh anggota pasukan. Setelah kemenangan diperoleh tidak
dibenarkan membunuh tawanan.
e. Kenabian
Menurut
At-Thusi, manusia mempunyai kebebasan bertindak dan kelak akan dibangkitkan
kembali tubuhnya secara utuh. Pendapat ini membawa konsekuensi beragamnya minat
serta dimungkinkannya terjadi kekacauan dalam kehidupan sosial. Untuk itu
diperlukan aturan suci dari Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia, yakni
agama, namun demikian agama belum final dan selesai pada lembaran-lembaran
Kitab Suci. Oleh karena Tuhan berada di luar jangkauan indera, maka ia mengutus
para Nabi untuk menuntun manusia. Jadi kehadiran Nabi sangat diperlukan
manusia, termasuk dalam hal ini pemimpin spiritual untuk melanjutkan aturan
suci yang diterapkan para Nabi.[15]
Namun realitanya, kekacauan dan perang saudara antar umat manusia terus saja
berlangsung. Ini adalah juga dosa para Nabi yang hanya "egois"
memimpin bangsa dan umatnya sendiri dalam kotak-kotak kecil bernama suku, ras,
golongan maupun bangsa dan Negara. Allahu yuwaffiquna ila sabilil-anbiya'
wal-mursalin.
***
Markaz él-Faylasuf,
20 Shafar 1433 Hikmah
IV. MULLA SHADRA
"…dengan cahaya Ilahi, aku pahami
segala sesuatu secara intuitif…"
a. Manaqib (مناقب )
Jika
Empat begawan filsafat Islam terkemuka: al-Kindi (800-870 M), ar-Razi (865- 925
M), al-Farabi (872-950 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M) menggumuli masalah klasik
"perbedaan antara dzat dan wujud" (distinctio realis inter
essentiam et existentiam) di mana mereka sampai pada kesimpulan bahwa
akal adalah "mitra kerja" iman, meskipun nantinya ar-Razi
menolak ijazu'l Qur'an—dengan mengatakan bahwa "Tuhan memberi kepada manusia akal
sebagai anugerah terbesar. Dengan akal
kita mengetahui segala apa yang bermanfaat bagi kita dan yang dapat memperbaiki
hidup kita—tapi
tidak demikian dengan para filsuf pasca Ibnu Rusyd, di mana teosofi menjadi
"plat nomor" bagi kendaraan pemikiran masing-masing. Salah
satunya adalah Muhammad Ibnu Ibrahim Yahya Qawami Syirazi, sering disebut
Shadruddin as-Syirazi atau Akhund Mulla Shadra. Di kalangan para mahasiswanya
dikenal dengan Shadrul-Muti'allihin. Ia dilahirkan di Syiraz pada tahun 979 H
atau 1571 M, ayahnya pernah menjadi gubernur wilayah Fars. Kondisi ini
memungkinkannya memperoleh jenjang akademik yang layak, tak lama setelah itu ia
telah menguasai bahasa Arab, bahasa Persia, al-Qur'an, Hadits, logika, sejarah
pemikiran filsafat dan disiplin ilmu lainnya.
Shadra
muda—tidak jauh beda dengan mahasiswa STF Al-Farabi, adalah pribadi yang sangat
serius dalam belajar—kemudian melanjutkan studi ke Isfahan, sebuah pusat budaya
yang penting untuk dunia Timur pada saat itu, ia berguru kepada teolog
Baha'uddin al-'Amili (w. 1031 H), kemudian kepada filsuf Peripatetik Mir
Abul-Qasm Fendereski (w. 1050 H). Tetapi gurunya yang utama adalah seorang
filsuf-teolog bernama Muhammad atau lebih dikenal Mir Damad (w. 1041 H/1631 M),
seorang penggagas berdirinya pusat kajian filsafat dan teolog yang kini dikenal
sebagai "Aliran Isfahan". Teman-teman seperguruan Shadra di Isfahan,
antara lain Ahmad 'Alawi, 'Aqa Husaya Khwansari, dan Baqir Sabzawari, tenggelam
karena kemasyhurannya. Mereka terkenal setelah Shadra meninggalkan Isfahan
menuju Kahak, sebuah desa di pedalaman dekat Qum. Di sanalah, Mulla Shadra
menjalani hidup zuhud dan pembersihan hati dengan melakukan latihan-latihan
rohani untuk mencapai hikmah al-Ilahi dengan mendalami teosofi selama
tujuh tahun, ada yang menyebutkan selama 11 tahun. Jalan yang dipilih Shadra
ini dikritik oleh beberapa ulama "fi'il madhi" bahkan ada yang
menuduhnya "kafir". Hal ini diutarakannya dalam kata pengantar
kitabnya, Asfar dan Shihh al-Ashl (semacam autobiografi).
Lebih jauh Shadra berkata: "cahaya Ilahi berkilau di atasku dan dapat
menyingkap segala rahasia yang tak pernah kuduga sebelumnya". Karena
itu ia dapat memahami secara intuitif apa yang pada mulanya ia pelajari
secara diskursif dan pendekatan-pendekatan rasional lainnya. Diakuinya
bahwa pencapaian ini bukan hanya pengalaman spiritual tapi juga pencapaian
filsafat tertinggi. Karena itu pula perjalanan hajinya sebanyak tujuh kali
dilakukan dengan berjalan kaki. Pada gilirannya, ia sadar bahwa ia terikat
kewajiban untuk memberikan kepada orang lain apa yang telah ia terima secara
begitu istimewa sebagai hadiah dari Tuhan.[16]
Berdasar pemahaman itu, Shadra menyerang ulama fiqh yang menolak gnosis (irfan)
serta dimensi esoteris dalam agama. Kata Shadra, setengah mereka tampak
dari luar semacam berilmu tetapi sebenarnya penuh dengan kecemburuan, iri hati,
setengah dari kalangan teolog (mutakallimin) tergelincir dari landasan
logika yang lurus dan berdiri di luar gelanggang ketulusan hati. Mereka yang
katanya berpegang pada fiqh, namun tergelincir dari ketakwaan dan
ketaatan kepada Allah bahkan menjerat taqlid di leher masing-masing dan
membabi buta menolak kezuhudan.
Atas
desakan masyarakat dan permintaan Syah Abbas II (1588-1629 M) dari Dinasti
Safawi, Mulla Shadra diminta menjadi guru di madrasah Wirdi Khan yang didirikan
oleh gubernur provinsi Fars di Syiraz. Berkat kesungguhan Shadra, kota
kelahirannya ini kembali menjadi pusat ilmu pengetahuan seperti sebelumnya. Di
samping bertugas sebagai pendidik di madrasah Khan yang dilaluinya selama 30
tahun, di sini pulalah ia banyak melahirkan karya. Hal ini diakui oleh Thomas
Herbert, pengembara abad 11 H/17 M yang pernah singgah ke Syiraz semasa hidup
Shadra. Herbert mereportase bahwa di Syiraz terdapat perguruan yang mengajarkan
filsafat, astrologi, fisika, kimia, dan matematika yang menyebabkannya
termasyur di seluruh Persia. Akhirnya pada perjalanan hajinya yang
ketujuh Mulla Shadra jatuh sakit dan meninggal dunia di Basrah pada tahun 1050
H/1641 M. Makamnya sangat masyhur di kota itu.
Dengan
ringkas, perjalanan hidup Mulla Shadra dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu:
(1) Masa pendidikan formal di Syiraz dan Isfahan; (2) Masa kezuhudan dan
pembersihan jiwa di Kahak. Di tempat ini juga dia mulai menulis karya awalnya,
seperti bagian awal kitab asfar, Tarh al-kawnayn (atau Risal,
al-hasyr); Huduts al-'alam, dan Hall al-Musykilat al-Falakiyah
fil-Iradah al-Jazafiyyah; (3) Masa sebagai pengajar dan penulis di Syiraz.
Ketika itulah ia membimbing secara intensif
para mahasiswanya, antara lain yang terkenal Muhsin Kasyani dan 'Abd
al-Razzaq Lahiji.
b.
Karyanya ( نتائج الفكر )
Menurut
Thaba'taba'i sebagaimana dikutip Sayed Hossein Nasr, karya Mulla Shadra tidak
kurang dari 46 judul ditambah enam risalah yang dianggap karya Mulla Shadra.
Tetapه Fazlur Rahman
menyebutnya berjumlah 32 atau 33 risalah. Sebagian besar karya-karya tersebut
telah terpublikasi sejak abad XIX. Hanya risalah-risalah kecil tertentu saja
yang belum dipublikasikan.
Karya
Mulla Shadra tersebut, ada yang berusaha membaginya: (1) Berdasarkan tema
sentral yang dikandungnya, menjadi karya murni filsafat dan tasawuf; (2)
Berdasarkan orisinalitas ide, dan (3) Ada yang membedakannya kepada karya asli
dan karya yang hanya memuat penjelasan tentang tulisan-tulisan filsuf
sebelumnya, seperti penjelasan tentang metafisika Ibnu Sina sebagai yang
termuat dalam al-Syifa' dan Hikmah al-Isyraq-nya Suhrawardi.[17]
Tetapi, tidak mudah untuk memisahkan otentisitas (ashalah) serta
orsinilitas pemikiran filsafat Mulla Shadra dengan pemikiran tawawufnya.[18]
Karya-karya Mulla Shadra dimaksud, di antaranya:
1) Al-Hikmah
al-Muta'aliyah fi ِAsfar al-'Aqliyyah al-Arba'ah (Kebijaksanaan Transendental tentang
Empat Perjalanan Akal pada Jiwa). Lebih dikenal dengan judul Asfar
(perjalanan). Kitab ini merupakan karya monumental yang banyak diminati dan
diapresiasi hingga saat ini, karena menjadi dasar bagi seluruh karyanya sendiri
khususnya dan pemikiran pasca-Avicennian pada umumnya. Kitab itu memuat
simbol-simbol pengembaraan intelektual dan spiritual manusia ke hadirat Tuhan
yang akan kita bahas nanti . Sampai saat
ini di Iran, Asfar digunakan sebagai teks tertinggi dalam memahami
"hikmah" dan hanya akan dibaca oleh mereka yang telah memahami
teks-teks standar ilmu kalam, filsafat, dan paripatetis, teosofi isyraqi,
dan dasar-dasar ajaran irfan[19]
lainnya.
2) Al-Hasyr. Delapan bab dari buku ini membincang
tentang hari kebangkitan, dan betapa semua benda, termasuk barang tambang, akan
kembali kepada Allah.
3) Al-Hikmah
al-'Arsyiyyah (Filsafat
'Arasy) memperbincangkan pasca kebangkitan dan masa depan manusia sesudah mati.
Buku ini menjadi sumber pertikaian hebat di kalangan aliran ilmu kalam
nantinya.
4) Huduts al-'Alam. Membicarakan tentang asal-usul alam
dan kejadiannya dalam "waktu" berdasarkan al-harakah
al-jawhariyyah, dan penolakan terhadap pemikiran Mir Damad.
5) Kasr al-Ahsnam
al-Jahiliyyah fi Dhamm al-Mutashawwifin (Pemusnahan Mercusuar Kebodohan dalam Meng-counter
para Sufi Karbitan). Kata mutashawwifin di sini dimaksudkan mereka yang
berpura-pura sufi tetapi meninggalan ajaran syariat.
6) Khalq al-A'mal (sifat kejadian perbuatan manusia)
7) Al-Lama'ah
al-Masyriqiyyah fil Funun al-Mantiqiyyah (percikan iluminasi dalam seni logika)
8) Al-Mabda'
wal-Ma'ad berisikan
tentang metafisika, kosmologi, dan eskatologi.
9) Mafatih al-Ghaib (kunci alam gaib). Sebuah karya yang
sangat mendasar yang ditulisnya setelah mencapai kematangan ilmu. Berkisar
doktrin irfan tentang metafisika, kosmologi, dan eskatologi serta
mengandung rujukan yang banyak dari al-Qur'an dan Hadits.
10) Kitab
al-Masya'ir (kitab
penembusan metafisika). Salah satu dari kitab Shadra yang paling banyak
dipelajari dalam tahun-tahun belakangan ini mengandung ringkasan teori
ontologi.
11) Al-Mizaj (tentang prilaku perasaan).
Membicarakan tentang prilaku akibat dari bawaan, perangai dan sifat sebagai cabang
dari ilmu jiwa.
12) Mutasyabihat
al-Qur'an (ayat-ayat
mutasyabihat dalam al-Qur'an). Memperbincangkan tentang ayat-ayat yang sukar
dipahami dan bersifat metafora dari sudut irfan.
13) Al-Syawahid
al-Rububiyyah fil-Manahij as-Sulukiyyah (penyaksian Ilahi akan jalan ke arah kesederhanaan
rohani). Merupakan ringkasan doktrin Mulla Shadra yang paling lengkap yang
ditulis berdasarkan tinjauan irfan. Karya ini banyak disyarah oleh tokoh
filsafat di Persia belakangan ini, seperti Mulla Ali Nuri.
c. Proses
Kreatif (مسالك الابداع)
Sampai
abad ke-XI, filsafat yang berkembang di dunia Islam bercorak paripatetis
Neo-Platonisme yang mencapai puncaknya di tangan Ibnu Sina dan para
pengikutnya. Tetapi pada masa Dinasti Saljuk yang ditandai dengan perkembangan
Madrasah Nizhamiyah, posisi filsafat digantikan oleh tasawuf—meski sejatinya
tasawuf falsafi—terutama setelah al-Ghazali menyerang para filsuf dengan
bukunya Tahafut al-Falasifah. Sejak itu tradisi filsafat di dunia
Islam Timur, yang berada di bawah pengaruh Sunni, mengalami kelesuan, kalau
tidak dikatakan hampir mati. Namun di dunia Islam Barat, tepatnya di
Andalusia, filsafat masih terus hidup untuk beberapa lama di tangan Ibnu Rusyd.
Bersamaan dengan itu, sebenarnya di dunia Islam timur, yang berada di bawah pengaruh
Syi'ah, tradisi intelektual Islam masih tetap hidup, khususnya di Persia.
Hal itu ditandai pada abad ke VI H/XII M, Suhrawardi mengkritik beberapa ajaran
dasar filsafat iluminasi yang bersifat mistis (Hikmah al-Isyraq) yang
mempunyai banyak pengikut. Kedudukan Suhrawardi yang penting dalam sejarah
pemikiran pasca-Avicennian terletak dalam usahanya untuk mempertahankan
kesatuan kebenaran keagamaan dan metafisika dan kewajiban para pencari yang
sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran dari manapun sumbernya. Arus Isyraqi
yang dilepas oleh Suhrawardi terus mengalir deras khususnya dilingkungan Syi'ah
selama masa Dinasti Safawi di Persia yang didirikan oleh Syah Isma'il
(1500-1524 M).[20]
Pada abad XIII, Nasir al-Din al-Thusi, seorang filsuf
Peripatetis terkemuka, terpengaruh oleh beberapa pandangan para filsuf
iluminasi, melakukan counter-attack, dan mengembalikan "nama
baik" filsafat Peripatetis lewat karyanya Syarah al-Isyarat (Syarah
terhadap kitab panduan dan penelitian karya Ibnu Sina). Bersamaan dengan itu,
pada abad XIII juga muncul tokoh-tokoh besar di bidang spiritual yang bercorak gnosis
atau irfan, seperti Ibnu Arabi dan Jalaluddin Rumi.
Di bidang ilmu kalam, beberapa abad sebelum Mulla Shadra,
merupakan masa yang paling kreatif. Setelah masa Fakhruddin ar-Razi, aliran
Ilmu Kalam Sunni terus berkembang terutama lewat karya-karya Qadhi' Aududdin
al-Iji, Sa'duddin Taftazani, Sayyid Syarif Jurjani hingga ke masa munculnya
Syah Waliullah di India pada abad ke XVIII. Sedangkan aliran Ilmu Kalam Syi'ah
mulai berkembang dalam bentuknya yang sistematis pada abad ke IV H/X M dan
seterusnya yang ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh seperti Muhammad Ibnu
Ya'kub Kulyani, Ibnu Babuyah, Syekh Muhammad at-Thusi, dan Ahmad bin Ali
Tabarsi. Namun demikian, karya sistematis pertama dalam Ilmu Kalam Syi'ah
ditulis oleh Nasiruddin Thusi pada abad ke XIII dengan judul Tajrid.
Sejumlah syarh dan hasyiyah tentang Tajrid telah ditulis oleh beberapa
pengikut Thusi sampai satu dua generasi sebelum Mulla Shadra.
Keempat aliran pemikiran Islam di atas, filsafat
Peripatetis, Iluminasi, Gnosis/'irfan, Kalam Sunni-Syi'ah, mempengaruhi proses
pembentukan tradisi pemikiran Mulla Shadra. Ketika Shadra muda datang ke
Isfahan, ia memasuki dunia intelektual yang matang dan memiliki akar sejarah
yang panjang. Mulla Shadra mewarisi khazanah intelektual itu dan mengetahui
secara mendalam ajaran, pendekatan dan masalah-masalah setiap aliran pemikiran.[21]
Sintesis yang dilakukan oleh Mulla Shadra bukan sekedar menggabungkan teori
atas gagasan keempat aliran pemikiran Islam tersebut diatas, melainkan
meramunya dalam perspektif yang belum pernah ada sebelumnya dalam Al-Hikmah al-Muta'aliyah.
Maka untuk memahami pemikiran Mulla Shadra, terlebih dahulu harus dipahami
beberapa sumber pemikiran yang mengitarinya sebagai diutarakan diatas,
meliputi:
1.
Filsafat Islam Peripatetis-Neo-Platonisme yang dikembangkan
oleh Ibn Sina;
2.
Teori Isyraqi (Iluminasi-bahasa Latin luminare yang
berarti cahaya) Suhrawardi;
3.
Doktrin Gnostis (Irfan) Ibn Arabi;
4.
Ilmu Kalam Syi'ah Imamiyah;
5.
Wahyu, termasuk di dalamnya sabda an-Nabi Saw dan para Imam
Syi'ah.
Dalam
penilaian Henry Corbin, pemikiran Suhrawardi dan Mulla Shadra disejajarkannya
dengan kombinasi antara St. Thomas Aquinas dan Jacob Boehme. Tulisan Mulla
Shadra, al-Hikmah al-Muta'aliyah adalah karya paling monumental filsafat
Islam, yang menyelaraskan secara menyeluruh argumen rasional, illuminasi yang
diterima dari kesadaran spiritual dan ajaran wahyu, dalam artian tertentu
merupakan puncak aktivitas intelektual selama seribu tahun dalam dunia Islam
Persia dan sebagian besar India Muslim.[22]
d. Filsafatnya
(اثرالتفكير)
v Epistimologi
Filsafat
dapat diklasifikasi menjadi dua pembagian utama: (1) teoritis,
yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana
adanya—ontologis eksistensialis. Perwujudannya tercermin dalam dunia akal dan
ide, termasuk jiwa di dalamnya sebagai dikemukakan oleh al-Farabi dan Ibn Sina.
(2) praktis, yang mengacu pada pencapaian
kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Perwujudannya adalah
mendekatkan diri pada Tuhan secara metafisis, melalui semacam Imitatio Dei
yang membuat jiwa berhak memperoleh suatu hak istimewa seperti itu.[23]
Sejalan
dengan falasifah sebelumnya, Mulla Shadra juga meyakini adanya titik
temu antara filsafat dan agama sebagi kesatuan kebenaran yang dapat dibuktikan
melalui mata rantai historis yang berkesinambungan dari Adam sampai Ibrahim,
orang-orang Yunani, para Sufi Islam (mengalami puncaknya pada Ibn Arabi), dan
para filsuf. Shadra melukiskan bagaimana Seth dan Hermes (yang dapat disamakan
dengan Idris dalam al-Qur'an dan Enoch dalam Injil) bertanggung jawab atas
penyebaran pengkajian kebijakan (al-Hikmah) keseluruh dunia. Orang-orang
Yunani, yang menurutnya pada awalnya adalah para pemuja bintang, lalu dengan sanad
yang bersumber dari Ibrahim as. diajari Teologi dan ilmu Tauhid melalui Thales
dari Miletos dan mencapai puncaknya pada Socrates dan Plato; yang lain
diprakarsai oleh Pythagoras, yang menerima pelajaran tentang kebijaksanaan
Sulaiman, yang dijumpainya di Mesir, dan juga dari pendeta-pendeta Mesir.[24]
Menurut
Shadra wujud atau realitas itu hanyalah satu yang membentuk hirarki dari
debu hingga Singgasana Ilahi ('arasy). Tuhan sendiri adalah Wujud
Mutlak yang menjadi titik permulaan bidang eksistensi di mana matarantai wujud
bergerak secara konstan menuju titik permulaan itu. Dengan demikian, tuhan
adalah transenden vis-à-vis rantai wujud. Gerakan konstan-vertikal dalam
skala-skala wujud ini disebut oleh Mulla Shadra sebagai perubahan substantif
(harakah jauhariyah) menuju kesempurnaan (kamal) dan sebagian
besar dicapai dengan pengetahuan. Gerakan-gerakan dalam perubahan substantif
ini oleh Shadra disebut dengan safar (pengembaraan/journey).
Risalah al-Hikmah al-Muta'aliyah menggambarkan perjalanan akal secara
lengkap melalui tahapan-tahapan dari ketidaksempurnaan menuju Yang Maha
Sempurna. Tahapan-tahapan ini terbagi menjadi empat perjalanan (al-asfar
al-arba'ah).
Perjalanan
pertama adalah dari makhluk (khalq) menuju Hakikat Kebenaran atau
Pencipta (Haqq). Perjalanan pertama ini menunjukkan pengembaraan
dari maqam nafsu (nafs) ke maqam hati (qalb), lalu
dari hati ke maqam ruh, dan dari maqam ruh menuju tujuan terakhir (al-maqshadul-aqsha)
atau tujuan tertinggi (al-bahjaul-kubra). Setiap manusia pada umumnya
melalui ketiga maqam ini, khususnya mahasiswa STF. Manakala seorang manusia
telah mencapai al-maqshadul-aqsha, berarti ia telah menghadapkan
wajahnya kepada Keindahan Tuhan dan ia fana' di dalamNya. Maqam terakhir
ini disebut juga dengan maqam fana' didalam Dzat Tuhan (al-fana' fidz-Dzat)
yang di dalamnya terkandung rahasia (sirr), yang tersembunyi (al-khafi)
dan yang paling tersembunyi (al-akhfa').[25]
Perjalanan kedua adalah dari Hakikat ke Hakikat dengan cara Hakikat (min
al-Haqq ilal-Haqq bi al-Haqq). Perjalanan dimulai dari maqam Dzat
menuju maqam Kamalat hingga hadir dalam Kesempurnaan Tuhan dan
mengetahui seluruh Nama Tuhan (berikut hikmah ilahiyah). Mahasiswa STF (salik)
yang telah mencapai maqam ini, dzatnya, sifatnya, dan perbuatannya fana'
di dalam Dzat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan. Ia mendengar dengan Pendengaran
Tuhan, melihat dengan Penglihatan Tuhan, berjalan dengan Bantuan Tuhan, dan
bertindak dengan Tindakan Tuhan. Sirr adalah kefanaan dzatnya, khafa
adalah kefanaan sifat dan perbuatannya; dan ikhtifa' (paling
tersembunyi) adalah kefanaan keduanya. Perjalanan kedua ini berakhir sampai ke
daerah kewalian (dairat al-walayah),[26]
yang berarti perjalanan ketiga dimulai.
Perjalanan ketiga adalah dari Hakikat kepada makhluk dengan
Hakikat (minal-Haqq
ilal-Khalq bil-Haqq). Setelah menempuh perjalanan melalui maqam-maqam
pada perjalanan kedua, kefanaannya berakhir lalu ia kekal (baqa') dalam
kekekalan Tuhan. Lalu ia menempuh perjalanan melalui alam jabarut, alam malakut,
dan alam nasut, lalu melihat alam semesta melalui Dzat, Sifat, dan
Perbuatan Tuhan. Ia mengecap nikmat 'kenabian', meskipun ia bukan nabi, dan
memperoleh alam ketuhanan melalui Dzat, Sifat, dan Perlakukan Tuhan. Di sini
berakhir perjalanan ketiga dan bermula perjalanan keempat.
Perjalanan keempat adalah dari makhluk ke makhluk dengan
Hakikat (minal-Khalq
ilal-Khalq bil-Haqq). Seorang pengembara (salik) mengamati makhluk
dan menangkap kesan-kesan yang ada pada makhluk itu. Ia mengetahui kebaikan dan
kejahatan makhluk, lahir dan batin, di dunia ini dan di dunia yang akan dating,
membawa ilmu yang dibutuhkan makhluk, mengetahui mana mudharat dan manfaat,
yang membahagiakan dan yang mencelakakan. Dalam kehidupannya, ia senantiasa
bersama dengan al-Haqq karena wujudnya telah terpaut dengan Tuhan dan
perhatiaannya kepada makhluk tidak mengganggu perhatiannya kepada Tuhan.[27]
v
Metafisika
1.
Wujud
Pada awalnya, Mulla Shadra adalah
menganut pemikiran metafisika esensialis Suhrawardi, tetapi dengan pengalaman
spiritual yang dikominasikan dengan visi intelektualnya, ia menciptakan apa
yang disebut Corbin sebagai "revolusi besar di bidang metafisika",[28]
dengan memformulasikan metafisika eksistensialis yang dibangun di atas tiga
pilar utama, yaitu wahdah al-wujud (unity of being), ashalah al-wujud (principality
of being) dan tasykik al-wujud (gradation); dan tidak dapat
dipahami tanpa mendalami pemikiran Ibnu Sina dan Suhrawardi. Salah satu
persoalan penting yang menjadi perdebatan di kalangan filsuf dan teolog Muslim
adalah tentang realitas primer, apakah eksistensi (wujud) ataukah
esensi (mahiyah). Bagi penganut filsafat Peripatetis, seperti Ibnu Sina,
realitas primer segala sesuatu adalah eksistensi (wujud), sedangkan esensi (mahiyah)
adalah aksiden yang berhubungan dengan eksistensi. Sementara golongan
iluminasionis, seperti Suhrawardi beranggapan sebaliknya, esensi (mahiyah)
adalah realitas primer dan eksistensi (wujud) hanyalah aksiden yang
tidak memiliki realitas eksternal di luar akal atau tidak berkorespondensi
dalam realitas.[29]
Segala sesuatu diciptakan tersusun dari eksistensi dan esensi. Sebagai Cahaya
segala Cahaya, Ia menganugerahkan kepada entitas-entitas yang diciptakan sifat
benderang mereka, yang dengan itu mereka mempunyai kesamaan dengan-Nya. Tetapi,
esensi mereka sendiri, yang justru membedakan mereka dengan-Nya, tidak dapat
dianggap berasal dari tindakan-Nya, tetapi merupakan kegelapan atau ismus,
yang dalam pandangan Isyraqi memisahkan makhluk dari Cahaya Segala Cahaya, yang
merupakan penciptaannya yang sejati.
Dalam persoalan wahdah (unity)
dan tasykik (gradation), Mulla Shadra memiliki pandangan yang berbeda
dengan doktrin Peripatetis. Dalam pandangan filsuf Muslim Peripatetis, wujud
setiap benda itu berbeda esensinya satu sama lain, tergantung quiditas
(mahiyah)nya masing-masing. Sedangkan menurut Mulla Shadra, wujud itu memiliki
realitas yang sama di dalam semua bidang eksistensi. Yang ada adalah realitas
tunggal, yang membedakan hanyalah bobot/intensitas tingkatan atau gradasi.
Seperti, cahaya matahari, cahaya lampu, cahaya kunang-kunang, subyeknya adalah
sama, yaitu cahaya tetapi predikatnya berbeda, yaitu bobot perwujudannya. Lebih
jauh lagi, menurut Mulla Shadra wujud itu, di mana pun ia mewujudkan dirinya,
selalu muncul dengan atribut-atributnya, seperti pengetahuan, keinginan, dan
kekuatan. Sebuah batu, karena ia eksis merupakan manifestasi dari wujud, dan
oleh sebab itu ia memiliki pengetahuan, keinginan, kekuatan dan intelegensi
seperti layaknya manusia dan malaikat. Akan tetapi, karena tingkat manifestasi
wujudnya sangat lemah, atribut-atribut yang dimilikinya tidak tanpak jelas.[30]
Pertama, Mulla Shadra membagi wujud menjadi wujud terikat (connective
being/al-wujud al-irtibathi) dan wujud bebas (self-subsistent
being/al-wujud al-nafsi). Al-Wujud al-Irtibathi adalah yang
menghubungkan sebuah subyek dengan sebuah predikat, seperti pernyataan:
"Manusia adalah hewan yang rasional".
Sedangkan al-Wujud an-Nafsi adalah wujud yang berdiri bebas dan tidak
menunjukkan adanya keterikatan antara subyek dengan predikat. Dengan demikian,
menurut Mulla Shadra, wujud segala sesuatu selain Tuhan adalah al-wujud
al-irtibathi, sedangkan Wujud Tuhan adalah wujud dengan sendiri-Nya.[31]
Kedua, Mulla Shadra juga membagi wujud menjadi wajib, mumkin,
dan mumtani'. Pembagian diambil oleh Mulla Shadra dari skema pembagian
para filsuf dan teolog pasca Ibnu Sina. Berkaitan dengan keabadian dunia dan
kemustahilan pembangkitan jasmani, menurut Mulla Shadra, dengan tidak
mengurangi rasa hormatnya yang besar kepada Ibnu Sina, ia menolak kedua tema
tersebut. Satu-satunya realitas yang dapat mendahului eksistensi waktu adalah
Tuhan, yang mewujudkan dunia dengan perintah kreatifnya (al-amr). Ajaran
para filsuf kuno, yang sepenuhnya cocok dengan ajaran para nabi dan wali,
bukanlah hanya bahwa dunia dicipta dalam waktu, tetapi juga bahwa segala
sesuatu yang ada di dalamnya pada akhirnya akan musnah. Satu-satunya realitas
yang akan kekal selamanya, seperti dikatakan al-Qur'an, adalah "wajah
Tuhan".
2. Jiwa
Mulla Shadra sebagaimana
Aristoteles, mendefinisikan jiwa sebagai entelechy badan. Oleh sebab
itu, manakala jiwa itu tidak bersifat abadi, dalam arti bermula, maka jiwa itu
tidak dapat dipisahkan dan bebas dari materi. Untuk mengatakan bahwa itu
terpisah dan bebas dari materi hanyalah dengan meyakini adanya pra-eksistensi
jiwa. Pada saat yang bersamaan, Mulla Shadra menolak pandangan Ibnu Sina
yang menyatakan bahwa jiwa adalah sebuah konsep relasional dan bukan
merupakan sesuatu yang bersifat substantif. Bila jiwa sejak dilahirkan
berada didalam materi, kejiawaannya tidak dapat diartikan sebagai suatu relasi
dimana seolah-olah jiwa memiliki eksistensi bebas kemudian berhubungan dengan
materi. Lagi pula, apabila jiwa manusia merupakan substansi bebas, maka tidak
mungkin untuk menyatukan jiwa dengan badan. Hubungan antara jiwa dengan badan
tidaklah seperti hubungan antara daya fisik biasa dengan materinya. Jiwa
bekerja di dalam materi melalui penghubung yang berupa daya-daya yang berada di
bawahnya. Jadi, menurut Shadra, jiwa adalah entelechy badan jasmaniah
yang bekerja melalui fakultas-fakultas yang disebut organ. Tetapi, yang
dimaksud Shadra dengan organ bukanlah organ fisik seperti tangan, perut
dan sebagainya; melainkan fakultas-fakultas atau daya-daya yang dengan
perantaranya jiwa dapat bekerja, seperti selera makan, nutrisi dan pencernaan.[32]
Jiwa bersandar pada prinsip dasar
yang disebut perubahan substantif. Pada umumnya, jiwa itu bersifat jasmaniah,
tetapi akhirnya bersifat spiritual selamanya (jismaniyat al-huduts
ruhaniyat al-baqa'). Artinya, manakala jiwa muncul di atas landasan materi,
bukanlah berarti jiwa itu bersifat materi secara absolut. Dengan prinsip
perubahan substantif ini, dituntut adanya tingkatan yang lebih tinggi dari
landasan di mana jiwa berada. Materi atau tubuh hanyalah instrumen dan
merupakan langkah pertama untuk berpindah dari alam materi menuju alam
spiritual (malakut). Baik jiwa manusia maupun jiwa hewan sama-sama
memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari badannya. Jiwa hewan melepaskan
dirinya dengan imaginasi aktual (khayal bi al-fi'l)nya, sedangkan
jiwa manusia dengan akal aktual ('aql bi al-fi'l). Kedua
konsep ini didasarkan atas doktrin Dunia Khayal ('Alam al-Mitsal)
yang dikembangkan setelah al-Ghazali oleh Suhrawardi, Ibnu 'Arabi dll. Berdasarkan
doktrin ini, struktrur ontologis realitas dibagi menjadi tiga macam alam,
yaitu: Idea atau akal murni di peringkat atas; Khayal murni di bagian tengah;
dan benda-benda materi di bagian paling bawah.[33]
3. Moral
Agama diturunkan oleh Tuhan dengan
tujuan membimbing manusia memperoleh kebahagiaan tertinggi dengan jalan
menciptakan keseimbangan, baik pada tingkat individu maupun sosial. Hal ini
mengandung arti bahwa substansi manusia, yang diciptakan oleh Dzat Yang Maha
Sempurna, harus mengetahui cara mengaktualisasikan seluruh kemampuannya. Kebahagiaan,
menurut Mulla Shadra sangat tergantung kepada kesempurnaan jiwa dalam proses
inteleksi (ta'aqqul). Pengetahuan dapat mengantarkan seseorang dalam
proses trans-substansi (harakah jauhariyah)nya menuju kesempurnaan.
Berkaitan dengan keadilan ('adalah),
tidak dapat dipisahkan dengan konsep keseimbangan (i'tidal) yang
memiliki akar kata yang sama. Bagi Mulla Shadra, kedua konsep itu dikaitkan
dengan puncak kesempurnaan jiwa manusia dan persoalan-persoalan etika di dalam
filsafat, tasawuf, dan syari'ah. Al-Ghazali,
misalnya, di dalam Ihya' menjelaskan empat sifat dasar manusia, yaitu: bahimi,
sab'i, syaithani, dan rabbani. Tiga jenis sifat pertama harus
dikendalikan oleh sifat terakhir, yang dalam perwujudannya berupa akal, agar
keseimbangan dan keadilan dapat terwujud. Dominasi sifat rabbani atas
ketiga sifat yang lain pada diri seseorang akan menempatkannya ke maqam ta-alluh
yang dalam terma Mulla Shadra disebut al-hakim al-muta'allih.[34]***
Markaz
el-Faylasuf, 19 Rabi'ul Awal 1433 H
[2] Futuhat. I: 153, sebagaimana dikutip
Hirtenstein (2001: 75-6). Menurut Michel Chodkiewicz, dialog antara filsuf dan
wali muda ini terkait dengan masalah kebangkitan jasmani.
[3] Ajaran
ini diilhami (setidaknya) diilhami oleh banyak tokoh diantaranya adalah Abu
Yazid al-Basthami (w. 261 H) al-Ghazali (w. 505 H) serta Husein Ibnu Manshur
al-Hallaj (859/244 H-922 M), muridnya Abu Qasim Junanid al-Baghdadi (w. 298 H).
selain al-Ittihad, pemikiran dan doktrin al-Hallaj adalah Wahdah
al-Wujud. Syairnya yang terkenal adalah:
يا دليل المتحيرين زدني تحيرا واذاكنت كافرا فزدني كفرا
كفرت بدين الله والكفرواجب علي وعند المسلمين قبيح
[4] Ibnu Arabi, Fushush
al-Hikam, editor: Abul 'A'la al-Afifi, Dar al-kutub al-Arabi, Beirut,
h.10
[6] Sejawaran sepakat bahwa sultan
Salahuddin al-Ayyubi (w. 589 H/1193 M) adalah yang pertama kali mentradisikan
perayaan Maulid Nabi, namun sebenarnya ia hanya menghidupkan kembali. Motifnya
bukan lagi untuk kepentingan kekuasaan, akan tetapi untuk membangkitkan
semangat juang kaum muslimin, karena saat itu bertubi-tubi datang serangan dari
negara-negara non muslim yang tergabung dalam tentara Salib, semantara umat
Islam terpecah-belah dalam kelompok-kelompok kecil
[7] Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi Menyoal Wihdatul
Wujud Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, Bandung : EFEO-Mizan, 1999,
h. 47
bdk. Ziai,
Hossein, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi Hikmah al-Ishraq,
Terj., Bandung : Zaman Wacana Ilmu, 1998 h. 16-17
[8] Corbin, Henry, (ed.), Majmu’ah Musannafat
Shaikh al-Ishraq Shihab al-Din Yahya Suhrawardi, Teheran: Anjuman Shahanshahay
Falsafah Iran, 1397H
[9] Eliade, Mirciea, The Encyclopedia of Religion, Vol. XIV, New York :
Simon & Schuster Macmillan, 1995 bdk. Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim
Sages, Cambridge : Harvard University Press, 1964 h. 58-9
[10] )
ª!$# âqçR
ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
4 ã@sWtB ¾ÍnÍqçR
;o4qs3ô±ÏJx. $pkÏù
îy$t6óÁÏB (
ßy$t6óÁÏJø9$# Îû
>py_%y`ã (
èpy_%y`9$# $pk¨Xr(x.
Ò=x.öqx. AÍhß
…..
[11] KH.
Jamil Ahmad, 100 Muslim Terkemuka, terjemahan dari “Hundred Great
Muslims”, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 166-167.
[12] Ahmad, 100 Muslim, hal. 168-170.
w ãNä.äÏ{#xsã ª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏY»yJ÷r& `Å3»s9ur Nä.äÏ{#xsã $oÿÏ3 ôMt6|¡x. öNä3ç/qè=è% 3
ª!$#ur îqàÿxî ×LìÎ=ym ÇËËÎÈ
Artinya: "Allah tidak menghukum kamu
karena sumpahmu yang tidak dimaksud atau tidak sengaja (untuk bersumpah),
tetapi Allah menghukum kamu karena sumpah yang disengaja oleh hatimu. dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun, tidak segera menyiksa orang yang berbuat
dosa."
[14] Sayyid Husein Nasr, sains, hlm.
298-305
[15] Bakhtiar Husain Siddiqi, “Nashir al-Din
Thusi”, dalam M.M. Sharif, (ed), A History of Muslim Philosophy, Vol. I
(Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), hlm. 567-578
[19] Nasr, Sadruddin Shirazi, hal. 50.
[20] Iqbal, Metafisika,
hal. 121.
[21] Nasr, Sadruddin
Shirazi, hlm. 9-14
[22] Nasr, Sains, hal. 312
[23] Fakhry, hal. 341
[24] Fakhry, hal. 342
[25] Nasr, Sadruddin
Shirazi, hal. 64
[26] Nasr, Sadruddin
Shirazi, hal. 55
[27] Nasr, Sadruddin
Shirazi, hal. 56.
[28] Sayyed Hossein Nasr,
"Theology, Philosophy, and Spirituality", dalam Sayyed Hossein Nasr,
(ed.), Islamic Spirituality: Manifestation, Jilid II (London: SCM Press,
1991), hal. 435.
[29] Rahman, hal. 27-28.
[30] Nasr, Mulla Shadra,
hal. 944-945.
[31] Sayyed Hossein Nasr,
"Sadruddin Shirazi (Mulla Shadra)", dalam M.M. Sharif, (ed.), A
History of Muslim Philosophy, Vol. II (Wiesbaden: Otto Harrassowitz,
1963), hal. 943.
[32] Rahman, hal. 197-198.
[33] Rahman, hal. 202.
[34] William Chittick,
"Eschatology", dalam Sayyed Hossein Nasr, (ed.), Islamic
Spirituality: Foundation, Jilid I (New York: Crossroad, 1987), hal.
393.
0 komentar: