MULLA SHADRA
"…dengan cahaya Ilahi, aku pahami
segala sesuatu secara intuitif…"
a. Manaqib (مناقب )
Jika Empat begawan filsafat Islam
terkemuka: al-Kindi (800-870 M), ar-Razi (865- 925 M), al-Farabi (872-950 M)
dan Ibnu Sina (980-1037 M) menggumuli masalah klasik "perbedaan antara
dzat dan wujud" (distinctio realis inter essentiam et existentiam)
di mana mereka sampai pada kesimpulan bahwa akal adalah "mitra kerja"
iman, meskipun nantinya ar-Razi menolak ijazu'l Qur'an—dengan
mengatakan bahwa "Tuhan
memberi kepada manusia akal sebagai anugerah terbesar. Dengan akal kita mengetahui segala apa yang
bermanfaat bagi kita dan yang dapat memperbaiki hidup kita—tapi tidak demikian dengan para
filsuf pasca Ibnu Rusyd, di mana teosofi menjadi "plat nomor" bagi
kendaraan pemikiran masing-masing. Salah satunya adalah Muhammad Ibnu
Ibrahim Yahya Qawami Syirazi, sering disebut Shadruddin as-Syirazi atau Akhund
Mulla Shadra. Di kalangan para mahasiswanya dikenal dengan Shadrul-Muti'allihin.
Ia dilahirkan di Syiraz pada tahun 979 H atau 1571 M, ayahnya pernah menjadi
gubernur wilayah Fars. Kondisi ini memungkinkannya memperoleh jenjang akademik
yang layak, tak lama setelah itu ia telah menguasai bahasa Arab, bahasa Persia,
al-Qur'an, Hadits, logika, sejarah pemikiran filsafat dan disiplin ilmu
lainnya.
Shadra muda—tidak jauh beda dengan
mahasiswa STF Al-Farabi, adalah pribadi yang sangat serius dalam
belajar—kemudian melanjutkan studi ke Isfahan, sebuah pusat budaya yang penting
untuk dunia Timur pada saat itu, ia berguru kepada teolog Baha'uddin al-'Amili
(w. 1031 H), kemudian kepada filsuf Peripatetik Mir Abul-Qasm Fendereski (w.
1050 H). Tetapi gurunya yang utama adalah seorang filsuf-teolog bernama
Muhammad atau lebih dikenal Mir Damad (w. 1041 H/1631 M), seorang penggagas
berdirinya pusat kajian filsafat dan teolog yang kini dikenal sebagai
"Aliran Isfahan". Teman-teman seperguruan Shadra di Isfahan, antara
lain Ahmad 'Alawi, 'Aqa Husaya Khwansari, dan Baqir Sabzawari, tenggelam karena
kemasyhurannya. Mereka terkenal setelah Shadra meninggalkan Isfahan menuju
Kahak, sebuah desa di pedalaman dekat Qum. Di sanalah, Mulla Shadra menjalani
hidup zuhud dan pembersihan hati dengan melakukan latihan-latihan rohani untuk
mencapai hikmah al-Ilahi dengan mendalami teosofi selama tujuh tahun,
ada yang menyebutkan selama 11 tahun. Jalan yang dipilih Shadra ini dikritik
oleh beberapa ulama "fi'il madhi" bahkan ada yang menuduhnya
"kafir".
Hal ini diutarakannya dalam kata pengantar kitabnya, Asfar dan Shihh al-Ashl (semacam autobiografi). Lebih jauh Shadra berkata: "cahaya Ilahi berkilau di atasku dan dapat menyingkap segala rahasia yang tak pernah kuduga sebelumnya". Karena itu ia dapat memahami secara intuitif apa yang pada mulanya ia pelajari secara diskursif dan pendekatan-pendekatan rasional lainnya. Diakuinya bahwa pencapaian ini bukan hanya pengalaman spiritual tapi juga pencapaian filsafat tertinggi. Karena itu pula perjalanan hajinya sebanyak tujuh kali dilakukan dengan berjalan kaki. Pada gilirannya, ia sadar bahwa ia terikat kewajiban untuk memberikan kepada orang lain apa yang telah ia terima secara begitu istimewa sebagai hadiah dari Tuhan.[2] Berdasar pemahaman itu, Shadra menyerang ulama fiqh yang menolak gnosis (irfan) serta dimensi esoteris dalam agama. Kata Shadra, setengah mereka tampak dari luar semacam berilmu tetapi sebenarnya penuh dengan kecemburuan, iri hati, setengah dari kalangan teolog (mutakallimin) tergelincir dari landasan logika yang lurus dan berdiri di luar gelanggang ketulusan hati. Mereka yang katanya berpegang pada fiqh, namun tergelincir dari ketakwaan dan ketaatan kepada Allah bahkan menjerat taqlid di leher masing-masing dan membabi buta menolak kezuhudan.
Hal ini diutarakannya dalam kata pengantar kitabnya, Asfar dan Shihh al-Ashl (semacam autobiografi). Lebih jauh Shadra berkata: "cahaya Ilahi berkilau di atasku dan dapat menyingkap segala rahasia yang tak pernah kuduga sebelumnya". Karena itu ia dapat memahami secara intuitif apa yang pada mulanya ia pelajari secara diskursif dan pendekatan-pendekatan rasional lainnya. Diakuinya bahwa pencapaian ini bukan hanya pengalaman spiritual tapi juga pencapaian filsafat tertinggi. Karena itu pula perjalanan hajinya sebanyak tujuh kali dilakukan dengan berjalan kaki. Pada gilirannya, ia sadar bahwa ia terikat kewajiban untuk memberikan kepada orang lain apa yang telah ia terima secara begitu istimewa sebagai hadiah dari Tuhan.[2] Berdasar pemahaman itu, Shadra menyerang ulama fiqh yang menolak gnosis (irfan) serta dimensi esoteris dalam agama. Kata Shadra, setengah mereka tampak dari luar semacam berilmu tetapi sebenarnya penuh dengan kecemburuan, iri hati, setengah dari kalangan teolog (mutakallimin) tergelincir dari landasan logika yang lurus dan berdiri di luar gelanggang ketulusan hati. Mereka yang katanya berpegang pada fiqh, namun tergelincir dari ketakwaan dan ketaatan kepada Allah bahkan menjerat taqlid di leher masing-masing dan membabi buta menolak kezuhudan.
Atas desakan masyarakat dan permintaan
Syah Abbas II (1588-1629 M) dari Dinasti Safawi, Mulla Shadra diminta menjadi
guru di madrasah Wirdi Khan yang didirikan oleh gubernur provinsi Fars di
Syiraz. Berkat kesungguhan Shadra, kota kelahirannya ini kembali menjadi pusat
ilmu pengetahuan seperti sebelumnya. Di samping bertugas sebagai pendidik di
madrasah Khan yang dilaluinya selama 30 tahun, di sini pulalah ia banyak
melahirkan karya. Hal ini diakui oleh Thomas Herbert, pengembara abad 11 H/17 M
yang pernah singgah ke Syiraz semasa hidup Shadra. Herbert mereportase bahwa di
Syiraz terdapat perguruan yang mengajarkan filsafat, astrologi, fisika, kimia,
dan matematika yang menyebabkannya termasyur di seluruh Persia. Akhirnya
pada perjalanan hajinya yang ketujuh Mulla Shadra jatuh sakit dan meninggal dunia
di Basrah pada tahun 1050 H/1641 M. Makamnya sangat masyhur di kota itu.
Dengan ringkas, perjalanan hidup Mulla
Shadra dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu: (1) Masa pendidikan
formal di Syiraz dan Isfahan; (2) Masa kezuhudan dan pembersihan jiwa di Kahak.
Di tempat ini juga dia mulai menulis karya awalnya, seperti bagian awal kitab asfar,
Tarh al-kawnayn (atau Risal, al-hasyr); Huduts al-'alam,
dan Hall al-Musykilat al-Falakiyah fil-Iradah al-Jazafiyyah; (3) Masa
sebagai pengajar dan penulis di Syiraz. Ketika itulah ia membimbing secara
intensif para mahasiswanya, antara lain
yang terkenal Muhsin Kasyani dan 'Abd al-Razzaq Lahiji.
b.
Karyanya ( نتائج الفكر )
Menurut Thaba'taba'i sebagaimana dikutip
Sayed Hossein Nasr, karya Mulla Shadra tidak kurang dari 46 judul ditambah enam
risalah yang dianggap karya Mulla Shadra. Tetapه
Fazlur Rahman menyebutnya berjumlah 32 atau 33 risalah. Sebagian besar
karya-karya tersebut telah terpublikasi sejak abad XIX. Hanya risalah-risalah
kecil tertentu saja yang belum dipublikasikan.
Karya Mulla Shadra tersebut, ada yang
berusaha membaginya: (1) Berdasarkan tema sentral yang dikandungnya, menjadi
karya murni filsafat dan tasawuf; (2) Berdasarkan orisinalitas ide, dan (3) Ada
yang membedakannya kepada karya asli dan karya yang hanya memuat penjelasan
tentang tulisan-tulisan filsuf sebelumnya, seperti penjelasan tentang
metafisika Ibnu Sina sebagai yang termuat dalam al-Syifa' dan Hikmah
al-Isyraq-nya Suhrawardi.[3]
Tetapi, tidak mudah untuk memisahkan otentisitas (ashalah) serta
orsinilitas pemikiran filsafat Mulla Shadra dengan pemikiran tawawufnya.[4]
Karya-karya Mulla Shadra dimaksud, di antaranya:
1) Al-Hikmah
al-Muta'aliyah fi ِAsfar al-'Aqliyyah al-Arba'ah (Kebijaksanaan Transendental tentang
Empat Perjalanan Akal pada Jiwa). Lebih dikenal dengan judul Asfar
(perjalanan). Kitab ini merupakan karya monumental yang banyak diminati dan
diapresiasi hingga saat ini, karena menjadi dasar bagi seluruh karyanya sendiri
khususnya dan pemikiran pasca-Avicennian pada umumnya. Kitab itu memuat
simbol-simbol pengembaraan intelektual dan spiritual manusia ke hadirat Tuhan yang
akan kita bahas nanti . Sampai saat ini
di Iran, Asfar digunakan sebagai teks tertinggi dalam memahami "hikmah"
dan hanya akan dibaca oleh mereka yang telah memahami teks-teks standar ilmu
kalam, filsafat, dan paripatetis, teosofi isyraqi, dan dasar-dasar
ajaran irfan[5]
lainnya.
2) Al-Hasyr. Delapan bab dari buku ini membincang tentang
hari kebangkitan, dan betapa semua benda, termasuk barang tambang, akan kembali
kepada Allah.
3) Al-Hikmah
al-'Arsyiyyah (Filsafat
'Arasy) memperbincangkan pasca kebangkitan dan masa depan manusia sesudah mati.
Buku ini menjadi sumber pertikaian hebat di kalangan aliran ilmu kalam nantinya.
4) Huduts al-'Alam. Membicarakan tentang asal-usul alam
dan kejadiannya dalam "waktu" berdasarkan al-harakah
al-jawhariyyah, dan penolakan terhadap pemikiran Mir Damad.
5) Kasr al-Ahsnam
al-Jahiliyyah fi Dhamm al-Mutashawwifin (Pemusnahan Mercusuar Kebodohan dalam Meng-counter para
Sufi Karbitan). Kata mutashawwifin di sini dimaksudkan mereka yang
berpura-pura sufi tetapi meninggalan ajaran syariat.
6) Khalq al-A'mal (sifat kejadian perbuatan manusia)
7) Al-Lama'ah
al-Masyriqiyyah fil Funun al-Mantiqiyyah (percikan iluminasi dalam seni logika)
8) Al-Mabda' wal-Ma'ad berisikan tentang metafisika,
kosmologi, dan eskatologi.
9) Mafatih al-Ghaib (kunci alam gaib). Sebuah karya yang
sangat mendasar yang ditulisnya setelah mencapai kematangan ilmu. Berkisar
doktrin irfan tentang metafisika, kosmologi, dan eskatologi serta
mengandung rujukan yang banyak dari al-Qur'an dan Hadits.
10) Kitab
al-Masya'ir (kitab
penembusan metafisika). Salah satu dari kitab Shadra yang paling banyak
dipelajari dalam tahun-tahun belakangan ini mengandung ringkasan teori
ontologi.
11) Al-Mizaj (tentang prilaku perasaan).
Membicarakan tentang prilaku akibat dari bawaan, perangai dan sifat sebagai
cabang dari ilmu jiwa.
12) Mutasyabihat
al-Qur'an (ayat-ayat
mutasyabihat dalam al-Qur'an). Memperbincangkan tentang ayat-ayat yang sukar
dipahami dan bersifat metafora dari sudut irfan.
13) Al-Syawahid
al-Rububiyyah fil-Manahij as-Sulukiyyah (penyaksian Ilahi akan jalan ke arah kesederhanaan
rohani). Merupakan ringkasan doktrin Mulla Shadra yang paling lengkap yang
ditulis berdasarkan tinjauan irfan. Karya ini banyak disyarah oleh tokoh
filsafat di Persia belakangan ini, seperti Mulla Ali Nuri.
c.
Proses
Kreatif (مسالك الابداع)
Sampai abad ke-XI, filsafat yang ang berkembang di dunia
Islam bercorak paripatetis Neo-Platonisme yang mencapai puncaknya di tangan
Ibnu Sina dan para pengikutnya. Tetapi pada masa Dinasti Saljuk yang ditandai
dengan perkembangan Madrasah Nizhamiyah, posisi filsafat digantikan oleh tasawuf—meski
sejatinya tasawuf falsafi—terutama setelah al-Ghazali menyerang para filsuf
dengan bukunya Tahafut al-Falasifah. Sejak itu tradisi filsafat di
dunia Islam Timur, yang berada di bawah pengaruh Sunni, mengalami kelesuan,
kalau tidak dikatakan hampir mati. Namun di dunia Islam Barat, tepatnya di
Andalusia, filsafat masih terus hidup untuk beberapa lama di tangan Ibnu Rusyd.
Bersamaan dengan itu, sebenarnya di dunia Islam timur, yang berada di bawah
pengaruh Syi'ah, tradisi intelektual Islam masih tetap hidup, khususnya di
Persia. Hal itu ditandai pada abad ke VI H/XII M, Suhrawardi mengkritik
beberapa ajaran dasar filsafat iluminasi yang bersifat mistis (Hikmah
al-Isyraq) yang mempunyai banyak pengikut. Kedudukan Suhrawardi yang
penting dalam sejarah pemikiran pasca-Avicennian terletak dalam usahanya untuk
mempertahankan kesatuan kebenaran keagamaan dan metafisika dan kewajiban para
pencari yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran dari manapun sumbernya.
Arus Isyraqi yang dilepas oleh Suhrawardi terus mengalir deras khususnya
dilingkungan Syi'ah selama masa Dinasti Safawi di Persia yang didirikan oleh Syah
Isma'il (1500-1524 M).[6]
Pada abad XIII, Nasir al-Din
al-Thusi, seorang filsuf Peripatetis terkemuka, terpengaruh oleh beberapa
pandangan para filsuf iluminasi, melakukan counter-attack, dan
mengembalikan "nama baik" filsafat Peripatetis lewat karyanya Syarah
al-Isyarat (Syarah terhadap kitab panduan dan penelitian karya Ibnu Sina). Bersamaan
dengan itu, pada abad XIII juga muncul tokoh-tokoh besar di bidang spiritual
yang bercorak gnosis atau irfan, seperti Ibnu Arabi dan Jalaluddin
Rumi.
Di bidang ilmu kalam, beberapa abad
sebelum Mulla Shadra, merupakan masa yang paling kreatif. Setelah masa Fakhruddin
ar-Razi, aliran Ilmu Kalam Sunni terus berkembang terutama lewat karya-karya
Qadhi' Aududdin al-Iji, Sa'duddin Taftazani, Sayyid Syarif Jurjani hingga ke
masa munculnya Syah Waliullah di India pada abad ke XVIII. Sedangkan aliran
Ilmu Kalam Syi'ah mulai berkembang dalam bentuknya yang sistematis pada abad ke
IV H/X M dan seterusnya yang ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh seperti
Muhammad Ibnu Ya'kub Kulyani, Ibnu Babuyah, Syekh Muhammad at-Thusi, dan Ahmad
bin Ali Tabarsi. Namun demikian, karya sistematis pertama dalam Ilmu Kalam
Syi'ah ditulis oleh Nasiruddin Thusi pada abad ke XIII dengan judul Tajrid.
Sejumlah syarh dan hasyiyah tentang Tajrid telah ditulis oleh beberapa
pengikut Thusi sampai satu dua generasi sebelum Mulla Shadra.
Keempat aliran pemikiran Islam di
atas, filsafat Peripatetis, Iluminasi, Gnosis/'irfan, Kalam Sunni-Syi'ah,
mempengaruhi proses pembentukan tradisi pemikiran Mulla Shadra. Ketika Shadra
muda datang ke Isfahan, ia memasuki dunia intelektual yang matang dan memiliki
akar sejarah yang panjang. Mulla Shadra mewarisi khazanah intelektual itu dan
mengetahui secara mendalam ajaran, pendekatan dan masalah-masalah setiap aliran
pemikiran.[7]
Sintesis yang dilakukan oleh Mulla Shadra bukan sekedar menggabungkan teori
atas gagasan keempat aliran pemikiran Islam tersebut diatas, melainkan
meramunya dalam perspektif yang belum pernah ada sebelumnya dalam Al-Hikmah al-Muta'aliyah.
Maka untuk memahami pemikiran Mulla Shadra, terlebih dahulu harus dipahami
beberapa sumber pemikiran yang mengitarinya sebagai diutarakan diatas,
meliputi:
1.
Filsafat Islam Peripatetis-Neo-Platonisme yang dikembangkan
oleh Ibn Sina;
2.
Teori Isyraqi (Iluminasi-bahasa Latin luminare yang
berarti cahaya) Suhrawardi;
3.
Doktrin Gnostis (Irfan) Ibn Arabi;
4.
Ilmu Kalam Syi'ah Imamiyah;
5.
Wahyu, termasuk di dalamnya sabda an-Nabi Saw dan para Imam
Syi'ah.
Dalam
penilaian Henry Corbin, pemikiran Suhrawardi dan Mulla Shadra disejajarkannya
dengan kombinasi antara St. Thomas Aquinas dan Jacob Boehme. Tulisan Mulla
Shadra, al-Hikmah al-Muta'aliyah adalah karya paling monumental filsafat
Islam, yang menyelaraskan secara menyeluruh argumen rasional, illuminasi yang
diterima dari kesadaran spiritual dan ajaran wahyu, dalam artian tertentu
merupakan puncak aktivitas intelektual selama seribu tahun dalam dunia Islam
Persia dan sebagian besar India Muslim.[8]
d. Filsafatnya
(اثرالتفكير)
v Epistimologi
Filsafat
dapat diklasifikasi menjadi dua pembagian utama: (1) teoritis,
yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya—ontologis
eksistensialis. Perwujudannya tercermin dalam dunia akal dan ide, termasuk jiwa
di dalamnya sebagai dikemukakan oleh al-Farabi dan Ibn Sina. (2) praktis,
yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa.
Perwujudannya adalah mendekatkan diri pada Tuhan secara metafisis, melalui
semacam Imitatio Dei yang membuat jiwa berhak memperoleh suatu
hak istimewa seperti itu.[9]
Sejalan
dengan falasifah sebelumnya, Mulla Shadra juga meyakini adanya titik
temu antara filsafat dan agama sebagi kesatuan kebenaran yang dapat dibuktikan
melalui mata rantai historis yang berkesinambungan dari Adam sampai Ibrahim,
orang-orang Yunani, para Sufi Islam (mengalami puncaknya pada Ibn Arabi), dan
para filsuf. Shadra melukiskan bagaimana Seth dan Hermes (yang dapat disamakan
dengan Idris dalam al-Qur'an dan Enoch dalam Injil) bertanggung jawab atas
penyebaran pengkajian kebijakan (al-Hikmah) keseluruh dunia. Orang-orang
Yunani, yang menurutnya pada awalnya adalah para pemuja bintang, lalu dengan sanad
yang bersumber dari Ibrahim as. diajari Teologi dan ilmu Tauhid melalui Thales dari
Miletos dan mencapai puncaknya pada Socrates dan Plato; yang lain diprakarsai
oleh Pythagoras, yang menerima pelajaran tentang kebijaksanaan Sulaiman, yang
dijumpainya di Mesir, dan juga dari pendeta-pendeta Mesir. Pilar-pilar
kebijakan di Yunani, menurut Shadra, adalah Empedokles, Pythagoras, Socrates,
Plato, dan Aristoteles. Plotinus (al-Syaikh al-Yunani) seringkali
ditunjuk sebagai seorang tokoh besar.[10]
Menurut
Shadra wujud atau realitas itu hanyalah satu yang membentuk hirarki dari
debu hingga Singgasana Ilahi ('arasy). Tuhan sendiri adalah Wujud
Mutlak yang menjadi titik permulaan bidang eksistensi di mana matarantai wujud
bergerak secara konstan menuju titik permulaan itu. Dengan demikian, tuhan
adalah transenden vis-à-vis rantai wujud. Gerakan konstan-vertikal dalam skala-skala
wujud ini disebut oleh Mulla Shadra sebagai perubahan substantif (harakah
jauhariyah) menuju kesempurnaan (kamal) dan sebagian besar dicapai
dengan pengetahuan. Gerakan-gerakan dalam perubahan substantif ini oleh Shadra
disebut dengan safar (pengembaraan/journey). Risalah al-Hikmah
al-Muta'aliyah menggambarkan perjalanan akal secara lengkap melalui
tahapan-tahapan dari ketidaksempurnaan menuju Yang Maha Sempurna.
Tahapan-tahapan ini terbagi menjadi empat perjalanan (al-asfar al-arba'ah).
Perjalanan pertama adalah dari makhluk (khalq)
menuju Hakikat Kebenaran atau Pencipta (Haqq). Perjalanan pertama
ini menunjukkan pengembaraan dari maqam nafsu (nafs) ke maqam
hati (qalb), lalu dari hati ke maqam ruh, dan dari maqam ruh
menuju tujuan terakhir (al-maqshadul-aqsha) atau tujuan tertinggi (al-bahjaul-kubra).
Setiap manusia pada umumnya melalui ketiga maqam ini, khususnya mahasiswa STF.
Manakala seorang manusia telah mencapai al-maqshadul-aqsha, berarti ia
telah menghadapkan wajahnya kepada Keindahan Tuhan dan ia fana' di dalamNya.
Maqam terakhir ini disebut juga dengan maqam fana' didalam Dzat Tuhan (al-fana'
fidz-Dzat) yang di dalamnya terkandung rahasia (sirr), yang
tersembunyi (al-khafi) dan yang paling tersembunyi (al-akhfa').[11]
Perjalanan kedua adalah dari Hakikat ke
Hakikat dengan cara
Hakikat (min al-Haqq ilal-Haqq bi al-Haqq). Perjalanan dimulai dari
maqam Dzat menuju maqam Kamalat hingga hadir dalam Kesempurnaan
Tuhan dan mengetahui seluruh Nama Tuhan (berikut hikmah ilahiyah). Mahasiswa
STF (salik) yang telah mencapai maqam ini, dzatnya, sifatnya, dan
perbuatannya fana' di dalam Dzat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan. Ia
mendengar dengan Pendengaran Tuhan, melihat dengan Penglihatan Tuhan, berjalan
dengan Bantuan Tuhan, dan bertindak dengan Tindakan Tuhan. Sirr adalah
kefanaan dzatnya, khafa adalah kefanaan sifat dan perbuatannya; dan ikhtifa'
(paling tersembunyi) adalah kefanaan keduanya. Perjalanan kedua ini berakhir
sampai ke daerah kewalian (dairat al-walayah),[12]
yang berarti perjalanan ketiga dimulai.
Perjalanan ketiga adalah dari Hakikat
kepada makhluk dengan Hakikat (minal-Haqq
ilal-Khalq bil-Haqq). Setelah menempuh perjalanan melalui maqam-maqam
pada perjalanan kedua, kefanaannya berakhir lalu ia kekal (baqa') dalam
kekekalan Tuhan. Lalu ia menempuh perjalanan melalui alam jabarut, alam malakut,
dan alam nasut, lalu melihat alam semesta melalui Dzat, Sifat, dan
Perbuatan Tuhan. Ia mengecap nikmat 'kenabian', meskipun ia bukan nabi, dan
memperoleh alam ketuhanan melalui Dzat, Sifat, dan Perlakukan Tuhan. Di sini
berakhir perjalanan ketiga dan bermula perjalanan keempat.
Perjalanan keempat adalah dari makhluk
ke makhluk dengan Hakikat
(minal-Khalq ilal-Khalq bil-Haqq). Seorang pengembara (salik)
mengamati makhluk dan menangkap kesan-kesan yang ada pada makhluk itu. Ia
mengetahui kebaikan dan kejahatan makhluk, lahir dan batin, di dunia ini dan di
dunia yang akan dating, membawa ilmu yang dibutuhkan makhluk, mengetahui mana
mudharat dan manfaat, yang membahagiakan dan yang mencelakakan. Dalam
kehidupannya, ia senantiasa bersama dengan al-Haqq karena wujudnya telah
terpaut dengan Tuhan dan perhatiaannya kepada makhluk tidak mengganggu
perhatiannya kepada Tuhan.[13]
v
Metafisika
1.
Wujud
Pada awalnya, Mulla Shadra adalah menganut
pemikiran metafisika esensialis Suhrawardi, tetapi dengan pengalaman spiritual
yang dikominasikan dengan visi intelektualnya, ia menciptakan apa yang disebut
Corbin sebagai "revolusi besar di bidang metafisika",[14]
dengan memformulasikan metafisika eksistensialis yang dibangun di atas tiga
pilar utama, yaitu wahdah al-wujud (unity of being), ashalah al-wujud (principality
of being) dan tasykik al-wujud (gradation); dan tidak dapat
dipahami tanpa mendalami pemikiran Ibnu Sina dan Suhrawardi. Salah satu
persoalan penting yang menjadi perdebatan di kalangan filsuf dan teolog Muslim
adalah tentang realitas primer, apakah eksistensi (wujud) ataukah
esensi (mahiyah). Bagi penganut filsafat Peripatetis, seperti Ibnu Sina,
realitas primer segala sesuatu adalah eksistensi (wujud), sedangkan esensi (mahiyah)
adalah aksiden yang berhubungan dengan eksistensi. Sementara golongan
iluminasionis, seperti Suhrawardi beranggapan sebaliknya, esensi (mahiyah)
adalah realitas primer dan eksistensi (wujud) hanyalah aksiden yang
tidak memiliki realitas eksternal di luar akal atau tidak berkorespondensi
dalam realitas.[15]
Segala sesuatu diciptakan tersusun
dari eksistensi dan esensi, tetapi Wujud Mutlak sama sekali bebas dari susunan
seperti itu dan memberikan kepada setiap entitas yang diciptakan wujud yang
memilikinya melalui suatu proses penyinaran yang mirip dengan penyinaran cahaya.
Sebagai Cahaya segala Cahaya, Ia menganugerahkan kepada entitas-entitas yang
diciptakan sifat benderang mereka, yang dengan itu mereka mempunyai kesamaan
dengan-Nya. Tetapi, esensi mereka sendiri, yang justru membedakan mereka
dengan-Nya, tidak dapat dianggap berasal dari tindakan-Nya, tetapi merupakan
kegelapan atau ismus, yang dalam pandangan Isyraqi memisahkan makhluk
dari Cahaya Segala Cahaya, yang merupakan penciptaannya yang sejati.
Dalam persoalan wahdah (unity)
dan tasykik (gradation), Mulla Shadra memiliki pandangan yang berbeda
dengan doktrin Peripatetis. Dalam pandangan filsuf Muslim Peripatetis, wujud
setiap benda itu berbeda esensinya satu sama lain, tergantung quiditas
(mahiyah)nya masing-masing. Sedangkan menurut Mulla Shadra, wujud itu memiliki
realitas yang sama di dalam semua bidang eksistensi. Yang ada adalah realitas
tunggal, yang membedakan hanyalah bobot/intensitas tingkatan atau gradasi.
Seperti, cahaya matahari, cahaya lampu, cahaya kunang-kunang, subyeknya adalah
sama, yaitu cahaya tetapi predikatnya berbeda, yaitu bobot perwujudannya. Lebih
jauh lagi, menurut Mulla Shadra wujud itu, di mana pun ia mewujudkan dirinya,
selalu muncul dengan atribut-atributnya, seperti pengetahuan, keinginan, dan
kekuatan. Sebuah batu, karena ia eksis merupakan manifestasi dari wujud, dan
oleh sebab itu ia memiliki pengetahuan, keinginan, kekuatan dan intelegensi
seperti layaknya manusia dan malaikat. Akan tetapi, karena tingkat manifestasi
wujudnya sangat lemah, atribut-atribut yang dimilikinya tidak tanpak jelas.[16]
Pertama, Mulla Shadra membagi wujud menjadi wujud terikat (connective
being/al-wujud al-irtibathi) dan wujud bebas (self-subsistent
being/al-wujud al-nafsi). Al-Wujud al-Irtibathi adalah yang
menghubungkan sebuah subyek dengan sebuah predikat, seperti pernyataan:
"Manusia adalah hewan yang rasional".
Sedangkan al-Wujud an-Nafsi adalah wujud yang berdiri bebas dan tidak
menunjukkan adanya keterikatan antara subyek dengan predikat. Dengan demikian,
menurut Mulla Shadra, wujud segala sesuatu selain Tuhan adalah al-wujud
al-irtibathi, sedangkan Wujud Tuhan adalah wujud dengan sendiri-Nya.[17]
Kedua, Mulla Shadra juga membagi wujud menjadi wajib, mumkin,
dan mumtani'. Pembagian diambil oleh Mulla Shadra dari skema pembagian
para filsuf dan teolog pasca Ibnu Sina. Berkaitan dengan keabadian dunia dan
kemustahilan pembangkitan jasmani, menurut Mulla Shadra, dengan tidak
mengurangi rasa hormatnya yang besar kepada Ibnu Sina, ia menolak kedua tema
tersebut. Satu-satunya realitas yang dapat mendahului eksistensi waktu adalah
Tuhan, yang mewujudkan dunia dengan perintah kreatifnya (al-amr). Ajaran
para filsuf kuno, yang sepenuhnya cocok dengan ajaran para nabi dan wali,
bukanlah hanya bahwa dunia dicipta dalam waktu, tetapi juga bahwa segala
sesuatu yang ada di dalamnya pada akhirnya akan musnah. Satu-satunya realitas
yang akan kekal selamanya, seperti dikatakan al-Qur'an, adalah "wajah
Tuhan".
2. Jiwa
Mulla Shadra sebagaimana
Aristoteles, mendefinisikan jiwa sebagai entelechy badan. Oleh sebab
itu, manakala jiwa itu tidak bersifat abadi, dalam arti bermula, maka jiwa itu
tidak dapat dipisahkan dan bebas dari materi. Untuk mengatakan bahwa itu
terpisah dan bebas dari materi hanyalah dengan meyakini adanya pra-eksistensi
jiwa. Pada saat yang bersamaan, Mulla Shadra menolak pandangan Ibnu Sina
yang menyatakan bahwa jiwa adalah sebuah konsep relasional dan bukan
merupakan sesuatu yang bersifat substantif. Bila jiwa sejak dilahirkan
berada didalam materi, kejiawaannya tidak dapat diartikan sebagai suatu relasi
dimana seolah-olah jiwa memiliki eksistensi bebas kemudian berhubungan dengan
materi. Lagi pula, apabila jiwa manusia merupakan substansi bebas, maka tidak
mungkin untuk menyatukan jiwa dengan badan. Hubungan antara jiwa dengan badan
tidaklah seperti hubungan antara daya fisik biasa dengan materinya. Jiwa
bekerja di dalam materi melalui penghubung yang berupa daya-daya yang berada di
bawahnya. Jadi, menurut Shadra, jiwa adalah entelechy badan jasmaniah
yang bekerja melalui fakultas-fakultas yang disebut organ. Tetapi, yang
dimaksud Shadra dengan organ bukanlah organ fisik seperti tangan, perut
dan sebagainya; melainkan fakultas-fakultas atau daya-daya yang dengan
perantaranya jiwa dapat bekerja, seperti selera makan, nutrisi dan pencernaan.[18]
Menurut Shadra jiwa itu bersandar pada
prinsip dasar yang disebut perubahan substantif. Pada umumnya, jiwa itu
bersifat jasmaniah, tetapi akhirnya bersifat spiritual selamanya (jismaniyat
al-huduts ruhaniyat al-baqa'). Artinya, manakala jiwa muncul di atas
landasan materi, bukanlah berarti jiwa itu bersifat materi secara absolut.
Dengan prinsip perubahan substantif ini, dituntut adanya tingkatan yang lebih
tinggi dari landasan di mana jiwa berada. Meskipun ia bergantung kepada materi,
tetapi tidak dapat dikatakan sepenuhnya bersifat materi. Materi atau tubuh
hanyalah instrumen dan merupakan langkah pertama untuk berpindah dari alam
materi menuju alam spiritual (malakut). Baik jiwa manusia maupun jiwa
hewan sama-sama memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari badannya. Jiwa
hewan melepaskan dirinya dengan imaginasi aktual (khayal bi al-fi'l)nya,
sedangkan jiwa manusia dengan akal aktual ('aql bi al-fi'l).
Kedua konsep ini didasarkan atas doktrin Dunia Khayal ('Alam al-Mitsal)
yang dikembangkan setelah al-Ghazali oleh Suhrawardi, Ibnu 'Arabi dll.
Berdasarkan doktrin ini, struktrur ontologis realitas dibagi menjadi tiga macam
alam, yaitu: Idea atau akal murni di peringkat atas; Khayal murni di bagian
tengah; dan benda-benda materi di bagian paling bawah.[19]
3. Moral
Agama diturunkan oleh Tuhan dengan
tujuan membimbing manusia memperoleh kebahagiaan tertinggi dengan jalan
menciptakan keseimbangan, baik pada tingkat individu maupun sosial. Hal ini
mengandung arti bahwa substansi manusia, yang diciptakan oleh Dzat Yang Maha
Sempurna, harus mengetahui cara mengaktualisasikan seluruh kemampuannya. Kebahagiaan,
menurut Mulla Shadra sangat tergantung kepada kesempurnaan jiwa dalam proses
inteleksi (ta'aqqul). Pengetahuan dapat mengantarkan seseorang dalam
proses trans-substansi (harakah jauhariyah)nya menuju kesempurnaan.
Berkaitan dengan keadilan ('adalah),
tidak dapat dipisahkan dengan konsep keseimbangan (i'tidal) yang
memiliki akar kata yang sama. Bagi Mulla Shadra, kedua konsep itu dikaitkan
dengan puncak kesempurnaan jiwa manusia dan persoalan-persoalan etika di dalam
filsafat, tasawuf, dan syari'ah. Al-Ghazali,
misalnya, di dalam Ihya' menjelaskan empat sifat dasar manusia, yaitu: bahimi,
sab'i, syaithani, dan rabbani. Tiga jenis sifat pertama harus
dikendalikan oleh sifat terakhir, yang dalam perwujudannya berupa akal, agar
keseimbangan dan keadilan dapat terwujud. Dominasi sifat rabbani atas
ketiga sifat yang lain pada diri seseorang akan menempatkannya ke maqam ta-alluh
yang dalam terma Mulla Shadra disebut al-hakim al-muta'allih.[20]
___________________________
[1] Mahasiswa STF Al-Farabi semester IV
[5] Nasr,
Sadruddin Shirazi, hal. 50.
[6] Iqbal, Metafisika, hal. 121.
[7] Nasr, Sadruddin Shirazi, hlm.
9-14
[8] Nasr,
Sains, hal. 312
[9] Fakhry,
hal. 341
[10] Fakhry,
hal. 342
[11] Nasr, Sadruddin Shirazi, hal. 64
[12] Nasr, Sadruddin Shirazi, hal. 55
[13] Nasr, Sadruddin Shirazi, hal.
56.
[14] Sayyed Hossein Nasr, "Theology,
Philosophy, and Spirituality", dalam Sayyed Hossein Nasr, (ed.), Islamic
Spirituality: Manifestation, Jilid II (London: SCM Press, 1991), hal. 435.
[15] Rahman, hal. 27-28.
[16] Nasr, Mulla Shadra, hal.
944-945.
[17] Sayyed Hossein Nasr, "Sadruddin
Shirazi (Mulla Shadra)", dalam M.M. Sharif, (ed.), A History of Muslim
Philosophy, Vol. II (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), hal. 943.
[18] Rahman, hal. 197-198.
[19] Rahman, hal. 202.
[20] William C. Chittick,
"Eschatology", dalam Sayyed Hossein Nasr, (ed.), Islamic
Spirituality: Foundation, Jilid I (New York: Crossroad, 1987), hal.
393.
0 komentar: