Custom content

Selamat datang di blog Sekolah Tinggi Filsafat "AL-FARABI" Silahkan kirim tulisan anda ke alamat stf.alfarabi@gmail.com

MULLA SHADRA

Oleh: Syafi’i Muzakki & Moh. Said[1]


"…dengan cahaya Ilahi, aku pahami segala sesuatu secara intuitif…"

a.   Manaqib (مناقب )  
Jika Empat begawan filsafat Islam terkemuka: al-Kindi (800-870 M), ar-Razi (865- 925 M), al-Farabi (872-950 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M) menggumuli masalah klasik "perbedaan antara dzat dan wujud" (distinctio realis inter essentiam et existentiam) di mana mereka sampai pada kesimpulan bahwa akal adalah "mitra kerja" iman, meskipun nantinya ar-Razi menolak ijazu'l Qur'an—dengan mengatakan bahwa "Tuhan memberi kepada manusia akal sebagai anugerah terbesar.  Dengan akal kita mengetahui segala apa yang bermanfaat bagi kita dan yang dapat memperbaiki hidup kitatapi tidak demikian dengan para filsuf pasca Ibnu Rusyd, di mana teosofi menjadi "plat nomor" bagi kendaraan pemikiran masing-masing. Salah satunya adalah Muhammad Ibnu Ibrahim Yahya Qawami Syirazi, sering disebut Shadruddin as-Syirazi atau Akhund Mulla Shadra. Di kalangan para mahasiswanya dikenal dengan Shadrul-Muti'allihin. Ia dilahirkan di Syiraz pada tahun 979 H atau 1571 M, ayahnya pernah menjadi gubernur wilayah Fars. Kondisi ini memungkinkannya memperoleh jenjang akademik yang layak, tak lama setelah itu ia telah menguasai bahasa Arab, bahasa Persia, al-Qur'an, Hadits, logika, sejarah pemikiran filsafat dan disiplin ilmu lainnya.

Shadra muda—tidak jauh beda dengan mahasiswa STF Al-Farabi, adalah pribadi yang sangat serius dalam belajar—kemudian melanjutkan studi ke Isfahan, sebuah pusat budaya yang penting untuk dunia Timur pada saat itu, ia berguru kepada teolog Baha'uddin al-'Amili (w. 1031 H), kemudian kepada filsuf Peripatetik Mir Abul-Qasm Fendereski (w. 1050 H). Tetapi gurunya yang utama adalah seorang filsuf-teolog bernama Muhammad atau lebih dikenal Mir Damad (w. 1041 H/1631 M), seorang penggagas berdirinya pusat kajian filsafat dan teolog yang kini dikenal sebagai "Aliran Isfahan". Teman-teman seperguruan Shadra di Isfahan, antara lain Ahmad 'Alawi, 'Aqa Husaya Khwansari, dan Baqir Sabzawari, tenggelam karena kemasyhurannya. Mereka terkenal setelah Shadra meninggalkan Isfahan menuju Kahak, sebuah desa di pedalaman dekat Qum. Di sanalah, Mulla Shadra menjalani hidup zuhud dan pembersihan hati dengan melakukan latihan-latihan rohani untuk mencapai hikmah al-Ilahi dengan mendalami teosofi selama tujuh tahun, ada yang menyebutkan selama 11 tahun. Jalan yang dipilih Shadra ini dikritik oleh beberapa ulama "fi'il madhi" bahkan ada yang menuduhnya "kafir". 

Hal ini diutarakannya dalam kata pengantar kitabnya, Asfar dan Shihh al-Ashl (semacam autobiografi). Lebih jauh Shadra berkata: "cahaya Ilahi berkilau di atasku dan dapat menyingkap segala rahasia yang tak pernah kuduga sebelumnya". Karena itu ia dapat memahami secara intuitif apa yang pada mulanya ia pelajari secara diskursif dan pendekatan-pendekatan rasional lainnya. Diakuinya bahwa pencapaian ini bukan hanya pengalaman spiritual tapi juga pencapaian filsafat tertinggi. Karena itu pula perjalanan hajinya sebanyak tujuh kali dilakukan dengan berjalan kaki. Pada gilirannya, ia sadar bahwa ia terikat kewajiban untuk memberikan kepada orang lain apa yang telah ia terima secara begitu istimewa sebagai hadiah dari Tuhan.[2] Berdasar pemahaman itu, Shadra menyerang ulama fiqh yang menolak gnosis (irfan) serta dimensi esoteris dalam agama. Kata Shadra, setengah mereka tampak dari luar semacam berilmu tetapi sebenarnya penuh dengan kecemburuan, iri hati, setengah dari kalangan teolog (mutakallimin) tergelincir dari landasan logika yang lurus dan berdiri di luar gelanggang ketulusan hati. Mereka yang katanya berpegang pada fiqh, namun tergelincir dari ketakwaan dan ketaatan kepada Allah bahkan menjerat taqlid di leher masing-masing dan membabi buta menolak kezuhudan.

Atas desakan masyarakat dan permintaan Syah Abbas II (1588-1629 M) dari Dinasti Safawi, Mulla Shadra diminta menjadi guru di madrasah Wirdi Khan yang didirikan oleh gubernur provinsi Fars di Syiraz. Berkat kesungguhan Shadra, kota kelahirannya ini kembali menjadi pusat ilmu pengetahuan seperti sebelumnya. Di samping bertugas sebagai pendidik di madrasah Khan yang dilaluinya selama 30 tahun, di sini pulalah ia banyak melahirkan karya. Hal ini diakui oleh Thomas Herbert, pengembara abad 11 H/17 M yang pernah singgah ke Syiraz semasa hidup Shadra. Herbert mereportase bahwa di Syiraz terdapat perguruan yang mengajarkan filsafat, astrologi, fisika, kimia, dan matematika yang menyebabkannya termasyur di seluruh Persia. Akhirnya pada perjalanan hajinya yang ketujuh Mulla Shadra jatuh sakit dan meninggal dunia di Basrah pada tahun 1050 H/1641 M. Makamnya sangat masyhur di kota itu.

Dengan ringkas, perjalanan hidup Mulla Shadra dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu: (1) Masa pendidikan formal di Syiraz dan Isfahan; (2) Masa kezuhudan dan pembersihan jiwa di Kahak. Di tempat ini juga dia mulai menulis karya awalnya, seperti bagian awal kitab asfar, Tarh al-kawnayn (atau Risal, al-hasyr); Huduts al-'alam, dan Hall al-Musykilat al-Falakiyah fil-Iradah al-Jazafiyyah; (3) Masa sebagai pengajar dan penulis di Syiraz. Ketika itulah ia membimbing secara intensif  para mahasiswanya, antara lain yang terkenal Muhsin Kasyani dan 'Abd al-Razzaq Lahiji.

b. Karyanya ( نتائج الفكر )
Menurut Thaba'taba'i sebagaimana dikutip Sayed Hossein Nasr, karya Mulla Shadra tidak kurang dari 46 judul ditambah enam risalah yang dianggap karya Mulla Shadra. Tetapه Fazlur Rahman menyebutnya berjumlah 32 atau 33 risalah. Sebagian besar karya-karya tersebut telah terpublikasi sejak abad XIX. Hanya risalah-risalah kecil tertentu saja yang belum dipublikasikan.

Karya Mulla Shadra tersebut, ada yang berusaha membaginya: (1) Berdasarkan tema sentral yang dikandungnya, menjadi karya murni filsafat dan tasawuf; (2) Berdasarkan orisinalitas ide, dan (3) Ada yang membedakannya kepada karya asli dan karya yang hanya memuat penjelasan tentang tulisan-tulisan filsuf sebelumnya, seperti penjelasan tentang metafisika Ibnu Sina sebagai yang termuat dalam al-Syifa' dan Hikmah al-Isyraq-nya Suhrawardi.[3] Tetapi, tidak mudah untuk memisahkan otentisitas (ashalah) serta orsinilitas pemikiran filsafat Mulla Shadra dengan pemikiran tawawufnya.[4] Karya-karya Mulla Shadra dimaksud, di antaranya:
1)     Al-Hikmah al-Muta'aliyah fi ِAsfar al-'Aqliyyah al-Arba'ah (Kebijaksanaan Transendental tentang Empat Perjalanan Akal pada Jiwa). Lebih dikenal dengan judul Asfar (perjalanan). Kitab ini merupakan karya monumental yang banyak diminati dan diapresiasi hingga saat ini, karena menjadi dasar bagi seluruh karyanya sendiri khususnya dan pemikiran pasca-Avicennian pada umumnya. Kitab itu memuat simbol-simbol pengembaraan intelektual dan spiritual manusia ke hadirat Tuhan yang akan kita bahas  nanti . Sampai saat ini di Iran, Asfar digunakan sebagai teks tertinggi dalam memahami "hikmah" dan hanya akan dibaca oleh mereka yang telah memahami teks-teks standar ilmu kalam, filsafat, dan paripatetis, teosofi isyraqi, dan dasar-dasar ajaran irfan[5] lainnya.
2)     Al-Hasyr. Delapan bab dari buku ini membincang tentang hari kebangkitan, dan betapa semua benda, termasuk barang tambang, akan kembali kepada Allah.
3)     Al-Hikmah al-'Arsyiyyah (Filsafat 'Arasy) memperbincangkan pasca kebangkitan dan masa depan manusia sesudah mati. Buku ini menjadi sumber pertikaian hebat di kalangan aliran ilmu kalam nantinya.
4)     Huduts al-'Alam. Membicarakan tentang asal-usul alam dan kejadiannya dalam "waktu" berdasarkan al-harakah al-jawhariyyah, dan penolakan terhadap pemikiran Mir Damad.
5)     Kasr al-Ahsnam al-Jahiliyyah fi Dhamm al-Mutashawwifin (Pemusnahan Mercusuar Kebodohan dalam Meng-counter para Sufi Karbitan). Kata mutashawwifin di sini dimaksudkan mereka yang berpura-pura sufi tetapi meninggalan ajaran syariat.
6)     Khalq al-A'mal (sifat kejadian perbuatan manusia)
7)     Al-Lama'ah al-Masyriqiyyah fil Funun al-Mantiqiyyah (percikan iluminasi dalam seni logika)
8)     Al-Mabda' wal-Ma'ad berisikan tentang metafisika, kosmologi, dan eskatologi.
9)     Mafatih al-Ghaib (kunci alam gaib). Sebuah karya yang sangat mendasar yang ditulisnya setelah mencapai kematangan ilmu. Berkisar doktrin irfan tentang metafisika, kosmologi, dan eskatologi serta mengandung rujukan yang banyak dari al-Qur'an dan Hadits.
10)  Kitab al-Masya'ir (kitab penembusan metafisika). Salah satu dari kitab Shadra yang paling banyak dipelajari dalam tahun-tahun belakangan ini mengandung ringkasan teori ontologi.
11)  Al-Mizaj (tentang prilaku perasaan). Membicarakan tentang prilaku akibat dari bawaan, perangai dan sifat sebagai cabang dari ilmu jiwa.
12)  Mutasyabihat al-Qur'an (ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur'an). Memperbincangkan tentang ayat-ayat yang sukar dipahami dan bersifat metafora dari sudut irfan.
13)  Al-Syawahid al-Rububiyyah fil-Manahij as-Sulukiyyah (penyaksian Ilahi akan jalan ke arah kesederhanaan rohani). Merupakan ringkasan doktrin Mulla Shadra yang paling lengkap yang ditulis berdasarkan tinjauan irfan. Karya ini banyak disyarah oleh tokoh filsafat di Persia belakangan ini, seperti Mulla Ali Nuri.

c.   Proses Kreatif (مسالك الابداع)
            Sampai abad ke-XI, filsafat yang ang berkembang di dunia Islam bercorak paripatetis Neo-Platonisme yang mencapai puncaknya di tangan Ibnu Sina dan para pengikutnya. Tetapi pada masa Dinasti Saljuk yang ditandai dengan perkembangan Madrasah Nizhamiyah, posisi filsafat digantikan oleh tasawuf—meski sejatinya tasawuf falsafi—terutama setelah al-Ghazali menyerang para filsuf dengan bukunya Tahafut al-Falasifah. Sejak itu tradisi filsafat di dunia Islam Timur, yang berada di bawah pengaruh Sunni, mengalami kelesuan, kalau tidak dikatakan hampir mati. Namun di dunia Islam Barat, tepatnya di Andalusia, filsafat masih terus hidup untuk beberapa lama di tangan Ibnu Rusyd. Bersamaan dengan itu, sebenarnya di dunia Islam timur, yang berada di bawah pengaruh Syi'ah, tradisi intelektual Islam masih tetap hidup, khususnya di Persia. Hal itu ditandai pada abad ke VI H/XII M, Suhrawardi mengkritik beberapa ajaran dasar filsafat iluminasi yang bersifat mistis (Hikmah al-Isyraq) yang mempunyai banyak pengikut. Kedudukan Suhrawardi yang penting dalam sejarah pemikiran pasca-Avicennian terletak dalam usahanya untuk mempertahankan kesatuan kebenaran keagamaan dan metafisika dan kewajiban para pencari yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran dari manapun sumbernya. Arus Isyraqi yang dilepas oleh Suhrawardi terus mengalir deras khususnya dilingkungan Syi'ah selama masa Dinasti Safawi di Persia yang didirikan oleh Syah Isma'il (1500-1524 M).[6]

            Pada abad XIII, Nasir al-Din al-Thusi, seorang filsuf Peripatetis terkemuka, terpengaruh oleh beberapa pandangan para filsuf iluminasi, melakukan counter-attack, dan mengembalikan "nama baik" filsafat Peripatetis lewat karyanya Syarah al-Isyarat (Syarah terhadap kitab panduan dan penelitian karya Ibnu Sina). Bersamaan dengan itu, pada abad XIII juga muncul tokoh-tokoh besar di bidang spiritual yang bercorak gnosis atau irfan, seperti Ibnu Arabi dan Jalaluddin Rumi.

            Di bidang ilmu kalam, beberapa abad sebelum Mulla Shadra, merupakan masa yang paling kreatif. Setelah masa Fakhruddin ar-Razi, aliran Ilmu Kalam Sunni terus berkembang terutama lewat karya-karya Qadhi' Aududdin al-Iji, Sa'duddin Taftazani, Sayyid Syarif Jurjani hingga ke masa munculnya Syah Waliullah di India pada abad ke XVIII. Sedangkan aliran Ilmu Kalam Syi'ah mulai berkembang dalam bentuknya yang sistematis pada abad ke IV H/X M dan seterusnya yang ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh seperti Muhammad Ibnu Ya'kub Kulyani, Ibnu Babuyah, Syekh Muhammad at-Thusi, dan Ahmad bin Ali Tabarsi. Namun demikian, karya sistematis pertama dalam Ilmu Kalam Syi'ah ditulis oleh Nasiruddin Thusi pada abad ke XIII dengan judul Tajrid. Sejumlah syarh dan hasyiyah tentang Tajrid telah ditulis oleh beberapa pengikut Thusi sampai satu dua generasi sebelum Mulla Shadra.

            Keempat aliran pemikiran Islam di atas, filsafat Peripatetis, Iluminasi, Gnosis/'irfan, Kalam Sunni-Syi'ah, mempengaruhi proses pembentukan tradisi pemikiran Mulla Shadra. Ketika Shadra muda datang ke Isfahan, ia memasuki dunia intelektual yang matang dan memiliki akar sejarah yang panjang. Mulla Shadra mewarisi khazanah intelektual itu dan mengetahui secara mendalam ajaran, pendekatan dan masalah-masalah setiap aliran pemikiran.[7] Sintesis yang dilakukan oleh Mulla Shadra bukan sekedar menggabungkan teori atas gagasan keempat aliran pemikiran Islam tersebut diatas, melainkan meramunya dalam perspektif yang belum pernah ada sebelumnya dalam Al-Hikmah al-Muta'aliyah. Maka untuk memahami pemikiran Mulla Shadra, terlebih dahulu harus dipahami beberapa sumber pemikiran yang mengitarinya sebagai diutarakan diatas, meliputi:
1.      Filsafat Islam Peripatetis-Neo-Platonisme yang dikembangkan oleh Ibn Sina;
2.      Teori Isyraqi (Iluminasi-bahasa Latin luminare yang berarti cahaya) Suhrawardi;
3.      Doktrin Gnostis (Irfan) Ibn Arabi;
4.      Ilmu Kalam Syi'ah Imamiyah;
5.      Wahyu, termasuk di dalamnya sabda an-Nabi Saw dan para Imam Syi'ah.   

Dalam penilaian Henry Corbin, pemikiran Suhrawardi dan Mulla Shadra disejajarkannya dengan kombinasi antara St. Thomas Aquinas dan Jacob Boehme. Tulisan Mulla Shadra, al-Hikmah al-Muta'aliyah adalah karya paling monumental filsafat Islam, yang menyelaraskan secara menyeluruh argumen rasional, illuminasi yang diterima dari kesadaran spiritual dan ajaran wahyu, dalam artian tertentu merupakan puncak aktivitas intelektual selama seribu tahun dalam dunia Islam Persia dan sebagian besar India Muslim.[8]

d.   Filsafatnya (اثرالتفكير)
v  Epistimologi
Filsafat dapat diklasifikasi menjadi dua pembagian utama: (1) teoritis, yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya—ontologis eksistensialis. Perwujudannya tercermin dalam dunia akal dan ide, termasuk jiwa di dalamnya sebagai dikemukakan oleh al-Farabi dan Ibn Sina. (2) praktis, yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Perwujudannya adalah mendekatkan diri pada Tuhan secara metafisis, melalui semacam Imitatio Dei yang membuat jiwa berhak memperoleh suatu hak istimewa seperti itu.[9]
Sejalan dengan falasifah sebelumnya, Mulla Shadra juga meyakini adanya titik temu antara filsafat dan agama sebagi kesatuan kebenaran yang dapat dibuktikan melalui mata rantai historis yang berkesinambungan dari Adam sampai Ibrahim, orang-orang Yunani, para Sufi Islam (mengalami puncaknya pada Ibn Arabi), dan para filsuf. Shadra melukiskan bagaimana Seth dan Hermes (yang dapat disamakan dengan Idris dalam al-Qur'an dan Enoch dalam Injil) bertanggung jawab atas penyebaran pengkajian kebijakan (al-Hikmah) keseluruh dunia. Orang-orang Yunani, yang menurutnya pada awalnya adalah para pemuja bintang, lalu dengan sanad yang bersumber dari Ibrahim as. diajari Teologi dan ilmu Tauhid melalui Thales dari Miletos dan mencapai puncaknya pada Socrates dan Plato; yang lain diprakarsai oleh Pythagoras, yang menerima pelajaran tentang kebijaksanaan Sulaiman, yang dijumpainya di Mesir, dan juga dari pendeta-pendeta Mesir. Pilar-pilar kebijakan di Yunani, menurut Shadra, adalah Empedokles, Pythagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Plotinus (al-Syaikh al-Yunani) seringkali ditunjuk sebagai seorang tokoh besar.[10]

       Menurut Shadra wujud atau realitas itu hanyalah satu yang membentuk hirarki dari debu hingga Singgasana Ilahi ('arasy). Tuhan sendiri adalah Wujud Mutlak yang menjadi titik permulaan bidang eksistensi di mana matarantai wujud bergerak secara konstan menuju titik permulaan itu. Dengan demikian, tuhan adalah transenden vis-à-vis rantai wujud. Gerakan konstan-vertikal dalam skala-skala wujud ini disebut oleh Mulla Shadra sebagai perubahan substantif (harakah jauhariyah) menuju kesempurnaan (kamal) dan sebagian besar dicapai dengan pengetahuan. Gerakan-gerakan dalam perubahan substantif ini oleh Shadra disebut dengan safar (pengembaraan/journey). Risalah al-Hikmah al-Muta'aliyah menggambarkan perjalanan akal secara lengkap melalui tahapan-tahapan dari ketidaksempurnaan menuju Yang Maha Sempurna. Tahapan-tahapan ini terbagi menjadi empat perjalanan (al-asfar al-arba'ah).

      Perjalanan pertama adalah dari makhluk (khalq) menuju Hakikat Kebenaran atau Pencipta (Haqq). Perjalanan pertama ini menunjukkan pengembaraan dari maqam nafsu (nafs) ke maqam hati (qalb), lalu dari hati ke maqam ruh, dan dari maqam ruh menuju tujuan terakhir (al-maqshadul-aqsha) atau tujuan tertinggi (al-bahjaul-kubra). Setiap manusia pada umumnya melalui ketiga maqam ini, khususnya mahasiswa STF. Manakala seorang manusia telah mencapai al-maqshadul-aqsha, berarti ia telah menghadapkan wajahnya kepada Keindahan Tuhan dan ia fana' di dalamNya. Maqam terakhir ini disebut juga dengan maqam fana' didalam Dzat Tuhan (al-fana' fidz-Dzat) yang di dalamnya terkandung rahasia (sirr), yang tersembunyi (al-khafi) dan yang paling tersembunyi (al-akhfa').[11] 
Perjalanan kedua adalah dari Hakikat ke Hakikat dengan cara Hakikat (min al-Haqq ilal-Haqq bi al-Haqq). Perjalanan dimulai dari maqam Dzat menuju maqam Kamalat hingga hadir dalam Kesempurnaan Tuhan dan mengetahui seluruh Nama Tuhan (berikut hikmah ilahiyah). Mahasiswa STF (salik) yang telah mencapai maqam ini, dzatnya, sifatnya, dan perbuatannya fana' di dalam Dzat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan. Ia mendengar dengan Pendengaran Tuhan, melihat dengan Penglihatan Tuhan, berjalan dengan Bantuan Tuhan, dan bertindak dengan Tindakan Tuhan. Sirr adalah kefanaan dzatnya, khafa adalah kefanaan sifat dan perbuatannya; dan ikhtifa' (paling tersembunyi) adalah kefanaan keduanya. Perjalanan kedua ini berakhir sampai ke daerah kewalian (dairat al-walayah),[12] yang berarti perjalanan ketiga dimulai.

Perjalanan ketiga adalah dari Hakikat kepada makhluk dengan Hakikat (minal-Haqq ilal-Khalq bil-Haqq). Setelah menempuh perjalanan melalui maqam-maqam pada perjalanan kedua, kefanaannya berakhir lalu ia kekal (baqa') dalam kekekalan Tuhan. Lalu ia menempuh perjalanan melalui alam jabarut, alam malakut, dan alam nasut, lalu melihat alam semesta melalui Dzat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan. Ia mengecap nikmat 'kenabian', meskipun ia bukan nabi, dan memperoleh alam ketuhanan melalui Dzat, Sifat, dan Perlakukan Tuhan. Di sini berakhir perjalanan ketiga dan bermula perjalanan keempat.

Perjalanan keempat adalah dari makhluk ke makhluk dengan Hakikat (minal-Khalq ilal-Khalq bil-Haqq). Seorang pengembara (salik) mengamati makhluk dan menangkap kesan-kesan yang ada pada makhluk itu. Ia mengetahui kebaikan dan kejahatan makhluk, lahir dan batin, di dunia ini dan di dunia yang akan dating, membawa ilmu yang dibutuhkan makhluk, mengetahui mana mudharat dan manfaat, yang membahagiakan dan yang mencelakakan. Dalam kehidupannya, ia senantiasa bersama dengan al-Haqq karena wujudnya telah terpaut dengan Tuhan dan perhatiaannya kepada makhluk tidak mengganggu perhatiannya kepada Tuhan.[13]

v  Metafisika
1.       Wujud
            Pada awalnya, Mulla Shadra adalah menganut pemikiran metafisika esensialis Suhrawardi, tetapi dengan pengalaman spiritual yang dikominasikan dengan visi intelektualnya, ia menciptakan apa yang disebut Corbin sebagai "revolusi besar di bidang metafisika",[14] dengan memformulasikan metafisika eksistensialis yang dibangun di atas tiga pilar utama, yaitu wahdah al-wujud (unity of being), ashalah al-wujud (principality of being) dan tasykik al-wujud (gradation); dan tidak dapat dipahami tanpa mendalami pemikiran Ibnu Sina dan Suhrawardi. Salah satu persoalan penting yang menjadi perdebatan di kalangan filsuf dan teolog Muslim adalah tentang realitas primer, apakah eksistensi (wujud) ataukah esensi (mahiyah). Bagi penganut filsafat Peripatetis, seperti Ibnu Sina, realitas primer segala sesuatu adalah eksistensi (wujud), sedangkan esensi (mahiyah) adalah aksiden yang berhubungan dengan eksistensi. Sementara golongan iluminasionis, seperti Suhrawardi beranggapan sebaliknya, esensi (mahiyah) adalah realitas primer dan eksistensi (wujud) hanyalah aksiden yang tidak memiliki realitas eksternal di luar akal atau tidak berkorespondensi dalam realitas.[15]

            Segala sesuatu diciptakan tersusun dari eksistensi dan esensi, tetapi Wujud Mutlak sama sekali bebas dari susunan seperti itu dan memberikan kepada setiap entitas yang diciptakan wujud yang memilikinya melalui suatu proses penyinaran yang mirip dengan penyinaran cahaya. Sebagai Cahaya segala Cahaya, Ia menganugerahkan kepada entitas-entitas yang diciptakan sifat benderang mereka, yang dengan itu mereka mempunyai kesamaan dengan-Nya. Tetapi, esensi mereka sendiri, yang justru membedakan mereka dengan-Nya, tidak dapat dianggap berasal dari tindakan-Nya, tetapi merupakan kegelapan atau ismus, yang dalam pandangan Isyraqi memisahkan makhluk dari Cahaya Segala Cahaya, yang merupakan penciptaannya yang sejati.

            Dalam persoalan wahdah (unity) dan tasykik (gradation), Mulla Shadra memiliki pandangan yang berbeda dengan doktrin Peripatetis. Dalam pandangan filsuf Muslim Peripatetis, wujud setiap benda itu berbeda esensinya satu sama lain, tergantung quiditas (mahiyah)nya masing-masing. Sedangkan menurut Mulla Shadra, wujud itu memiliki realitas yang sama di dalam semua bidang eksistensi. Yang ada adalah realitas tunggal, yang membedakan hanyalah bobot/intensitas tingkatan atau gradasi. Seperti, cahaya matahari, cahaya lampu, cahaya kunang-kunang, subyeknya adalah sama, yaitu cahaya tetapi predikatnya berbeda, yaitu bobot perwujudannya. Lebih jauh lagi, menurut Mulla Shadra wujud itu, di mana pun ia mewujudkan dirinya, selalu muncul dengan atribut-atributnya, seperti pengetahuan, keinginan, dan kekuatan. Sebuah batu, karena ia eksis merupakan manifestasi dari wujud, dan oleh sebab itu ia memiliki pengetahuan, keinginan, kekuatan dan intelegensi seperti layaknya manusia dan malaikat. Akan tetapi, karena tingkat manifestasi wujudnya sangat lemah, atribut-atribut yang dimilikinya tidak tanpak jelas.[16]

            Pertama, Mulla Shadra membagi wujud menjadi wujud terikat (connective being/al-wujud al-irtibathi) dan wujud bebas (self-subsistent being/al-wujud al-nafsi). Al-Wujud al-Irtibathi adalah yang menghubungkan sebuah subyek dengan sebuah predikat, seperti pernyataan: "Manusia adalah hewan yang rasional". Sedangkan al-Wujud an-Nafsi adalah wujud yang berdiri bebas dan tidak menunjukkan adanya keterikatan antara subyek dengan predikat. Dengan demikian, menurut Mulla Shadra, wujud segala sesuatu selain Tuhan adalah al-wujud al-irtibathi, sedangkan Wujud Tuhan adalah wujud dengan sendiri-Nya.[17] Kedua, Mulla Shadra juga membagi wujud menjadi wajib, mumkin, dan mumtani'. Pembagian diambil oleh Mulla Shadra dari skema pembagian para filsuf dan teolog pasca Ibnu Sina. Berkaitan dengan keabadian dunia dan kemustahilan pembangkitan jasmani, menurut Mulla Shadra, dengan tidak mengurangi rasa hormatnya yang besar kepada Ibnu Sina, ia menolak kedua tema tersebut. Satu-satunya realitas yang dapat mendahului eksistensi waktu adalah Tuhan, yang mewujudkan dunia dengan perintah kreatifnya (al-amr). Ajaran para filsuf kuno, yang sepenuhnya cocok dengan ajaran para nabi dan wali, bukanlah hanya bahwa dunia dicipta dalam waktu, tetapi juga bahwa segala sesuatu yang ada di dalamnya pada akhirnya akan musnah. Satu-satunya realitas yang akan kekal selamanya, seperti dikatakan al-Qur'an, adalah "wajah Tuhan".

2. Jiwa
            Mulla Shadra sebagaimana Aristoteles, mendefinisikan jiwa sebagai entelechy badan. Oleh sebab itu, manakala jiwa itu tidak bersifat abadi, dalam arti bermula, maka jiwa itu tidak dapat dipisahkan dan bebas dari materi. Untuk mengatakan bahwa itu terpisah dan bebas dari materi hanyalah dengan meyakini adanya pra-eksistensi jiwa. Pada saat yang bersamaan, Mulla Shadra menolak pandangan Ibnu Sina yang menyatakan bahwa jiwa adalah sebuah konsep relasional dan bukan merupakan sesuatu yang bersifat substantif. Bila jiwa sejak dilahirkan berada didalam materi, kejiawaannya tidak dapat diartikan sebagai suatu relasi dimana seolah-olah jiwa memiliki eksistensi bebas kemudian berhubungan dengan materi. Lagi pula, apabila jiwa manusia merupakan substansi bebas, maka tidak mungkin untuk menyatukan jiwa dengan badan. Hubungan antara jiwa dengan badan tidaklah seperti hubungan antara daya fisik biasa dengan materinya. Jiwa bekerja di dalam materi melalui penghubung yang berupa daya-daya yang berada di bawahnya. Jadi, menurut Shadra, jiwa adalah entelechy badan jasmaniah yang bekerja melalui fakultas-fakultas yang disebut organ. Tetapi, yang dimaksud Shadra dengan organ bukanlah organ fisik seperti tangan, perut dan sebagainya; melainkan fakultas-fakultas atau daya-daya yang dengan perantaranya jiwa dapat bekerja, seperti selera makan, nutrisi dan pencernaan.[18]

            Menurut Shadra jiwa itu bersandar pada prinsip dasar yang disebut perubahan substantif. Pada umumnya, jiwa itu bersifat jasmaniah, tetapi akhirnya bersifat spiritual selamanya (jismaniyat al-huduts ruhaniyat al-baqa'). Artinya, manakala jiwa muncul di atas landasan materi, bukanlah berarti jiwa itu bersifat materi secara absolut. Dengan prinsip perubahan substantif ini, dituntut adanya tingkatan yang lebih tinggi dari landasan di mana jiwa berada. Meskipun ia bergantung kepada materi, tetapi tidak dapat dikatakan sepenuhnya bersifat materi. Materi atau tubuh hanyalah instrumen dan merupakan langkah pertama untuk berpindah dari alam materi menuju alam spiritual (malakut). Baik jiwa manusia maupun jiwa hewan sama-sama memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari badannya. Jiwa hewan melepaskan dirinya dengan imaginasi aktual (khayal bi al-fi'l)nya, sedangkan jiwa manusia dengan akal aktual ('aql bi al-fi'l). Kedua konsep ini didasarkan atas doktrin Dunia Khayal ('Alam al-Mitsal) yang dikembangkan setelah al-Ghazali oleh Suhrawardi, Ibnu 'Arabi dll. Berdasarkan doktrin ini, struktrur ontologis realitas dibagi menjadi tiga macam alam, yaitu: Idea atau akal murni di peringkat atas; Khayal murni di bagian tengah; dan benda-benda materi di bagian paling bawah.[19]

3. Moral
            Agama diturunkan oleh Tuhan dengan tujuan membimbing manusia memperoleh kebahagiaan tertinggi dengan jalan menciptakan keseimbangan, baik pada tingkat individu maupun sosial. Hal ini mengandung arti bahwa substansi manusia, yang diciptakan oleh Dzat Yang Maha Sempurna, harus mengetahui cara mengaktualisasikan seluruh kemampuannya. Kebahagiaan, menurut Mulla Shadra sangat tergantung kepada kesempurnaan jiwa dalam proses inteleksi (ta'aqqul). Pengetahuan dapat mengantarkan seseorang dalam proses trans-substansi (harakah jauhariyah)nya menuju kesempurnaan.

            Berkaitan dengan keadilan ('adalah), tidak dapat dipisahkan dengan konsep keseimbangan (i'tidal) yang memiliki akar kata yang sama. Bagi Mulla Shadra, kedua konsep itu dikaitkan dengan puncak kesempurnaan jiwa manusia dan persoalan-persoalan etika di dalam filsafat, tasawuf, dan syari'ah.         Al-Ghazali, misalnya, di dalam Ihya' menjelaskan empat sifat dasar manusia, yaitu: bahimi, sab'i, syaithani, dan rabbani. Tiga jenis sifat pertama harus dikendalikan oleh sifat terakhir, yang dalam perwujudannya berupa akal, agar keseimbangan dan keadilan dapat terwujud. Dominasi sifat rabbani atas ketiga sifat yang lain pada diri seseorang akan menempatkannya ke maqam ta-alluh yang dalam terma Mulla Shadra disebut al-hakim al-muta'allih.[20]
                

___________________________

[1] Mahasiswa STF Al-Farabi semester IV
2 Fakhry, hal. 341.
3       Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Shadra (Albany: State University of New York Press, 1975), hal. 16.
4       Seyyed Hossein Nasr, Sadruddin Shirazi & Al-Hikmah Muuta'aliyah, terjemahan Baharuddin Ahmad dari Sadruddin Shirazi & His Tracendence Theosophy (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1993), hal. 30.
[5]       Nasr, Sadruddin Shirazi, hal. 50.
[6] Iqbal, Metafisika, hal. 121.
[7] Nasr, Sadruddin Shirazi, hlm. 9-14
[8]       Nasr, Sains, hal. 312
[9]       Fakhry, hal. 341
[10]     Fakhry, hal. 342
[11] Nasr, Sadruddin Shirazi, hal. 64
[12] Nasr, Sadruddin Shirazi, hal. 55
[13] Nasr, Sadruddin Shirazi, hal. 56.
[14] Sayyed Hossein Nasr, "Theology, Philosophy, and Spirituality", dalam Sayyed Hossein Nasr, (ed.), Islamic Spirituality: Manifestation, Jilid II (London: SCM Press, 1991), hal. 435.
[15] Rahman, hal. 27-28.
[16] Nasr, Mulla Shadra, hal. 944-945.
[17] Sayyed Hossein Nasr, "Sadruddin Shirazi (Mulla Shadra)", dalam M.M. Sharif, (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. II (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), hal. 943.
[18] Rahman, hal. 197-198.
[19] Rahman, hal. 202.
[20] William C. Chittick, "Eschatology", dalam Sayyed Hossein Nasr, (ed.), Islamic Spirituality: Foundation, Jilid I (New York: Crossroad, 1987), hal. 393.

0 komentar: