Custom content

Selamat datang di blog Sekolah Tinggi Filsafat "AL-FARABI" Silahkan kirim tulisan anda ke alamat stf.alfarabi@gmail.com

BERJABAT TANGAN DENGAN FILSAFAT

BERJABAT TANGAN DENGAN FILSAFAT YUNANI
Oleh: Ach Dhofir Zuhry


                                                                             ”Manusia yang paling celaka adalah yang tidak tahu
                                                                                                    bahwa dirinya tidak tahu”
(Al-Ghazali)

I. Alam Pikir Falsafi

Sejauh ini, filsafat bagi sementara orang kurang begitu down to earth alias kurang membumi, sehingga tidak begitu diminati dan diakrabi. Dengan lain kata, filsafat masih ”dianggap” terlalu mythos dan terlampau logos. Mempelajari dan memasuki alam pikir falsafi seringkali dianggap buang-buang waktu dan tidak jarang membuat seseorang menjadi ”gila”, teralienasi dan menyusuri jalan-jalan sunyi kehidupan. Orang kebanyakan an sich lebih tertarik mempelajari ekonomi, hukum, kedokteran maupun pendidikan yang aplikasi dan orientasi kerjanya jelas, padahal filsafat adalah embrio dari segala ilmu.

Namun demikian, ketika seseorang dapat berpikir logis, sistematis dan rasional sejatinya ia telah berfilsafat. Seorang petani, misalnya, ketika menjalani aktifitas pertanian dengan penuh perencanaan dan perhitungan, maka ia telah menerapkan filosofi bertani yang baik dan benar. Dalam hal ini filsafat lebih diposisikan sebagai metode dan alat, sehingga bagi petani (karena saya sendiri adalah petani), filsafat adalah ”cangkul” dan ”cara mencangkul yang benar”. Manakala seorang petani tahu dan memiliki cangkul yang proporsional (ontologi) dan bisa mencangkul secara prosedural (epistemologi) dan lantas merawat tanamannya dengan baik tentu hasil taninya akan maksimal (aksiologi). Maka, jadilah ia petani yang philosophia alias filsuf pertanian.

Dengan demikian, memasuki alam pikir falsafi sangat mudah dan sederhana, tidak harus cerdas (apalagi jenius), modalnya cuma satu dan gratis, yakni sikap kritis. Dan, ini bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan di manapun. Bagaimana itu bisa dilakukan? Marilah kita jalan-jalan ke Yunani.

II. ”Mencangkul” di Yunani

Anda tentu pernah bertanya kapan, di mana, dari mana dan bagaimana proses lahirnya filsafat?

Yunani, khususnya penduduk di sana, tentu saja tidak serta-merta menjadi para filsuf dan langsung mengemukakan teori-teori filsafat. Mereka adalah masyarakat polis yang normal, tradisional, boleh dikatakan primitif alias jahiliyah, karena memang sangat memberhalakan mitos-mitos para dewa, leluhur dan alam semesta. Namun dengan banyaknya penduduk yang merantau (sekaligus belajar) ke luar Yunani serta tidak sedikit pula pelancong dan pedagang yang datang melintas ke Asia kecil (sekarang Turki) dan semenanjung Arabia, maka ramailah Yunani raya, tepatnya sejak abad ke-5 SM.

Sebenarnya jauh sebelum Yunani diramaikan oleh filsafat, manusia (terutama para Nabi, para guru dan penganjur kasalehan) telah berfilsafat dan memandang alam raya ini dengan sikap kritis dan cara pandang yang tidak sempit. Jika demikian, manusia yang pertama kali bersilsafat (dan berpengetahuan) tentulah Nabi Adam a.s. Bersama gerak sang waktu sampailah manusia pada peradaban Nuh a.s (+ 4-5000 SM) bersama anaknya, Syam dan Ham mendirikan peradaban di Syiria dan sekitarnya. Nuh a.s adalah generasi ke-9 dari Adam a.s. Selanjutnya Ibrahim a.s dan Ismail a.s (+ 2-3000 SM) membangun peradaban di Palestina dan Mekah, tak lama berselang peradaban Mesir kuno dan Babilonia (Irak) juga berkembang bahkan sampai ke Yunani pengaruhnya. Di bidang Astronomi dan Matematika orang-orang Yunani berhutang budi pada Mesir dan Irak.

Kemudian pada 2500-1500 SM di Tibet dan semenanjung Arabia, bangsa Dravida membangun peradaban Lembah Indus, dinasti Shang pada 1523-1027 SM membangun peradaban China, kemudaian pada abad ke-13 SM nabi Musa a.s membangun peradaban bangsa Israel dengan menghancurkan tirani raja Ramses II alias Fir’aun (1304-1274 SM)[3] dan pada abad ke-10 SM Daud a.s dan puteranya, Sulaiman a.s mendirikan negara Palestina dan membangun Masjid al-Aqsha, itulah kenapa masjid ini disebut Haykal Sulaiman atau Salomon Tample (kuil Sulaiman), kemudian pada abad ke-6 SM Siddharta Gautama (l. 563 SM) mengajarkan agama Budha di India, selanjutnya Laozi mengajarkan filsafat Tao dan pada 551 SM Guru Kung alias Kong Hu Cu lahir dan mengajarkan filsafat Konghucu. Pada abad ke-6 SM inilah filsafat Yunani lahir. Selanjutnya abad ke-1 M berdiri peradaban Funan di Kamboja[4] dan pada tahun 450 M di Indonesia sudah berdiri kerajaan Kutai Kertanegara dan 50 tahun kemudian berdiri kerajaan Tarumanegara.

Nah, filsafat Yunani lahir dari rahim mitologi dewa-dewa dan alam semesta. Dari mythos itulah orang-orang macam Pythagoras (+580-500 SM), Xenophanes (+570-480 SM), Herakleitos (540-475 SM), Protagoras (480-411 SM), Sokrates (499-399 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) menjadikannya logos, rasional berdasarkan akal budi dan pengetahuan. Secara garis besar yang dapat ”dicangkul” dari Yunani adalah tradisi kritis, yakni mendobrak kesalahan publik dan membongkar kebohongan mitos-mitos para dewa dan alam semesta.

III. Berkenalan dengan Ustadz Sokrates, Plato dan Aristoteles

Sokrates, disebut ustadz karena ia adalah guru besar yang banyak menanamkan pengaruh signifikan bagi filsuf sesudahnya. Sokrates, sekalipun lahir dari keluarga terpandang—ibunya seorang dukun beranak dan bapaknya (ada yang mengatakan pematung)—tapi ia lebih senang hidup menggelandang menyusuri pasar dan keramaian untuk berdialegestai (berdialog) dengan semua kalangan, termasuk kaum Sofis. Sokrates selalu bersikap kritis dan mempertanyakan banyak hal dalam dialog-dialognya, di antaranya adalah: apa kebaikan itu? apa hidup yang baik itu? bagaimana seorang bisa mendapatkan eudaimonia (kebahagiaan)? Manusia harus punya arete (kebajikan, moral). Mempunyai arete, bagi Sokrates berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia[5]. Inilah inti ajaran filsafat Sokrates, yakni filsafat manusia. Doktrin Sokrates yang paling terkenal yakni: keutamaan adalah pengetahuan.

Ustadz Sokrates tidak berpolitik, karena saat itu polis sangat erat dengan keyakinan tentang dewa-dewa dan mitologi Yunani kuno. Sokrates menganggap mitos-mitos yang berkembang di Yunani tidaklah benar, baginya mitologi hanyalah ciptaan penyair-penyair yang penuh kebohongan dan mengharap imbalan dari penguasa. Dari sanalah corak filsafat Sokrates sangat kental. Akhirnya, karena tidak percaya pada dewa-dewa yang diakui oleh pemerintah polis Athena itulah pada usia 70 tahun Sokrates mengakhiri hidupnya dengan minum racun dalam penjara setelah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Athena.

Setelah meninggalnya sang ustadz, Plato meneruskan ajaran dan tradisinya dalam berdialog dan mengarang dialog, bahkan sebagian besar karyanya, kecuali Apologia, adalah dialog-dialog. Plato sangat dipengaruhi Sokrates dalam berfilsafat, bahkan seluruh aliran darah Plato adalah sokratik, ia cenderung mencari aspek-aspek dialogis dari segala realitas dan gejala, sehingga bagi Plato, filsafat adalah dialog. Tak lama setelah kembali dari Italia, ia mendirikan sekolah yang diberi nama ”Akademia”, nama ini ia dedikasikan bagi seorang pahlawan Yunani bernama Akademos. Yang membedakan Sokrates dengan Plato adalah Sokrates tidak mengajar, hanya berdialog sedangkan Plato intensif mengajar, hanya saja Plato tidak begitu frontal menentang mitos-mitos, malah dalam karya-karya Plato banyak terdapat mitologi.

Inti filsafat Plato adalah ide, baginya ide-ide bukanlah sesuatu yang subyektif berupa gagasan belaka, akan tetapi obyektif, terlepas dari subyek berpikir. Bagi Plato ide tidak diciptakan dari pemikiran, justru sebaliknya, pemikiranlah yang tergantung pada ide-ide. Pemikiran tidak lain dari pada menaruh perhatian pada ide-ide.

Dalam karyanya berjudul Politeia, Plato mengatakan bahwa terdapat hierarki dalam ide-ide, dan seluruh hierarki itu akhirnya memuncak pada ide ”yang baik”. Dalam karya yang lain, Shopistes, Plato mengatakan bahwa pada puncak ”dunia ideal” terdapat lima ide (ada, identik, lain, diam dan gerak), kelimanya menghubungakan semua jaringan ide.

Filsafat Plato ini kemudian banyak dikritisi oleh muridnya, Aristoteles. Ia lahir—15 tahun setelah kematian Sokrates—di Stageira, Yunani utara pada 384 SM[6] dan tinggal di istana raja Makedodia, Amyntas II sampai usia 17 tahun dan lantas berguru pada Plato. Meski ia belajar di Akademi Plato selama 20 tahun, tapi dalam hampir semua karyanya ia justru bertentangan dengan gurunya. Namun Aristoteles tidak menghilangkan tradisi dialog yang sudah dirintis oleh ustadz Sokrates dan Plato. Dengan banyak mengkritisi para filsuf sebelumnya Aristoteles menjadi filsuf terbesar yang karyanya mencakup banyak aspek keilmuan, seperti logika, metafisika, ilmu bumi, politik dan retorika, serta ekonomi dll.

Filsafat Aristoteles dibagi dalam tiga periode. Pertama ketika ia masih di Akademia, ia sangat mengagumi Plato, kedua sewaktu berada di Assos dan istana Pella, ia berbaik menyerang gurunya dan ketiga, sewaktu mengajar di sekolah Lykeion di Athena, Aristoteles lebih tertarik pada filsafat spekulatif dan penelitian empiris. Dalam karyanya yang berjudul Metaphysica, terutama pada bab XIII dan XIV, Aristoteles dengan gencar mengkritik dan menyangkal ajaran Plato tentang ide. Bagi Aristoteles, Plato terlalu sibuk dengan ide (bentuk) dari segala realitas. Ajaran Plato bahwa ide (bentuk) realitas seluruhnya bersifat umum tidak benar, sebab ide bersifat individual dan tidak universal. Contoh, kalau ”bentuk” manusia A dan B memang berdiri sendiri, maka bentuk ini merupakan individu, artinya baik A maupun B sama-sama individu. Jika demikian, nantinya akan ada individu ketiga (tritos antropos) yang bisa saja menyamai individu A dan B maupun yang lain. Begitulah seterusnya, D seperti C, E seperti D, Y seperti X, sampai tak terbatas.

Aristoteles perpendirian bahwa setiap ide tertuju pada materi, tidak mungkin bisa dilepaskan. Sebab ide adalah esensi suatu benda atau realitas, apapun itu. Sehingga esensi tidak bisa berdiri sendiri, dan yang ada dalam kenyataan adalah benda-benda konkret saja. Proses ini disebut abstraksi. Contoh, ketika petani mengatakan, ”saya mau mencangkul”, itu bukan berarti cangkul ada dalam pikiran petani, tidak. Yang ada dalam pikirannya hanyalah gambaran tentang cangkul dan rencana mencangkul. Nah, karena adanya proses abstraksi inilah ilmu pengetahuan dimungkinkan, tanpa mengandaikan ide-ide gaya Plato. Selanjutnya Aristoteles membagi ilmu pengetahuan dalam tiga golongan, yakni pengetahuan praktis, produktif dan teoritis. Namun ironisnya, logika, bagi Aristoteles tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, di bidang logika inilah Aristoteles menjangkarkan konsep besarnya mengenai deduksi, induksi dan silogisme. Demikian, Allaahu yuwaffiqunaa ilaa sabiilil-anbiyaa’ wal mursaliin.
***
[1] Disampaikan dalam Diskusi Sejarah Filsafat Yunani pengurus Komisariat PMII Univ. Kanjuruhan Malang, 11 Dzul Qa’dah 1431 H/19 Oktober 2010
[2] Ach Dhofir Zuhry, Petani dan Peternak, sambil bertani menjadi direktur Avennasar Institute, bukunya yang sudah terbit Tersesat di Jalan yang Benar (Kalam Mulia, 2007), Terjemah Shalawat Haji: Tahni’ah Li Qudumi Hujjaj Bayt al-Haram, Istighotsah dan Tafsir az-Zuhry vol. I (Nurudh-Dholam Institute, 2006) dan A’malul Yaumiyah (YND Jakarta, 2010). Kumpulan cerpen Para Nabi Dalam Botol Anggur insya Allah akan terbit di Intrans Malang akhir tahun ini, kumpulan puisi Orgasme dan Matahari Tumbuh Dari Senyummu, sedang dipersiapkan untuk terbit.
[3] Lih. Ismail dan Lamya’ R. Al-Faruqy, Cultural Atlas of Islam. New York: MacMilian, 1986. hlm. 52-55.
[4] Nigel Kelly & Goh Phay Yen, Discovering History (pen. R. Effendi), Jakarta: Moyo Segoro Agung 1999, hlm. 31-34
[5] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius 1999. hlm. 104-111
[6] Ibid. 154

0 komentar: