Custom content

Selamat datang di blog Sekolah Tinggi Filsafat "AL-FARABI" Silahkan kirim tulisan anda ke alamat stf.alfarabi@gmail.com

BERCINTA ALA SUFI


Bercinta ala Sufi[1]
Oleh: Khoiron Nafis



“…Ketika tiba saatnya
untuk menuliskan tentang cinta,
pena akan patah
dan kertas akan robek..” 
Mavlana Jalaluddin Rumi

Pengantar

Cinta merupakan sumber dari hubungan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya, yakni manusia dan alam semesta. Karenanya, cinta menjadi tema penting dalam tasawuf, yang memang selalu mengungkap hubungan antar-ketiganya. Sufisme juga sering didefinisikan sebagai jalan menujuTuhan melalui gerbang hati yang digerakkan oleh kendaraan cinta.[2]

Tasawuf Cinta

Cinta (mahabbah) berkembang sebagai gagasan keruhanian setelah tasawuf meninggalkan wujudnya sebagai gerakan keruhanian yang bersahaja sesudah awal abad ke-8 Masehi (abad ke-2 Hijriah). Saat itu tasawuf lebih sebagai kehidupan asketisme (zuhud), dan tingkat keruhanian (maqam) yang tertinggi ialah tawakkul (ketergantungan dan kepercayaan penuh kepada Tuhan) dan takwa. Mahabbah menjadi tingkat keruhanian penting setelah digali berdasarkan pengalaman mistik dari ahli tasawuf Ja’far al-Shidiq (699-756 M), yang dianggap sebagai pencetusnya, ia juga seorang ahli hadis dan tafsir. Mahabbah juga dikembangkan oleh Syaqiq al-Balkhi, Harits al-Muhasibi, dan terutama sekali dipopularkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Pada saat dikembangkan oleh para sufi tersebut, tingkat keruhanian terpenting yang tersusun meliputi taubat, sabar, harap (rajaa’), takut (khawf), faqr, zuhud, tawakkul dan cinta (mahabbah) yang termasuk di dalamnya rindu (syawq), kekariban (uns), dan rela (ridhaa) yaitu puas terhadap kehendak-Nya.[3]

Sebagian sufi lebih menggunakan istilah ‘isyq daripada mahabbah. Al-Nuri (wafat 907 M), seorang sufi yang pertama kali memperkenalkan istilah ‘isyq untuk melengkapi istilah mahabbah. Di dalam al-Quran kata mahabbah digunakan sebagai perlambangan cinta kepada Allah secara maksimal atau secara mutlak: “Dia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya”.[4]

Namun demikian, Maulana Jalaluddin Rumi tidak menilai bahwa dua istilah tersebut sebagai hal yang berlawanan, “‘isyq adalah mahabbah yang tak terbilang banyaknya,” ungkapnya di dalam Matsnawi.[5] Imam al-Ghozali juga tidak membedakan antara ‘isyq dan mahabbah, karena substansi keduanya saling berkait erat. Hanya saja, Imam al-Ghazali menggunakan istilah ‘isyq untuk menggambarkan cinta yang amat mendalam dan mengungguli segala sesuatu,[6] cinta yang benar-benar kokoh dan tak terhalang oleh apapun, seperti cinta Zulaykha kepada Nabi Yusuf AS ataucinta Qais (Majnun) kepada Layla.

Atas pendapat para sufi tersebut, saya berkesimpulan untuk menggunakan istilah ‘isyq manakala melakukan identifikasi terhadap keadaan jiwa (hal atau ahwal) yang di dalamnya cinta tak terbilang banyaknya; dan manakala melakukan identifikasi terhadap kecenderungan hati kepada cinta Ilahi, baik itu merupakan keadaan jiwa maupun tingkatan ruhani (maqamat), maka akan dipakai istilah mahabbah.

Menurut Rumi, hanya cinta yang dapat membawa seorang pelaku sufi (salik) berhasil dalam perjalanan mereka mencapai Diri Yang Tinggi sebab cinta merupakan cara unggul mencapai pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu.[7]

Di dalam sistem estetika sufi, cinta (‘isyq ataupun mahabbah) mempunyai makna luas, cinta bukan dimaknai secara umum, melainkan lebih pada keadaan dan tingkatan ruhani yang membawa seseorang mencapai pengetahuan ketuhanan.

“Perhentian terakhir di jalan mistik ialah mahabbah dan ma’rifah. Kadang-kadang keduanya dianggap saling melengkapi, kadang-kadang cinta dianggap lebih utama, dan adakalanya ma’rifah yang dipandang lebih tinggi,” demikian ungkap Annemarie Schimmel.[8]

Menurut al-Ghazali ma’rifah mendahului cinta (mahabbah) sebab “Cinta tanpa ma’rifah tidak mungkin, orang hanya dapat mencintai sesuatu yang dikenal.”[9]

Namun, bagi Rabi’ah al-Adawiyah, cintalah yang mendahului ma’rifah, cinta yang tulus kepada Tuhan akan dibalas oleh-Nya dengan terbukanya tabir antara manusia dan Tuhan, dan sufi melihat Tuhan dengan mata-hatinya. Karenanya, tatkala ditanya apakah ia melihat Tuhan yang ia sembah, Rabi’ah menjawab, “Jika aku tak melihat-Nya, maka aku tidak akan menyembah-Nya.” Selanjutnya tentang ma’rifah, Rabi’ah al-Adawiyah menyatakan bahwa “Buah ilmu ruhani adalah agar engkau palingkan wajahmu dari makhluk agar engkau dapat memusatkan perhatianmu hanya kepada Allah saja sebab ma’rifah itu adalah mengenal Allah sebaik-baiknya”.[10] Jadi, bagi Rabi’ah al-Adawiyah, mahabbah mendahului ma’rifah sekalipun keduanya berdampingan dan tidak dapat dipisahkan.

Dalam perspektif Dzun Nun al-Mishri,[11] ma’rifah terstruktur menjadi tiga tingkatan, pertama, ma’rifah awam yaitu mengetahui Tuhan dengan perantaraan ucapan syahadat; kedua, ma’rifah ulama yaitu mengetahui Tuhan dengan logika akal; ketiga, ma’rifah sufi yaitu mengetahui Tuhan dengan perantaraan hati-sanubari.

Demikian pula, cinta (mahabbah) menurut al-Sarraj,[12] ada tiga tingkatan, pertama, mahabbah biasa dengan selalu mengingat Tuhan; kedua, mahabbah orang yang shidiq, cinta yang dapat menghilangkan tabir antara manusia dan Tuhan dengan cara menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, lalu hatinya dipenuhi perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu kepada-Nya; ketiga, mahabbah orang arif, cinta yang benar-benar mengetahui terhadap Tuhan, yang dirasa bukan lagi cinta, melainkan Diri yang dicintainya.

Dengan mencintai Allah, maka terbukalah rahasia ciptaan Allah, baik yang nyata maupun yang gaib, yang di dunia maupun yang di akhirat (cinta tingkat biasa, I). Dengan terbukanya rahasia itu, seorang sufi dapat melihat cahaya kekuasaan dan keagungan Allah (cinta tingkat orang shidiq, II). Selanjutnya, di saat cinta itu semakin mendalam, maka akan terbuka tabir antara manusia dan Tuhannya, sangat merindukan-Nya sebab telah melihat keindahan-Nya melalui hati-sanubari (ma’rifah sufi). Di dalam hati-sanubari inilah orang arif mempertemukan cintanya dengan cinta Allah, cinta Tuhan bertemu dengan cinta hamba-Nya (cinta tingkat orang arif, III). Pada keadaan jiwa demikian seorang sufi seperti Rabiah al-Adawiyah menyatakan pengalamannya bahwa antara mahabbah dan ma’rifah saling meningkatkan keberadaannya sekalipun selalu dimulai dari kecintaan terhadap Allah (mahabbah).

Menurut Imam al-Ghozali di dalam Ihyaa’ ‘Ulum al-Din bahwa cinta dapat diidentifikasi menjadi lima, yakni:

(1) Cinta diri, berupa keinginan akan kesempurnaan diri, mencakup cinta kepada kesehatan, kekayaan, istri, anak, karib- kerabat, dan lain-lain; (2) Cinta yang terbit disebabkan adanya keuntungan yang diperolah dari objek yang dicintai; (3) Cinta yang disebabkan keindahan dan kebaikan; (4) Cinta yang diilhami oleh keindahan dan kebaikan dalam arti moral seperti cinta seorang muslim kepada Nabi Muhammad Saw; (5) Cinta yang lahir karena munasabah atau afinitas rahasia, umpamanya cinta yang wujud antara pencinta dengan kekasih-Nya. Dalam hal ini pencinta tidak memandang kesenangan yang akan diperoleh, sebab cinta terbit karena adanya pertautan istimewa antara keduanya.[13]

Pada kategori keempat dan kelima dari perspektif al-Ghozali tersebut, tasawuf cinta (mahabbah) dikembangkan oleh para sufi.

Pijakan dari konsep cinta sebagai kendaraan para sufi menuju Tuhan adalah, salah satunya, dari doa yang diucapkan oleh Rasulullah Saw, “Ya Tuhan, berilah aku cinta-Mu, dan cinta mereka yang mencintai-Mu, dan cinta yang membuatku mendekati cinta-Mu, dan buatlah cinta-Mu lebih kucintai daripada air sejuk”.[14]

Para sufi jaga memperoleh janji dari Tuhan bahwa: “Mereka yang beriman hanyut di dalam cinta mereka kepada Allah Swt”,[15] sekaligus mendapat anjuran: “Jika kau mencintai Allah ikutlah aku; (maka) Tuhan akan mencintaimu”.[16] Selain hadits dan ayat di atas, tentu saja, masih banyak pustulat yang dapat dijadikan hujjah urgensi cinta dalam menyelami kehidupan.

Rabi’ah al-Adawiyah berprinsip bahwa cinta merupakan landasan ketaatan dan ketakwaan kepada Tuhan. Pandangannya tersebut terlihat dari doanya yang terkenal:[17]

Kucintai Kau dengan dua cinta
Cinta untuk diriku, dan cinta sebab Kau patut dicinta
Cinta untuk diriku ialah karena aku kara
Di dalam ingatan kepada-Mu semata, membuang yang lain
Cinta sebab Kau patut dicinta, karena Kau singkap
Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu
Segala pujian tidak perlu lagi bagiku
Sebab semua pujian untuk-Mu semata


Cinta model pertama itu perspektifnya ialah cinta rindu (syawq), sedangkan cinta model kedua itu perspektifnya ialah cinta peleburan (fanaa) “...karena Kau singkap penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu.”

Al-Junayd mendeskripsikan perubahan yang diakibatkan oleh cinta Ilahi itu sebagai berikut, “Cinta adalah leburnya pencinta ke dalam sifat-Nya, dan menetapnya Yang dicintai di dalam Dzatnya”. Singkatnya, bahwa “Tolak ukur dari cinta adalah ketika masuk dan merasuknya sifat-sifat yang Dicinta ke dalam sifat-sifat pencinta.”[18]

Al-Ghazali juga memetaforakan cinta yang mensucikan ini sebagai “Pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit” seperti yang dicitrakan oleh al-Qur’an,[19] buahnya menampakkan dirinya di dalam hati, di lidah, dan seluruh anggota badan. Buah tersebut adalah ketaatan kepada seluruh perintah Allah, dan mengingat-Nya secara terus-menerus dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, seorang pencinta menanggalkan seluruh kediriannya dan menggantikannya dengan apa saja yang menjadi perintah dari Yang Mahakekasih (Allah) sehingga ia hidup dengan keyakinan seperti ini, “Tak ada kebaikan dalam cinta tanpa kematian”, yang dimaksudkan ialah “mati sebelum mati”. Pada tingkat yang paling ekstrem, penerimaan terhadap penderitaan itu dilakukan oleh al-Hallaj, yang menurutnya, “Penderitaan adalah Dia Pribadi”. Semakin Tuhan mencintai seseorang, maka semakin berat Tuhan mengujinya. Para Rasul adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan Tuhan, karenanya para Rasul yang paling banyak mendapatkan penderitaan; seperti tersebut dalam sebuah hadits bahwa, “Orang yang paling menderita adalah para Rasul, lalu para wali, dan seterusnya.” Itulah sebabnya al-Hallaj dengan ikhlas, menari riang menjemput maut sebab baginya seorang martir cinta yang akan diberi hak surga.

Tahapan Cinta Ilahi

Tentang cinta Ilahi yang sempurna terdapat tingkatan-tingkatan cinta didalamnya, yang tentu saja masing-masing sufi juga tidak pernah sepaham tentang urutan tingkatannya maupun jumlah tingkatan berjenjang yang harus dilalui seorang pelaku sufi. Tentang klasifikasi tingkatan cinta ini juga tidak dapat dipisahkan dengan tema yang lebih besar berkenaan dengan keadaan mental dari sufi (ahwal) dan tingkatan-tingkatan spiritualitas sufi (maqam).

Abu al-Qasim al-Qusyayri25 (w.465 H/1072 H) melalui buku saku terkenalnya tentang sufisme menempatkan cinta (mahabbah) dan kerinduan (syawq) begitu pentingnya sebagai tingkatan ke-49 dan ke-50 dari seluruh limapuluh maqam yang ia ungkapkan. Dalam pandangan al-Qusyayri, kerinduan adalah kompleks sebab tidak sekadar keterpisahan atau keberhadiran sang Kekasih, melainkan begitu kuat sehingga hanya berlanjut pada pertemuan dengan Tuhan. Al-Qusyayri juga menempatkan cinta sebagai prinsip menyeluruh kemajuan spiritual. Ia membagi cinta menjadi tiga derajat, kejujuran (rasti), kemabukan (masti), dan kehampaan (nisti).

Ruzbihan Baqli (w.606 H/1209 M), tergolong sufi Persia awal yang menyusun risalah tentang tingkatan cinta dalam bahasa Parsia Abhar al-Asyqin (Melati Para Pencinta) secara kompleks dan memukau. Di dalam kitabnya itu Ruzbihan menggambarkan pendakian mistik ke cinta yang sempurna, yang terdiri dari duabelas maqam, yakni: (1) ‘ubudiyyah atau kehambaan; (2) wilayah atau kewalian; (3) muraqabah atau meditasi; (4) khawfi atau rasa takut; (5) raja’ atau harapan; (6) wajd atau penemuan; (7) yaqin atau keyakinan; (8) qurbah atau kedekatan; (9) mukasyafah atau penyingkapan; (10) musyahadah atau penyaksian; (11) mahabbah atau cinta; dan, (12) syawq (kerinduan). Keduabelas maqam tersebut diikuti oleh derajat tertinggi yaitu cinta universal (‘isyq-i kulli) yang merupakan tujuan ruh.[20]

Tentang tingkatan cinta yang digagas oleh Ruzbihan Baqli tersebut, Carl W. Ernst menjelaskannya secara ringkas dan menarik sebagai berikut. Kehambaan terdiri dari praktik-praktik disiplin spiritual seperti dzikir, shalat, diam, puasa, dalam rangka mensucikan sifat seseorang. Kewalian mencakup sifat-sifat seperti taubat (tawbah), kesalehan (wara’) dan asketisme (zuhud). Meditasi (Muqarabah) didasarkan pada pengendalian atas pemikiran yang serampangan dan menyelami hakikat sejati dalam diri. Rasa takut adalah sejenis penyucian api yang membangkitkan perilaku para nabi. Kemudian harapan adalah obat yang menuntun kepada musim semi jiwa. Penemuan adalah memperoleh kedekatan sang Kekasih. Keyakinan sang elit (sufi) adalah sesuatu yang berada di luar keimanan biasa yang bisa digoyahkan. Penyingkapan, terjadi pada tingkatan akal, hati dan ruh berupa terlihatnya bentuk-bentuk cinta yang berbeda; setelah itu, ia mampu menggabungkan cinta dan keindahan dalam jiwa dan menyingkapkan kekuasaan Ilahi sebagai anggur cinta. Penyaksian adalah kategori yang dibagi Ruzbihan ke dalam dua bagian, seperti ketenangan hati dan kemabukan (pembagian yang dapat dibuat dalam setiap maqam); bagian tenang penyaksian adalah pemakaian jubah Ilahi (iltibas), ciri Ibrahim; sementara bagian mabuk darinya adalah penghapusan (mahw), sifat Musa, namun Muhammad menggabungkan dua pengalaman ini dalam penyaksiannya.[21]

Pada tingkat kerinduan (syawq), Ruzbihan mnggambarkan bahwa ia adalah api yang membakar semua pikiran, hasrat, dan selubung dari hati, karenanya jika cinta dan kerinduan mencapai kesatuan, maka diri manusia akan “lenyap” (fana). Muara rasa cinta, menurut Ruzbihan, akan berakhir pada pencapaian dua maqam, yaitu: gnosis (ma’rifah) dan keesaan (tawhid), di atasnya sudah tidak ada lagi.[22] Pada titik inilah pantas untuk mengatakan dalam ungkapan-ungkapan eskatis (syathahat) seperti pernyataan Abu Yazid, “Mahaterpujilah Aku”; atau, ungkapan al-Hallaj, “Akulah Kebenaran”. Pengalaman pencinta dalam keadaan eskatis itu atas kemanunggalan dengan Tuhan yang melampaui semua bentuk ungkapan lain.

Penutup

Pada pengalaman pencinta dalam keadaan eskatis itu pula, cinta dipersepsi dan diposisikan sebagai bentuk akhir (purna) hubungan manusia dan Tuhan. Faktor prinsip yang menjujung cinta di atas keduniaan, yang berada di luar hasrat ego yang telah diakui semenjak Rabi’ah al-Adawiyah. Para sufi menyingkap pemahaman cinta melalui karakteristik pengalaman batin melalui keadaan (ahwal) dan tingkatan (maqam) spiritual, dan kekayaan kejiwaan merekalah yang membedakan masing-masing pemahaman terhadap cinta. Jumlah maqam yang berbeda-beda itu hanya menunjukkan prioritas masing-masing pelakunya untuk memberi penekanan tertentu pada tingkat tertentu menuju cinta Ilahi. Maqam-maqam itu tiada lain bertujuan sama, yakni hanya demi menandai tingkat kemajuan pelaku sufi sebagai kekasih menuju penyatuan dengan Yang Mahakekasih (Allah).


[1] Disampaikan di Kampus STF Al-Farabi, 01 Rajab 1434/11 Mei 2013
[2] Modjeh Bayat, Para Sufi Agung, h. 17.
[3] Bandingkan Abu al-Wafa al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), hal. 85.
[4] QS., 5:59.
[5] Via, Abdul Hadi W.M., Tasawuf yang Tertindas (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 36.
[6] Ibid.: 53.
[7] Via, Reza Arasteh, 1974:80.
[8] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.II, 2003), hal.165.
[9] Abdul Hadi W.M., 2001:35.
[10] Ibid, 69
[11] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 75-76.
[12] Ibid.:70-71
[13] Abdul Hadi W.M., 2001:52.
[14] Imam al-Ghozali via Annemarie Schimmel, 2003:67.
[15] QS., 2:165.
[16] QS., 3:31.
[17] Abdul Hadi W.M., 2001:41. Menurut Imam al-Ghozali, yang dimaksudkan Rabi’ah dengan “cinta untuk diriku” ialah cinta kepada Allah disebabkan oleh kebaikan dan karunia-Nya, sedangkan “cinta sebab Kau patut dicinta” ialah cinta disebabkan oleh keindahan dan keagungan-Nya (al-jamaal dan al-jalaal) yang menyingkap rahasia diri-Nya. Kedua cinta tersebut merupakan cinta paling luhur dan dalam, dan merupakan kelezatan dalam menyaksikan keindahan Tuhan.
[18] Annemarie Schimmel, 2003:171.
[19] QS., 14:42.
[20] Carl W. Ernst, dalam Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis : Spiritualitas Islam (Fondasi) (Bandung: Mizan, 2002), hal. 521
[21] Ibid.:521-522
[22] Carl W. Ernst, dalam Seyyed Hossein Nasr, ibid.:523.

0 komentar: