Custom content

Selamat datang di blog Sekolah Tinggi Filsafat "AL-FARABI" Silahkan kirim tulisan anda ke alamat stf.alfarabi@gmail.com

SEJARAH DAN FENOMENA MISTIK AL-BURDAH


SEJARAH DAN FENOMENA MISTIK AL-BURDAH[1]
oleh: Ach Dhofir Zuhry[2] 


”...nafsu itu seperti bayi, kalau dibiarkan menyusu
sampai tuapun akan terus menyusu...” (Burdah, bait 18)

a.      Muqaddimah
Siapa tak kenal Burdah? Kalangan pesantren, masyarakat tradisional dan kaum Ahlussunnah wal Jamaah tentu sangat karib-akrab dan bahkan mendarahdaging dengan syair/qashidah ini. Sekurang-kurangnya sudah delapan abad bergulir tradisi Burdahan dilestarikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Namun demikian banyak, bahkan sangat banyak yang tidak tahu dan mungkin mengenal Burdah sebatas kulit luarnya saja. Apa sebab? Karena Burdah terlalu dikultuskan secara berlebihan tanpa pernah dikaji dan dikritisi secara ilmiah. Konsekuensinya, Burdahan sekedar menjadi penyemarak tradisi dan ritus budaya yang kapan pun akan segera digeser oleh modernisasi, westernisasi, globalisasi dan isasi-isasi produk Barat lainnya. Na’udzubillah.  

b.      Imam Al-Bushiri r.a. dan Prisma Pemikirannya
Syair Burdah yang berjumlah 163 bait ditulis oleh seorang pujangga bernama Abu Abdillah Syarafuddin Muhammad bin Sa’id bin Hammad bin Muhsin bin Abdillah bin Shanhaj bin Mallal Al-Bushiri (lahir 1 Syawal 608 H/1213 dan wafat pada 691 H/1295 M). Ia lahir tepat 103 tahun setelah meninggalnya Imam Al-Ghazali (w. 1111 M) di Bushir, desa kecil di Mesir. Ketika itu Mesir, Irak, Syiria dan beberapa negera lainnya berada di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah yang mulai redup. Klimaksnya pada 1256 khalifah al-Musta’shim meninggal dalam sebuah serbuan besar-besaran tentara Mongol yang dipimpin Hulegu Khan. Akhirnya dinasti yang berkuasa selama lebih kurang lima abad itu runtuh bersama peradaban dan khazanah keilmuan, karena aset-aset pendidikan dan perpustakaan di Baghdad dijarah habis-habisan kemudian diluluh-lantakkan oleh pasukan Hulegu Khan[3]. Belum lagi kudeta di Mesir pada setiap pemimpin Bani Ayyub dan dinasti Mamluk, serta serangan tentara Salib yang tak kunjung usai sejak 1096 M.
Berbagai pergolakan sosial-politik itu tidak begitu saja meredupkan tradisi akademik dalam Islam, salah satunya adalah jasa sultan Qalawun (w. 1290) dari dinasti Mamluk (1250-1517) yang mengambil inisiatif membuka hubungan multilateral di bidang ekonomi dan pendidikan dengan Byzantium, Kostantinopel (Istambul-Turki) dan India. Implikasinya Mesir kala itu berkibar sebagai mercusuar ilmu pengetahuan salah satunya dengan semakin menterengnya Universitas al-Azhar.
Al-Bushiri hidup dan tumbuh ketika sastra Arab mencapai puncak keemasannya. Para khalifah sangat memanjakan para penyair, seringkali mereka diundang untuk menyanjung dan mengapresiasi jasa sang Khalifah, tentu saja dengan imbalan materi. Namun demikian Al-Bushiri tergolong penyair yang miskin dan banyak sekali anaknya, sehingga ia kerap berganti profesi bahkan tak jarang ia menjadi Rapsodi (penyair-penyanyi) yang mengetuk belas kasihan dari satu raja ke raja lainnya untuk menghidupi keluarga. Di hari tuanya, khususnya ketika ia mengalami sakit kronis dan kelumpuhan yang berkepanjangan, bahkan ketika banyak dokter dan tabib didatangkan, namun Al-Bushiri tak juga sembuh, semua itu disesalinya sepanjang tahun di usia uzurnya dengan menulis syair dan pepujian untuk Nabi Muhammad Saw. Itulah Burdah. Selain Burdah, judul aslinya adalah Kawakib al-Durriyah fi Madhi Khair al-Bariyyah, Al-Bushiri memiliki banyak lagi proses kreatif yang dituangkan dalam karya-karyanya, antara lain: al-Qashidah al-Muhammadiyah, Hamziyyah fi Madhi al-Nabawiyyah (427 bait), Dzakhr al Ma’ad fi Wazn Banat al-Su’ad, Al-Shalah ’ala Khayr al-Bariyyah, Hukm al-Hawa, Katab al-Masyib,’Asy ba’d Maut, Mustakhdimun wa Syayathin dan Fadhluk Awwal[4] dan lain-lain.               

c.       Sejarah, Visi dan ”Gizi” Kitab al-Burdah
Penggubahan syair Burdah dilatarbelakangi oleh kecintaan Al-Bushiri pada Nabi Saw yang dijadikannya inspirasi dan perantara (washilah) agar ia cepat sembuh dari penyakit lumpuh yang dideritanya hampir 30 tahun. Dirangkailah kata demi kata sampai beberapa purnama berlalu selesailah penulisan Kawakib al-Durriyah fi Madhi Khair al-Bariyyah. Suatu malam ia bermimpi (ada yang mengatakan bukan mimpi) didatangi Nabi Saw, beliau mengusap ubun-ubun Al-Bushiri dan menyelimutinya dengan Burdah (baju hangat dan tebal yang terbuat dari kulit binatang yang biasa digunakan Nabi.
Ajaib, pagi harinya Al-Bushiri langsung sembuh total dan bisa keluar rumah dalam keadaan segar-bugar. Maka, gemparlah masyarakat Bushir dan bahkan seluruh Mesir. Sejak itu syair Burdah terkenal keseluruh penjuru dunia hingga kini. Karena kualitas sastra, ketinggian bahasa, aspek historis dan nilai mistiknya, Burdah menarik minat para ilmuwan untuk memberikan komentar (syarh), misalnya Ismail al-Dimisyqi (w.1261), ibn Habib al-Halbi (w.1409), Ibn Marzuq al-Tilimsani (w.1439) dan Ibrahim al-Bajuri (w.1861). Saat ini Burdah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Uri (1861) dengan judul Carmen Mysticum Borda Dictum, bahasa Jerman oleh Von Rosenweig (1824) dengan Judul Funkelnde Wandelsterne Zum Lobe des Westen der Geschophe, dalam bahasa Prancis oleh de Tassy (1822) dengan judul Le Burda, juga dalam bahasa Italia oleh Gabrielli (1901) dengan judul al-Burdatain[5]. Syair Burdah terdiri dari sepuluh tema pokok: (1) Muqaddimah Cinta dan Rindu [12 bait], (2) Ancaman Hawa Nafsu [16 bait], (3) Sanjungan pada Nabi [30 bait], (4) Kelahiran Nabi [13 bait], (5) Mu’jizat [16 bait], (6) al-Qur’an [17 bait], (7) Isra’ Mi’raj [13 bait], (8) Jihad [22 bait], (9) Penyesalan [12 bait] dan (10) Penutup [12 bait].    

d.      Kritik
Syair Burdah melestari ke seluruh pelosok bumi, khususnya di Indonesia karena memang tidak semata-mata sebagai karya sastra maupun sanjungan untuk Nabi Saw saja, lebih dari itu Burdah sarat dengan ajaran Tasawuf, mistisisme dan magisme, sehingga tak jarang kita temui di kalangan masyarakat pesantren dan pedesaan Burdah menjadi semacam ”shalawat”, hizib, obat dan bahkan azimat, serta sebagai wirid yang dibaca secara reguler sebagai rutinitas sehari-hari dan pada acara-acara tertentu.
Namun yang patut dikritisi sebagai bahan mudzakarah adalah bahwa Burdah dan tradisi shalawatan maupun syi’iran sejauh ini terlalu (1) ditempatkan pada ”singgasana” yang tidak wajar, yakni di puncak menara gading mistik yang untouchable, absolut dan haram dikritisi; (2) Burdah terlalu diremehkan dan dianggap sudah selesai, sehingga tidak dipelajari dan dikaji secara komprehensif (syumuli) khususnya di pesantren, dan (3) Burdah, syi’iran dan shalawatan terlalu dikomersialisasikan sebagai lagu-lagu religi dalam kepingan VCD maupun sebagai ring back tone (RBT). Saya sendiri sudah tahu dan hafal sya’ir Burdah sejak kecil, tapi baru mengerti kandungan Burdah yang sesungguhnya baru-baru ini. Jalaslah bahwa umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya sangat rendah minat akademik dan gairah baca-tulisnya. Mudah-mudahan kita tergolong pribadi-pribadi yang dengan rendah hati mau belajar. Allahu yuwaffiquna ila sabil al-anbiya’ wa al-mursalin.


[1]   Disampaikan pada ”Tadarrus Agama & Budaya” PMII kom. Universitas Kanjuruhan, 3 Muharram 1432 H/9 Desember 2010
[2]   Direktur lembaga kajian Avennasar Institute, bukunya yang sudah terbit dan beredar di Indonesia, Brunai Darussalam dan Malaysia: Tersesat di Jalan yang Benar (Kalam Mulia, 2007), Terjemah Shalawat Haji: Tahni’ah Li Qudumi Hujjaj Bayt al-Haram dan A’malul Yaumiyah (YND Jakarta, 2010). Kumpulan cerpennya, Para Nabi Dalam Botol Anggur akan terbit akhir tahun ini.
[3]   Ismail ibn Katsir al-Dimisyqi, al-Bidayah wa al-Nihayah, Beirut: Dar el-Fikr, tt, juz XIII hal. 205
[4] ‘Athawi, Najib Ali, al-Bushiri: Sya’ir Mada’ih al-Nabawiyyah wa ‘Alamuha, Mesir: Dar al-Ma’arif, tt hlm 66-100 dan 180
[5]   E.J. Brill’s, The First Encyclopedia of Islam, (Leiden, t.p, 1987) jilid I hal.796  

5 komentar: