Custom content

Selamat datang di blog Sekolah Tinggi Filsafat "AL-FARABI" Silahkan kirim tulisan anda ke alamat stf.alfarabi@gmail.com

AR-RAZI (RAY, IRAN 865-925 M)

a. Manaqib
Paman Descartes, Pakde Baruch Spinoza, Leibniz dan Blaise Pascall yang harus cium tangan pada kiai Ar-Razi. Ia adalah Bapak Rasionalisme (bukan Descartes), dan dokter pertama yang memperkenalkan teori bedah, sirkulasi darah serta orang pertama yang dapat mengobati penyakit khisbah (cacar). Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakaria bin Yahya Ar-Razi. Di Barat ia dikenal dengan nama Razhes (patungnya ada di depan fakultas kedokteran Universitas Sorbonne, Prancis). Ia lahir di Ray dekat Teheran, Iran dan hidup pada masa Dinasti Saman (204-395 H), ia hafal Al-Qur’an sejak kecil dan mulai serius belajar filsafat pada Al-Balkhi pada usia 17 tahun, belajar kedokteran pada Ali al-Thabari. Kiai kampung yang satu ini menguasai filsafat, teologi, kedokteran, astronomi, sastra dan kimia.

Pak Kiai ini juga menjadi direktur Rumah Sakit (RS) selama enam tahun, di antaranya RS Ray dan RS Baghdad. Selama itu ia menulis buku kedokteran berjudul al-Thibb al-Manshuri sebagai hadiah untuk khalifah Al-Manshur. Dalam menentukan lokasi pendirian RS ia meletakkan potongan-potongan daging di berbagai tempat, kemudian memilih tempat yang paling minim pembusukan dagingnya. Ia memberikan pengobatan gratis pada orang miskin. Ia adalah filsuf dan dokter terbesar dan orisinal dari seluruh dokter, juga penulis paling produktif[1].

Proses kreatif Ar-Razi dituangkan dalam lebih dari 200 karya, yang terkenal adalah: Sirah al-Falsafiyah (sejarah filsafat) Kitab al-Asrar (kimia), Al-Hawi (ensiklopedi kedokteran terpopuler di Eropa sampai abad XVI, tahun 1279 diterjemahkan ke bahasa Latin dengan judul Continens), Thibb al-Mansuri 10 jilid (Latin: el-Mansori Liber el-Mansoris) dan lain-lain.

b. Nata’ij al-Fikr

Kiai Ar-Razi adalah seorang rasionalis murni, ini terbukti dalam muqaddimah salah satu magnumopusnya, ia mengatakan: ”Segala puji bagi Tuhan yang telah memberi kita akal yang dengan itu kita. Inilah anugerah terbaik Tuhan bagi kita. Dengan akal kita bisa melihat segala yang berguna dan merubah hidup menjadi lebih baik, dari potensial menjadi aktual. Jika begitu penting dan mulia, maka kita tidak boleh melecehkan akal. Kita tidak bisa menentukannya, sebab ia adalah penentu, atau mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah, tetapi kita harus merujuk dan bertendensi kepada akal itu sendiri.”[2]

Inti filsafat Ar-Razi bertumpu pada rasionalitas murni, menurutnya, manusia tak dapat menentukan, mengendalikan dan memerintah akalnya, sebab akal adalah penentu, pengendali dan pemerintah manusia. Eropa harus menunggu 6 abad untuk menerapkan ajaran Ar-Razi ini. Rasionalitas bagi Ar-Razi adalah pemungkin utama untuk mendekati Tuhan, alam, manusia, moral dan bahkan jiwa.

Sedangkan lapangan metafisika Ar-Razi berkisar pada pandangan tentang Lima Kekal, yakni: Tuhan (al-Bari Ta’ala), Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulli), Materi Pertama (al-Hayuli al-Ula), Ruang Absolut (al-Makan al-Muthlaq) dan Waktu Absolut (al-Zaman al-Muthlaq). Kiai Ar-Razi juga berpendapat bahwa alam diciptakan bukan dari ketiadaan (creatio exnihilo/al-ijad min al-’adam) tetapi dari sesuatu atau unsur-unsur yang telah ada (al-ijad min al-syay’). Selanjutnya—dengan bekal rasionalitas—ia banyak menjangkarkan pandangan kritisnya terhadap moral, kenabian dan sains. Inilah yang menginspirasi para faylasuf (Islam) dan filsuf (Barat) yang datang kemudian.

c. Atsar at-Tafkir

I. Metafisika

Metafisika Ar-Razi dikenal dengan ”Lima Kekal”, yakni: (1) Al-Bari Ta’ala, (1) An-Nafsu al-Kulliyah, (3) Al-Hayuli al-Ula, (4) al-Makan al-Muthlaq, dan (5) Az-Zaman al-Muthlaq. Menurut Ar-Razi, dua dari lima yang kekal itu hidup dan aktif, yaitu Tuhan dan Jiwa universal. Sedangkan Materi Pertama tidak hidup dan pasif. Sementara dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa[3].

Ar-Razi dalam karyanya As-Sirah al-Falsafah menyebutkan bahwa akal adalah limpahan dari Tuhan yang paling fenomenal. Tujuan penciptaannya adalah untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam jasad manusia. Jasad ini bukan tempat sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kebahagiaan sejati adalah melepaskan diri dari materi-materi dengan berfilsafat[4]. Logika pendeknya adalah, jiwa yang tidak dapat menyucikan dirinya dengan filsafat akan tetap tinggal di alam materi dan terjerumus di dalamnya.

Argumen yang dipergunakan Ar-Razi untuk membuktikan ketidak terbatasan atau kekekalan ruang ialah sebagai berikut:

Wujud yang memerlukan ruang (al-mutamakkin) tidak dapat berwujud tanpa adanya ruang, ruang dapat terwujud tanpa adanya mutamakkin. Ruang taka lain adalah tempat bagi mutamakkin. Setiap mutamakkin terbatas dengan sendirinya dan berada dalam ruang. Jika demikian, ruang mestilah tidak terbatas. Yang tidak terbatas itu kekal. Jadi ruang mestilah kekal[5].

II. Moral

Pndangan moral Ar-Razi yang paling memukau adalah bahwa tingkah laku pun harus berdasarkan rasio. Hawa nafsu harus berada di bawah kendali akal dan agama. Ar-Razi mengingatkan bahaya minuman keras terhadap fungsi dan independensi akal. Oleh karena itu penting bagi manusia mengetahui kekurangan dan kenistaannya. Nah, bagaimana kalau yang bersangkutan tidak tahu, kiai? Bukankah tidak bijak jika harus memaksa semua manusia menjadi filsuf? Di sinilah Ar-Razi seakan mengisyaratkan bahwa filsuf berperan ganda sebagai dokter, psikiater dan tentu saja teman bagi semua orang.

Berkaitan dengan jiwa Ar-Razi mengharuskan bahwa seorang dokter harus mengetahui kedokteran jiwa (at-Thib ar-Ruhani) dan kedokteran jasmani (at-Thib al-Jasmani) secara bersama-sama, karena manusia memerlukan itu secara bersama-sama dan sinergi. Kebutuhan pada kedokteran tubuh sudah lazim, sedangkan kebutuhan pada kedokteran jiwa adalah untuk menjaga keseimbangan jiwa dalam segala aktivitasnya, agar tidak minus ataupun over. Karena itu, faktor jiwa menjadi salah satu dasar pengobatan bagi Ar-Razi. Menurutnya, terdapat hubungan yang erat antara tubuh dan jiwa. Emosi jiwa yang berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan tubuh, sehingga timbul keragu-raguan dan melankolik. Demikian pula sifat hasut atau dengki akan dapat mendatangkan marabahaya bagi manusia secara psikis dan biologis; pun juga kekhawatiran yang berlebihan juga dapat menyebabkan terjadinya halusinasi dan melankolik atau kelayuan diri.

Sedangkan kebahagiaan, menurut Ar-Razi, adalah kembalinya apa yang telah tersingkir, karena sesuatu yang berbahaya. Misalnya orang meninggalkan tempat yang teduh menuju tempat yang panas, akan senang ketika kembali ke tempat yang teduh lagi. Ia mengutuk cinta sebagai sesuatu yang berlebihan dan ketundukan pada hawa nafsu. Kiai ini juga mengutuk kepongahan dan kelengahan, karena hal itu menghalangi orang dari belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Iri hati merupakan perpaduan dari kikir dan tamak. Sementara dusta adalah bad habit yang dibedakan menjadi dua, untuk kebaikan yang sifatnya terpuji dan untuk kejahatan yang sifatnya tercela. Jadi, nilai dusta terletak pada otentisitas niat.

III. Kenabian

Kiai Ar-Razi menyanggah bahwa untuk keteraturan kehidupan, manusia memerlukan Nabi. Pendapat yang kontroversial ini harus dipahami bahwa ia seorang rasionalis murni. Akal menurutnya adalah karunia Tuhan yang terbesar untuk menusia, sedangkan akal manusia dapat memperoleh semaksimal mungkin positivitas, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan.

Pandangan Ar-Razi yang mengkultuskan kekuatan akal tersebut menjadikan ia tidak percaya kepada wahyu dan adanya Nabi sebagaimana diutarakannya dalam bukunya Naqd al-Adyan aw fi An-Nubuwwah (Kritik terhadap Kenabian). Menurutnya, para Nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki keistimewaan khusus, baik pikiran maupun rohani, karena semua orang adalah sama dan keadilan Tuhan serta hikmahNya mengharuskan tidak membedakannya antara seseorang dengan yang lainnya[6]. Perbedaan antara manusai timbul karena berlainan pendidikan dan berbedanya suasana perkembangannya. Lebih lanjut, dikatakannya, tidaklah masuk akal bahwa Tuhan mengutus para Nabi padahal mereka tidak luput dari kekeliruan. Setiap bangsa hanya percaya kepada Nabinya sendiri dan tidak mengakui Nabi bangsa lain, Akibatnya, terjadi banyak peperangan keagamaan dan kebencian antar bangsa-bangsa, karena fanatisme kepada agama dan Nabi masing-masing[7].

Adapun pemikiran Ar-Razi tentang “Lima Kekal”, tidak otomatis ia menjadi zindiq, apalagi bila dinilai dengan Al-Qur’an, tidak satu ayatpun yang secara qath’i yang bertentangan dengan pemikiran tersebut. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa pemikiran kiai nyentrik ini adalah benar dan fakta. Bagaimanapun, apa yang telah dirintis oleh Ar-Razi adalah gerbang bagi kemajuan filsafat dan sains bagi generasi berikutnya, sebab dialah yang mula-mula berani secara lantang mengeksplorasi akal budi, bukan mentuhankannya.


***
CFM (Cangkru’an Filsuf Muda), 17 Jumadil Akhir 1432 H
[1] Philip K. Hitti, History of the Arab, (London: Macmillan, 1974) h. 365-366
[2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 62
[3] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme, h. 18
[4] Al-Razi, Rasa’il al-Falsafiyyah, (Beirut: Dar Afaq al-Jadidah, 1982), h.284 bdk. Opcit, h. 27
[5] Ar-Razi, Rasa’il, h. 293 sebagaimana dikutip oleh Hasyimsyah Nasutian dalam Filsafat Islam, h. 28
[6] Madkur fi Falsafah I, h. 88 bdk. Filsafat Islam, h. 31
[7] Badawi, h. 446

0 komentar: