SOCRATES
“…kenalilah
dirimu. Makanlah untuk hidup,
bukan
hidup untuk makan…” (Socrates)
a. Biografi
Socrates (Yunani:
Σωκράτης, Sǒcratēs), (470 SM - 399 SM) merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filsafat. Pak
Crates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat
besar dari Yunani, yaitu Socrates, Plato
dan Aristoteles. Socrates
adalah yang mengajar Plato, dan Plato pada gilirannya juga mengajar
Aristoteles.
Ia diperkirakan lahir dari ayah
yang berprofesi sebagai seorang pemahat patung dari batu (stone mason)
bernama Sophroniskos. Ada juga yang beranggapan bahwa ia bekerja di bank alias kuli
bang(unan). Ibunya bernama Phainarete berprofesi sebagai bidan, dari sinilah Socrates
menamakan metodenya berfilsafat dengan metode kebidanan nantinya. Socrates
beristeri seorang perempuan bernama Xantippe dan dikaruniai tiga orang anak. Secara
historis, filsafat Socrates mengandung pertanyaan karena Socrates sediri tidak
pernah diketahui menuliskan buah pikirannya. Apa yang dikenal sebagai
pemikiran Socrates pada dasarnya adalah berasal dari catatan oleh Plato, Xenophone (430-357) SM,
dan siswa-siswa lainnya. Yang paling terkenal di antaranya adalah Socrates
dalam dialog Plato di mana Plato selalu menggunakan nama gurunya itu sebagai
tokoh utama karyanya sehingga sangat sulit memisahkan mana gagasan Socrates
yang sesungguhnya dan mana gagasan Plato yang disampaikan melalui mulut
Sorates. Nama Plato sendiri hanya muncul tiga kali dalam karya-karyanya sendiri
yaitu dua kali dalam Apologi dan sekali dalam Phaedrus.
Socrates dikenal sebagai seorang
yang tidak tampan, berbadan gempal, berpakaian sederhana, tanpa alas kaki dan
berkeliling mendatangi masyarakat Athena berdiskusi soal filsafat dan banyak hal
tentang Athena. Dia melakukan ini pada mulanya didasari satu motif religius untuk membenarkan
suara gaib yang didengar seorang kawannya dari Oracle Delphi
yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih bijak dari Socrates. Merasa
diri tidak bijak dia berkeliling membuktikan kekeliruan suara tersebut, dia
datangi satu demi satu orang-orang yang dianggap bijak oleh masyarakat pada saat itu
dan dia ajak diskusi tentang berbagai masalah kebijaksanaan. Metode
berfilsafatnya inilah yang dia sebut sebagai metode kebidanan (maieutik
tékhne).
Dia menganalogikan dirinya sebagai seorang bidan yang membantu
kelahiran seorang bayi
dengan caranya berfilsafat yang membantu lahirnya pengetahuan melalui diskusi
panjang-mendalam. Dia selalu mengejar definisi absolut tentang satu masalah
kepada orang-orang yang dianggap bijak meski kerap kali mereka gagal melahirkan
definisi tersebut. Pada akhirnya Socrates membenarkan suara gaib tersebut
berdasar satu pengertian bahwa dirinya adalah yang paling bijak karena dirinya
tahu bahwa dia tidak bijaksana sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya
adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana.
Cara berfilsatnya inilah yang memunculkan
rasa sakit hati terhadap Sokrates karena setelah penyelidikan itu maka akan
tampak bahwa mereka yang dianggap bijak oleh masyarakat ternyata tidak
mengetahui apa yang sesungguhnya mereka duga mereka ketahui. Rasa sakit hati
inilah yang nantinya akan berujung pada kematian Sokrates melalui peradilan
dengan tuduhan resmi merusak generasi muda, sebuah tuduhan yang sebenarnya
dengan gampang dipatahkan melalui pembelaannya sebagaimana tertulis dalam Apologi
karya Plato. Socrates pada akhirnya meninggsl pada usia 70 tahun dengan cara menenggak
racun sebagaimana
keputusan yang diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280
mendukung hukuman mati
dan 220 menolaknya.
Socrates sebenarnya dapat lari dari
penjara, sebagaimana
ditulis dalam Krito, dengan bantuan para sahabatnya namun dia menolak
atas dasar kepatuhannya pada satu "kontrak" yang telah dia jalani
dengan hukum di kota Athena. Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan
dengan indah dalam Phaedo karya Plato.
b. Karya dan
Pemikirannya
Sokrates,
disebut ustadz karena ia adalah guru besar yang banyak menanamkan pengaruh
signifikan bagi filsuf sesudahnya. Sokrates, sekalipun lahir dari keluarga
terpandang—ibunya seorang dukun beranak dan bapaknya (ada yang mengatakan
pematung)—tapi ia lebih senang hidup menggelandang menyusuri pasar dan
keramaian untuk berdialegestai (berdialog) dengan semua kalangan,
termasuk kaum Sofis—yang konon juga dikecam sebagai gerombolan orang yang sok
ilmiah. Sokrates selalu bersikap kritis dan mempertanyakan banyak hal dalam
dialog-dialognya, di antaranya adalah: apa kebaikan itu? apa hidup yang baik
itu? bagaimana seorang bisa mendapatkan eudaimonia (kebahagiaan)?
Manusia harus punya arété (kebajikan, moral). Mempunyai arete, bagi
Sokrates berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manuria[1].
Inilah inti ajaran filsafat Sokrates, yakni filsafat manusia.
Doktrin Sokrates yang paling terkenal yakni: keutamaan adalah pengetahuan.
Ustadz
Sokrates tidak berpolitik, karena saat itu polis sangat erat dengan
keyakinan tentang dewa-dewa dan mitologi Yunani kuno. Sokrates menganggap
mitos-mitos yang berkembang di Yunani tidaklah benar, baginya mitologi hanyalah
ciptaan penyair-penyair yang penuh kebohongan dan mengharap imbalan dari
penguasa. Dari sanalah corak filsafat Sokrates sangat kental. Memesuki usia tua, Socrates, belajar
musik[2].
Lalu ada orang berkata padanya, ”apakah engkau tidak malu belajar di usia
tua?”. Dia menjawab,” Aku merasa lebih malu menjadi orang yang bodoh di usia
tua”.
Peninggalan pemikiran Socrates
yang paling penting ada pada cara dia berfilsafat dengan mengejar satu definisi
absolut atas satu permasalahan melalui satu dialektika.
Pengejaran pengetahuan hakiki melalui penalaran dialektis menjadi pembuka jalan
bagi para filsuf
selanjutnya. Perubahan fokus filsafat dari memikirkan alam menjadi manusia juga
dikatakan sebagai jasa dari Sokrates. Manusia menjadi objek
filsafat yang penting setelah sebelumnya dilupakan oleh para pemikir hakikat alam semesta. Pemikiran
tentang manusia ini menjadi landasan bagi perkembangan filsafat etika dan
epistemologis di kemudian hari.
Bagi Socrates, filsafat
bukanlah isi, bukan hasil, dan bukan juga ajaran yang berdasarkan dogma yang
tidak bisa dibantah, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari
kebenaran, ia tidak mengajarkan, melainkan membantu mengeluarkan apa yang
tersimpan di dalam jiwa orang. Oleh karena itu, metodenya disebut maieutik;
menguraikan. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan hobinya, yakni
selalu bertanya. Dia bertanya sana-sini, kemudian dipahaminya dengan baik apa
yang telah dia pertanyakan. Maka jalan yang ditempuhnya dengan metode
induksi dan definisi. Induksi menjadi dasar definisi. Induksi yang dimaksud
Socrates adalah dengan membandingkan secara kritis. Tentu yang dibandingkan
adalah hasil dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dia kumpulkan.
Menurut Socrates, orang yang
berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Apabila budi adalah tahu,
berdasarkan timbangan yang benar, maka jahatnya dari orang yang tidak
mengetahui karena tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar.
Namun jika kita melihat pada era sekarang, ternyata tidak hanya yang tidak tahu
saja yang jahat, yang tahu pun bisa lebih jahat dari yang tidak tahu karena
mereka bisa memanipulasi dan mencari-cari celah dari apa yang telah ia ketahui.
Justru kejahatan dari orang-orang yang berpengetahuan inilah yang lebih
berbahaya. Rupanya, hal ini yang belum sempat dipikirkan ustadz Socrates.
Ia juga berbicara tentang
keadilan, menurutnya keadilan adalah melaksanakan apa yang menjadi fungsi
sebaik-baiknya tanpa mencampuri fungsi/pekerjaan orang lain (the practice
of minding one’s own business). Keadilan akan terwujud jika
melakukannya secara baik, apapun sesuai dengan kempampuan dengan cara teamwork
dan serasi di bawah pengarahan yang paling bijaksana (filsuf). Fungsi tiap
pihak dalam masyarakat adalah dapat melakukan sendiri, sesuatu yang dapat
dilaksanakan secara lebih baik dari pada mengerjakan hal lain. Dan tiap hal
yang dikerjakan mengandung kebajikan (virtue).
Berdasar asumsi Socrates tentang
adanya kesejajaran antara cara hidup atau tipe manusia dan tipe masyarakat, Socrates
membedakan tipe manusia (jiwa manusia dan cara hidup) menjadi tiga, yakni: 1.
Akal budi (reason), 2. Semangat (spirit), dan 3. Nafsu
(desire). Ketiga tipe itu akan mencapai puncaknya di bawah
pengarahan akal budi dan kemudian keadilan dalam masyarakat akan terwujud
apabila masyarakat melakukan secara baik apa saja yang sesuai kemampuan dengan
arahan dari yang paling bijaksana (akal budi/filsuf). Pada episentrum ini,
Socrates terlihat sedikit sok. Jangan lupa pak Crates, filsuf juga manusia,
bukan orang suci. Jika di atas adalah tipe manusia, maka dari 3 tipe tersebut Socrates
membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni: 1. Pedagang yang bekerja mencari
uang sebanyak-banyaknya (nafsu), 2. Prajurit yang bekerja memelihara tata
masyarakat (semangat), 3. filsuf yang berfungsi sebagai penguasa (akal budi).
Berdasar asumsi adanya kesejajaran
antara cara hidup manusia dan tata masyarakat itu pula, Socrates membedakan
rezim menjadi lima tipe. Pertama, Aristokrasi. Dikatakan rezim
terbaik karena diperintah oleh raja yang bijaksana (filsuf). Rezim ini dijiwai
dengan akal budi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa hanya yang
bijaksana (filsuf) yang mampu mengarahkan masyarakat dengan baik dan optimal. Kedua,
Timokrasi. Merupakan rezim terbaik kedua, karena dipimpin oleh mereka
yang menyukai kehormatan dan kebanggaan, yakni prajurit (militer). Rezim ini dijiwai
dengan semangat (spirit). Ketiga, Oligarki. Dipimpin oleh
kelompok kecil yang memiliki kekuatan melimpah seperti
pengusaha/pedagang/saudagar. Rezim ini dijiwai dengan keinginan yang perlu (necessary
desire). Keempat, Demokrasi. Dikategorikan sebagai rezim yang
dipimpin oleh banyak orang yang hanya mengandalkan kebebasan atau keinginan
yang tak perlu (unnecessary desire). Kelima, Tirani.
Sebagai rezim terburuk yang pernah ada, karena dipimpin oleh seorang tiran yang
memerintah sekehandak nafsunya (unlawful desire). Seorang tidak tidak
memiliki kontrol atas dirinya, tidak ada keadilan dalam rezim ini. Di sinilah,
ustadz Socrates mendemonstrasikan kesaktiannya.
c. Pengaruh Filsafatnya
Sumbangsih Socrates yang
terpenting bagi pemikiran Barat adalah metode penyelidikannya, yang dikenal
sebagai metode elenchos, yang banyak
diterapkan untuk menguji konsep moral yang pokok. Karena itu, Socrates dikenal
sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral, dan juga filsafat secara
umum. Ingatan kita dulu adalah tentang seorang tua gempal dan sedikit kumuh di
Yunani sana yang hidupnya hanya beredar di pasar-pasar bak gelandangan,
menggetok pikiran dan mendebat anak-anak muda tentang banyak hal yang lalu
diadili dan mati diteguk racun oleh penguasa. Gadfly of Athena, julukannya, Lalat Pengganggu Athena.
Dan ia memang bak lalat: hinggap, menggelitik, lalu terbang, hampir tanpa
jejak. Maka sampai kini pun, tak pernah orang menemukan bahkan sebaris pun
tulisan-tulisan Socrates. Kisahnya yang ajaib, tentu, masih dapat kita simak
lewat karya-karya Plato yang banyak merekam gurunya yang aneh ini. Nah, kita
bisa membaca Apologia
karya Plato. Apologia adalah rekaman dari sesi pembelaan Socrates di pengadilan
sebelum ia dihukum mati.
Socrates diadili karena tiga
dakwaan: meracuni pikiran kaum muda, tidak mempercayai dewa-dewa, dan membuat paradigma
baru. Kita tahu Yunani, negeri di mana Socrates hidup, adalah negeri para dewa:
Zeus, Hera, Apollo, Poseidon, Tempos dan Bayamos. Memang dalam terjemahan
Apologia ini, si penerjemah Benjamin Jowett menggunakan kata “gods” ketika
merujuk pada apa yang dipercayai warga Athena. Tapi ketika itu berkaitan dengan
ketuhanan pribadi Socrates sendiri, kata “God” (tanpa “s”, dan “G” huruf besar)
lah yang dipakai. Menarik. Socrates kita kenal sebagai filsuf—tapi membaca Apologia
ini, kita akan bertemu dengan sosok yang sangat religius! He has a whole life and conduct that seems to be completely
driven by what he believes in.
Apologia agak panjang, tapi
berikut sedikit cuplikannya:
“…Aku harus mengulang kata-kataku
ini kepada siapapun yang kutemui, baik tua ataupun muda, warga di sini atau
orang asing, tapi terutama kepada para warga karena merekalah saudara-saudara
terdekatku. Bahwa ini adalah perintah
Tuhan, dan aku yakin tak ada kebaikan yang lebih baik pada negeri
ini selain pengabdianku kepada Tuhan. Yang kulakukan hanyalah mengajak kalian
semua, para pemuda dan orang tua, untuk tak hanya memikirkan orang-orangmu atau
harta milikmu, namun yang pertama dan paling utama: perhatikanlah nasib jiwamu!
Kukatakan kepadamu bahwa kebajikan bukanlah dengan menerima uang dan harta,
tapi bahwa dari kebajikan itulah—harta dan segala hal yang baik dari diri
manusia akan muncul, baik di sisi publik maupun individu. Inilah yang aku
ajarkan. Warga Athena, bila kalian membunuhku, kalian tak kan mudah menemukan
pengganggu sepertiku yang Tuhan telah
anugerahkan kepada negeri ini. Negeri ini bak kuda ningrat yang
besar, yang berjalan demikian lamban lantaran ukuran tubuhnya. Ia haruslah
diusik agar hidup kembali. Dan akulah pengganggu itu yang Tuhan telah tempatkan
di negeri ini. Dan di sepanjang waktu, di mana-mana, aku akan selalu mendekatimu,
membangunkanmu, membujuk dan mengusikmu…”
“…Ketika kukatakan bahwa aku
dianugrahkan Tuhan kepadamu, bukti dari misi
dan tugasku adalah sebagai berikut: jika aku seperti kebanyakan
orang, aku pastilah tak akan menolak kepentinganku sendiri. Demi kepentinganmu,
aku datang kepadamu sebagai bapak atau saudara tua, mengajakmu kepada kebajikan
yang mulia. Jika aku memperoleh sesuatu dari situ, atau jika aku dibayar karena
ajakanku ini, tentu hal itu akan menjadi alasan yang masuk akal atas tindakanku
ini. Namun, seperti yang kalian lihat, tak satu pun penuntutku mampu
menunjukkan bahwa aku mengutip bayaran apapun, mereka tak punya bukti. Dan aku
memiliki bukti yang cukup atas kebenaran dari apa yang kukatakan, yakni kemiskinanku…”
Menyikapi argument tersebut, ada baiknya kita hubungkan dengan QS: Yasin: 21.
“…Orang barangkali bertanya-tanya
mengapa aku diam-diam sibuk mengurusi orang lain tapi tak pernah maju ke depan
publik dan memberi nasihat kepada negara. Akan kuceritakan kenapa. Kalian telah
sering mendengar di banyak tempat tentang sosok
atau tanda yang senantiasa datang kepadaku, tanda ilahiah yang
Melitus (jaksa penuntut) telah mencemoohnya dalam tuduhannya. Tanda ini, yang
berwujud seperti suara-suara,
pertama kali menghampiriku ketika aku masih kanak-kanak. Suara-suara ini melarangku berbuat sesuatu, namun tak
pernah menyuruhku untuk melakukan hal-hal. Inilah yang menahanku dari menjadi
seorang politikus.
Socrates memilih mati, walau
rekan-rekannya memaksa untuk menyetujui tawaran keluar dari Athena. Di akhir
pembelaannya, dia berucap: “The hour of
departure has arrived, and we go our ways — I to die, and you to live. Which is
better, only God knows.” Siapakah Socrates sebenarnya, filsuf, nabi
atau…?!
***
Majlis Filsuf Indonesia, 6 Jumadil Ula 1432 H
[1] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius
1999. hlm. 104-101
[2] Kepastian alat
musik apa yang dipelejari susah dilacak, namun demikian musik sama tuanya
dengan usia manusia dalam sejarah.
0 komentar: