Custom content

Selamat datang di blog Sekolah Tinggi Filsafat "AL-FARABI" Silahkan kirim tulisan anda ke alamat stf.alfarabi@gmail.com

SOCRATES

“…kenalilah dirimu. Makanlah untuk hidup,
bukan hidup untuk makan…” (Socrates)

a.    Biografi

Socrates (Yunani: Σωκράτης, Sǒcratēs),  (470 SM - 399 SM) merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filsafat. Pak Crates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates adalah yang mengajar Plato, dan Plato pada gilirannya juga mengajar Aristoteles.
Ia diperkirakan lahir dari ayah yang berprofesi sebagai seorang pemahat patung dari batu (stone mason) bernama Sophroniskos. Ada juga yang beranggapan bahwa ia bekerja di bank alias kuli bang(unan). Ibunya bernama Phainarete berprofesi sebagai bidan, dari sinilah Socrates menamakan metodenya berfilsafat dengan metode kebidanan nantinya. Socrates beristeri seorang perempuan bernama Xantippe dan dikaruniai tiga orang anak. Secara historis, filsafat Socrates mengandung pertanyaan karena Socrates sediri tidak pernah diketahui menuliskan buah pikirannya. Apa yang dikenal sebagai pemikiran Socrates pada dasarnya adalah berasal dari catatan oleh Plato, Xenophone (430-357) SM, dan siswa-siswa lainnya. Yang paling terkenal di antaranya adalah Socrates dalam dialog Plato di mana Plato selalu menggunakan nama gurunya itu sebagai tokoh utama karyanya sehingga sangat sulit memisahkan mana gagasan Socrates yang sesungguhnya dan mana gagasan Plato yang disampaikan melalui mulut Sorates. Nama Plato sendiri hanya muncul tiga kali dalam karya-karyanya sendiri yaitu dua kali dalam Apologi dan sekali dalam Phaedrus.
Socrates dikenal sebagai seorang yang tidak tampan, berbadan gempal, berpakaian sederhana, tanpa alas kaki dan berkeliling mendatangi masyarakat Athena berdiskusi soal filsafat dan banyak hal tentang Athena. Dia melakukan ini pada mulanya didasari satu motif religius untuk membenarkan suara gaib yang didengar seorang kawannya dari Oracle Delphi yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih bijak dari Socrates. Merasa diri tidak bijak dia berkeliling membuktikan kekeliruan suara tersebut, dia datangi satu demi satu orang-orang yang dianggap bijak oleh masyarakat pada saat itu dan dia ajak diskusi tentang berbagai masalah kebijaksanaan. Metode berfilsafatnya inilah yang dia sebut sebagai metode kebidanan (maieutik tékhne). Dia menganalogikan dirinya sebagai seorang bidan yang membantu kelahiran seorang bayi dengan caranya berfilsafat yang membantu lahirnya pengetahuan melalui diskusi panjang-mendalam. Dia selalu mengejar definisi absolut tentang satu masalah kepada orang-orang yang dianggap bijak meski kerap kali mereka gagal melahirkan definisi tersebut. Pada akhirnya Socrates membenarkan suara gaib tersebut berdasar satu pengertian bahwa dirinya adalah yang paling bijak karena dirinya tahu bahwa dia tidak bijaksana sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana.
Cara berfilsatnya inilah yang memunculkan rasa sakit hati terhadap Sokrates karena setelah penyelidikan itu maka akan tampak bahwa mereka yang dianggap bijak oleh masyarakat ternyata tidak mengetahui apa yang sesungguhnya mereka duga mereka ketahui. Rasa sakit hati inilah yang nantinya akan berujung pada kematian Sokrates melalui peradilan dengan tuduhan resmi merusak generasi muda, sebuah tuduhan yang sebenarnya dengan gampang dipatahkan melalui pembelaannya sebagaimana tertulis dalam Apologi karya Plato. Socrates pada akhirnya meninggsl pada usia 70 tahun dengan cara menenggak racun sebagaimana keputusan yang diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya.
Socrates sebenarnya dapat lari dari penjara, sebagaimana ditulis dalam Krito, dengan bantuan para sahabatnya namun dia menolak atas dasar kepatuhannya pada satu "kontrak" yang telah dia jalani dengan hukum di kota Athena. Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan dengan indah dalam Phaedo karya Plato.

b.    Karya dan Pemikirannya
Sokrates, disebut ustadz karena ia adalah guru besar yang banyak menanamkan pengaruh signifikan bagi filsuf sesudahnya. Sokrates, sekalipun lahir dari keluarga terpandang—ibunya seorang dukun beranak dan bapaknya (ada yang mengatakan pematung)—tapi ia lebih senang hidup menggelandang menyusuri pasar dan keramaian untuk berdialegestai (berdialog) dengan semua kalangan, termasuk kaum Sofis—yang konon juga dikecam sebagai gerombolan orang yang sok ilmiah. Sokrates selalu bersikap kritis dan mempertanyakan banyak hal dalam dialog-dialognya, di antaranya adalah: apa kebaikan itu? apa hidup yang baik itu? bagaimana seorang bisa mendapatkan eudaimonia (kebahagiaan)? Manusia harus punya arété (kebajikan, moral). Mempunyai arete, bagi Sokrates berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manuria[1]. Inilah inti ajaran filsafat Sokrates, yakni filsafat manusia. Doktrin Sokrates yang paling terkenal yakni: keutamaan adalah pengetahuan.
Ustadz Sokrates tidak berpolitik, karena saat itu polis sangat erat dengan keyakinan tentang dewa-dewa dan mitologi Yunani kuno. Sokrates menganggap mitos-mitos yang berkembang di Yunani tidaklah benar, baginya mitologi hanyalah ciptaan penyair-penyair yang penuh kebohongan dan mengharap imbalan dari penguasa. Dari sanalah corak filsafat Sokrates sangat kental. Memesuki usia tua, Socrates, belajar musik[2]. Lalu ada orang berkata padanya, ”apakah engkau tidak malu belajar di usia tua?”. Dia menjawab,” Aku merasa lebih malu menjadi orang yang bodoh di usia tua”.
Peninggalan pemikiran Socrates yang paling penting ada pada cara dia berfilsafat dengan mengejar satu definisi absolut atas satu permasalahan melalui satu dialektika. Pengejaran pengetahuan hakiki melalui penalaran dialektis menjadi pembuka jalan bagi para filsuf selanjutnya. Perubahan fokus filsafat dari memikirkan alam menjadi manusia juga dikatakan sebagai jasa dari Sokrates. Manusia menjadi objek filsafat yang penting setelah sebelumnya dilupakan oleh para pemikir hakikat alam semesta. Pemikiran tentang manusia ini menjadi landasan bagi perkembangan filsafat etika dan epistemologis di kemudian hari.
Bagi Socrates, filsafat bukanlah isi, bukan hasil, dan bukan juga ajaran yang berdasarkan dogma yang tidak bisa dibantah, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan, melainkan membantu mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang. Oleh karena itu, metodenya disebut maieutik; menguraikan. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan hobinya, yakni selalu bertanya. Dia bertanya sana-sini, kemudian dipahaminya dengan baik apa yang telah dia pertanyakan. Maka jalan yang ditempuhnya dengan metode induksi dan definisi. Induksi menjadi dasar definisi. Induksi yang dimaksud Socrates adalah dengan membandingkan secara kritis. Tentu yang dibandingkan adalah hasil dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dia kumpulkan.
Menurut Socrates, orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar, maka jahatnya dari orang yang tidak mengetahui karena tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar. Namun jika kita melihat pada era sekarang, ternyata tidak hanya yang tidak tahu saja yang jahat, yang tahu pun bisa lebih jahat dari yang tidak tahu karena mereka bisa memanipulasi dan mencari-cari celah dari apa yang telah ia ketahui. Justru kejahatan dari orang-orang yang berpengetahuan inilah yang lebih berbahaya. Rupanya, hal ini yang belum sempat dipikirkan ustadz Socrates.
Ia juga berbicara tentang keadilan, menurutnya keadilan adalah melaksanakan apa yang menjadi fungsi sebaik-baiknya tanpa mencampuri fungsi/pekerjaan orang lain (the practice of minding one’s own business). Keadilan akan terwujud jika melakukannya secara baik, apapun sesuai dengan kempampuan dengan cara teamwork dan serasi di bawah pengarahan yang paling bijaksana (filsuf). Fungsi tiap pihak dalam masyarakat adalah dapat melakukan sendiri, sesuatu yang dapat dilaksanakan secara lebih baik dari pada mengerjakan hal lain. Dan tiap hal yang dikerjakan mengandung kebajikan (virtue).
Berdasar asumsi Socrates tentang adanya kesejajaran antara cara hidup atau tipe manusia dan tipe masyarakat, Socrates membedakan tipe manusia (jiwa manusia dan cara hidup) menjadi tiga, yakni: 1. Akal budi (reason), 2. Semangat (spirit), dan 3. Nafsu (desire). Ketiga tipe itu akan mencapai puncaknya di bawah pengarahan akal budi dan kemudian keadilan dalam masyarakat akan terwujud apabila masyarakat melakukan secara baik apa saja yang sesuai kemampuan dengan arahan dari yang paling bijaksana (akal budi/filsuf). Pada episentrum ini, Socrates terlihat sedikit sok. Jangan lupa pak Crates, filsuf juga manusia, bukan orang suci. Jika di atas adalah tipe manusia, maka dari 3 tipe tersebut Socrates membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni: 1. Pedagang yang bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya (nafsu), 2. Prajurit yang bekerja memelihara tata masyarakat (semangat), 3. filsuf yang berfungsi sebagai penguasa (akal budi).
Berdasar asumsi adanya kesejajaran antara cara hidup manusia dan tata masyarakat itu pula, Socrates membedakan rezim menjadi lima tipe. Pertama, Aristokrasi. Dikatakan rezim terbaik karena diperintah oleh raja yang bijaksana (filsuf). Rezim ini dijiwai dengan akal budi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa hanya yang bijaksana (filsuf) yang mampu mengarahkan masyarakat dengan baik dan optimal. Kedua, Timokrasi. Merupakan rezim terbaik kedua, karena dipimpin oleh mereka yang menyukai kehormatan dan kebanggaan, yakni prajurit (militer). Rezim ini dijiwai dengan semangat (spirit). Ketiga, Oligarki. Dipimpin oleh kelompok kecil yang memiliki kekuatan melimpah seperti pengusaha/pedagang/saudagar. Rezim ini dijiwai dengan keinginan yang perlu (necessary desire). Keempat, Demokrasi. Dikategorikan sebagai rezim yang dipimpin oleh banyak orang yang hanya mengandalkan kebebasan atau keinginan yang tak perlu (unnecessary desire). Kelima, Tirani. Sebagai rezim terburuk yang pernah ada, karena dipimpin oleh seorang tiran yang memerintah sekehandak nafsunya (unlawful desire). Seorang tidak tidak memiliki kontrol atas dirinya, tidak ada keadilan dalam rezim ini. Di sinilah, ustadz Socrates mendemonstrasikan kesaktiannya. 

c.   Pengaruh Filsafatnya
Sumbangsih Socrates yang terpenting bagi pemikiran Barat adalah metode penyelidikannya, yang dikenal sebagai metode elenchos, yang banyak diterapkan untuk menguji konsep moral yang pokok. Karena itu, Socrates dikenal sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral, dan juga filsafat secara umum. Ingatan kita dulu adalah tentang seorang tua gempal dan sedikit kumuh di Yunani sana yang hidupnya hanya beredar di pasar-pasar bak gelandangan, menggetok pikiran dan mendebat anak-anak muda tentang banyak hal yang lalu diadili dan mati diteguk racun oleh penguasa. Gadfly of Athena, julukannya, Lalat Pengganggu Athena. Dan ia memang bak lalat: hinggap, menggelitik, lalu terbang, hampir tanpa jejak. Maka sampai kini pun, tak pernah orang menemukan bahkan sebaris pun tulisan-tulisan Socrates. Kisahnya yang ajaib, tentu, masih dapat kita simak lewat karya-karya Plato yang banyak merekam gurunya yang aneh ini. Nah, kita bisa membaca Apologia karya Plato. Apologia adalah rekaman dari sesi pembelaan Socrates di pengadilan sebelum ia dihukum mati.
Socrates diadili karena tiga dakwaan: meracuni pikiran kaum muda, tidak mempercayai dewa-dewa, dan membuat paradigma baru. Kita tahu Yunani, negeri di mana Socrates hidup, adalah negeri para dewa: Zeus, Hera, Apollo, Poseidon, Tempos dan Bayamos. Memang dalam terjemahan Apologia ini, si penerjemah Benjamin Jowett menggunakan kata “gods” ketika merujuk pada apa yang dipercayai warga Athena. Tapi ketika itu berkaitan dengan ketuhanan pribadi Socrates sendiri, kata “God” (tanpa “s”, dan “G” huruf besar) lah yang dipakai. Menarik. Socrates kita kenal sebagai filsuf—tapi membaca Apologia ini, kita akan bertemu dengan sosok yang sangat religius! He has a whole life and conduct that seems to be completely driven by what he believes in.
Apologia agak panjang, tapi berikut sedikit cuplikannya:
“…Aku harus mengulang kata-kataku ini kepada siapapun yang kutemui, baik tua ataupun muda, warga di sini atau orang asing, tapi terutama kepada para warga karena merekalah saudara-saudara terdekatku. Bahwa ini adalah perintah Tuhan, dan aku yakin tak ada kebaikan yang lebih baik pada negeri ini selain pengabdianku kepada Tuhan. Yang kulakukan hanyalah mengajak kalian semua, para pemuda dan orang tua, untuk tak hanya memikirkan orang-orangmu atau harta milikmu, namun yang pertama dan paling utama: perhatikanlah nasib jiwamu! Kukatakan kepadamu bahwa kebajikan bukanlah dengan menerima uang dan harta, tapi bahwa dari kebajikan itulah—harta dan segala hal yang baik dari diri manusia akan muncul, baik di sisi publik maupun individu. Inilah yang aku ajarkan. Warga Athena, bila kalian membunuhku, kalian tak kan mudah menemukan pengganggu sepertiku yang Tuhan telah anugerahkan kepada negeri ini. Negeri ini bak kuda ningrat yang besar, yang berjalan demikian lamban lantaran ukuran tubuhnya. Ia haruslah diusik agar hidup kembali. Dan akulah pengganggu itu yang Tuhan telah tempatkan di negeri ini. Dan di sepanjang waktu, di mana-mana, aku akan selalu mendekatimu, membangunkanmu, membujuk dan mengusikmu…”
“…Ketika kukatakan bahwa aku dianugrahkan Tuhan kepadamu, bukti dari misi dan tugasku adalah sebagai berikut: jika aku seperti kebanyakan orang, aku pastilah tak akan menolak kepentinganku sendiri. Demi kepentinganmu, aku datang kepadamu sebagai bapak atau saudara tua, mengajakmu kepada kebajikan yang mulia. Jika aku memperoleh sesuatu dari situ, atau jika aku dibayar karena ajakanku ini, tentu hal itu akan menjadi alasan yang masuk akal atas tindakanku ini. Namun, seperti yang kalian lihat, tak satu pun penuntutku mampu menunjukkan bahwa aku mengutip bayaran apapun, mereka tak punya bukti. Dan aku memiliki bukti yang cukup atas kebenaran dari apa yang kukatakan, yakni kemiskinanku…” Menyikapi argument tersebut, ada baiknya kita hubungkan dengan QS: Yasin: 21.
“…Orang barangkali bertanya-tanya mengapa aku diam-diam sibuk mengurusi orang lain tapi tak pernah maju ke depan publik dan memberi nasihat kepada negara. Akan kuceritakan kenapa. Kalian telah sering mendengar di banyak tempat tentang sosok atau tanda yang senantiasa datang kepadaku, tanda ilahiah yang Melitus (jaksa penuntut) telah mencemoohnya dalam tuduhannya. Tanda ini, yang berwujud seperti suara-suara, pertama kali menghampiriku ketika aku masih kanak-kanak. Suara-suara ini melarangku berbuat sesuatu, namun tak pernah menyuruhku untuk melakukan hal-hal. Inilah yang menahanku dari menjadi seorang politikus.
Socrates memilih mati, walau rekan-rekannya memaksa untuk menyetujui tawaran keluar dari Athena. Di akhir pembelaannya, dia berucap: “The hour of departure has arrived, and we go our ways — I to die, and you to live. Which is better, only God knows.” Siapakah Socrates sebenarnya, filsuf, nabi atau…?!

***

Majlis Filsuf Indonesia, 6 Jumadil Ula 1432 H


[1]   K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius 1999. hlm. 104-101
[2]   Kepastian alat musik apa yang dipelejari susah dilacak, namun demikian musik sama tuanya dengan usia manusia dalam sejarah.


0 komentar: