Custom content

Selamat datang di blog Sekolah Tinggi Filsafat "AL-FARABI" Silahkan kirim tulisan anda ke alamat stf.alfarabi@gmail.com

FILSAFAT ISLAM: AWAL PERADABAN DUNIA

FILSAFAT ISLAM: AWAL PERADABAN DUNIA[1]
Oleh: al-Mu’allim al-Tsalits[2]


a. Tamasya ke Bayt al-Hikmah: Sebuah Warisan Intelektual

Sejak kapan Anda tahu makan dengan sendok? Dari mana Anda tahu mandi, sabun, sandal jepit, terompah, kompas, kacamata, fenomena hujan, pelangi, angkasa dan alam raya? Kapan Anda mulai tahu sirup marjan? (bukan mbah Surip dan mbah Maridjan!). Dari siapa Anda kenal musik, arah mata angin, matematika aljabar, perguruan tinggi? Dan masih ratusan atau bahkan ribuan pertanyaan lagi di kepala kita, pendek kata: dari mana dunia ini tumbuh dan berkembang bersama ilmu pengetahuan dan peradaban? Manusia yang hidup di zaman supra-modern ini akan dengan spontan menjawab, ”semua itu dari Barat, Eropa, Amerika”. Padahal Eropa mulai sedikit keluar dari zaman Jahiliyah dan buta huruf setelah Abdurrahman ad-Dakhil pada tahun 878 M membangun kota Cordoba, kota ini yang mestinya menjadi ibukota Spanyol, bukan Madrid. Dengan lain kata, sejak abad VI SM – III M hanya beberapa gelintir orang Yunani raya yang tidak buta huruf, selebihnya bangsa Eropa harus menunggu 14 abad untuk tahu bagimana caranya mandi, mencuci dan memasak. Nah pada rentang abad ke VI setelah Nabi Muhammad membangun Madinah (Yatsrib) sampai pada abad ke VII Iskandariah maju pesat di hampir semua bidang dan puncaknya al-Makmun, murid Abu Hudhail al-‘Allaf, mendirikan Bayt al-Hikmah tahun 217 H/813 M, sebuah pusat kajian, penelitian dan penerjemahan yang dipimpin oleh Yuhana bin Masawih. Beberapa ratus tahun kemudian Bayt al-Hikmah dihancurkan oleh tentara Salib karena Barat malu mengakui bahwa mereka belajar dari Islam.

Bisakah ada matematika modern, era digital, bilangan binner, sin-cos-tangen jika seorang kiai kampung bernama Al-Khawarizmi[3] (w. 266 H/850 M) tidak menemukan angka nol, logaritma dan geometri? Dari mana Anda tahu sosiologi dan sejarah kalau bukan dari kiai kampung bernama Ibnu Khaldun (w. 808 H/ 1406 M) dan al-Syahristani? Bahkan orang terkenal bernama Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) menjiplak pemikiran Ibnu Khaldun. Dari mana dunia Barat tahu metode pengobatan modern kalau tidak khataman kitabnya kiai Ibnu Sina (980-1037), yakni Qanun fi al-Tihb (Ensiklopedi Kedokteran). Belum lagi Inbu Bajjah (1082-1138 M) yang menjadi guru besar di Eropa, khususnya Spanyol, di bidang sains, filsafat, sastra dan astronomi (ilmu falak), bahkan ia tahu berapa helai daun yang akan gugur di seluruh Zaragoza. Ada lagi kiai desa bernama Ibnu Miskawih (l.330H/941M) yang sebagian pemikirannya, khususnya ”teori fungsi” dijiplak oleh Aguste Comte (1798 - 1857). Dan, yang lebih penting Kant (1724-1804) dan gurunya, Thomas Aquinas banyak dipengaruhi oleh profesor kampung bernama Al-Ghazali (w.505 H/1111 M). Belum lagi Ahmad bin Majid, Jabir al-Hayyan, Ibnu Thufail, Ibnu Bathutah, al-Razi, Ibnu Hawqal, al-Farabi dan masih banyak lagi kiai-kiai kampung yang juga ilmuwan. Nah, yang menjadi pertanyaan: kenapa kita justru lebih bangga pada Barat dan alergi (gatal-gatal) pada Islam, padahal begitu banyak warisan intelektual mereka?

b. Benang Merah antara Filsafat Yunani dan Islam

Secara harfiah, istilah filsafat itu berasal dari kata philosophia. Menurut Ibn Nadim (w. 380 H/985 M), mengutip keterangan Plutarch (± 100 M), istilah ini mula-mula digunakan oleh Phytagoras (572-497 SM), yang kemudian diarabkan menjadi falsafah oleh Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M), penerjemah buku Timeaus, karya Plato. Sebab, kata philosophy (Arab: falsafah) itu ada di dalam buku tersebut. Hanya saja, bukti yang paling otentik penggunaan istilah tersebut dapat ditemukan dalam Kitab al-Falsafah al-Ula fi ma duna al-Thabi‘iyyah wa al-Tawhid, karya al-Kindi[4].. Darinya kata ”filsafat Islam” mulai dikenal dan meluas. Filsafat Islam memiliki tali-temali epistemologis-akademis-historis dengan disiplin ilmu yang lain, khususnya ilmu Kalam (teologi), Tasawuf dan Ushul Fiqh yang sama-sama menggunakan logika sebagai ”cangkul”nya. Namun demikian, filsafat Islam memiliki hubungan yang sangat ”mesra” dengan filsafat Yunani, khususnya ustadz Plato (427-347 SM) dan muridnya, ustadz Aristoteles (384-322 SM). Dengan kata lain para faylasuf Islam banyak ”mencangkul” di Yunani melalui lembaga kajian Bayt al-Hikmah.

Pemikiran Yunani—yang banyak dipengaruhi budaya Mesir kuno dan Babilonia (Irak)—secara historis dibagi pada dua periode: Pertama, Periode Helenis yang dimulai sejak abad VI – IV SM. Filsafat pada masa ini bertolak dari alam, yakni: Milite yang cenderung materialis, Leukippos dan Demokritos yang cenderung atomis, Elea yang metafisis, Pythagoras yang matematis, serta ustadz Socrates dan murid-muridnya yang melingkar pada ranah epistemologi, etika, aksiologi dan kemanusiaan. Kedua, periode Helenistis-Romawi, yakni zaman setelah Aristoteles. Pada masa pemerintahan Alexander the Great (356-326 SM) inilah filsafat Yunani meluas ke Romawi Barat (Roma) dan Romawi Timur (Byzantium) yang berpusat di kota Iskandariah dan diprakarsai oleh para faylasuf Mesir, Syam (Syria) dan sekitar Laut Tengah. Periode abad ke IV SM –VII M mulai bermunculan sekolah filsafat di Edessa, Atioch, Nisibis dan akhirnya Bayt al-Hikmah. Bahkan sampai abad ke VII Iskandariah adalah pusat studi filsafat, teologi dan sains yang sangat penting.[5]

Abad ke VII M ekspansi dakwah Islam meluas dan menggeliat sedemikian dahsyat ke Afrika Utara dan Asia Tengah. Dari sinilah persinggungan filsafat, sains dan budaya dari berbagai penjuru berasimilasi dengan cepat di jazirah Arab, dan lahirlah filsafat Islam yang mendapati puncak kejayaannya di zaman dinasti Abbasyiyah. Nah, Anda tentu penasaran dengan orang-orang sakti di zaman keemasan Islam itu, mari kita berjabat tangan dan ngopi bersama mereka.

c. Sowan pada Kiai-kiai Kampung

1. Al-Kindi (Kufah 801 – Baghdad 873 M)

Kepada kiai Kindi inilah pakde Kant, Jacques Rousseau, Fichte dan paman Hegel harus cium tangan dan berterima kasih. Sebab Al-Kindi adalah bapak kritisisme dan sinkretisme (talfiq) dalam prisma pemikiran falsafi. Bahkan dari dialah Barat paham tentang humaniora, imajinasi (takhayyul), perincian materi (maddah) dan silogisme (al-qiyas) Aristoteles, Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Shabbah bin Imran bin Muhammad bin Asy’asy bin Qais al-Kindi. Ia lahir di Kufah pada 185 H (801 M). Ia hidup pada masa kejayaan Daulah Abbasyiyah, yakni pada masa khalifah al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tashim (833-842 M) dan Al-Mutawakkil (847-861 M). Ia adalah penerjemah paling masyhur di Bayt al-Hikmah. Karya kiai Kindi tidak kurang dari 270 buah dalam berbagai disiplin ilmu, yang paling terkenal adalah: Kitab al-Falsafah al-Ula (pengantar filsafat), Falsafah al-Dakhilah wa al-Masa’il al-Manthiqiyah (logika dan metafisika), Kitab fi Qashd Aristhathilis fi al-Maqulat, Jawami’ al-Fikriyah (Idealisme Komprehensif), Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah, dan lain-lain.

Bagi Al-Kindi, filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia[6]. Dengan demikian, filsafat bukan hanya milik para filsuf, tapi bagi siapa saja, karena filsafat malampaui batas-batas agama, budaya dan geografis. Filsafat al-Kindi berkisar pada ranah sinkretisame, metafisika (ketuhanan), jiwa dan moral. Ia berusaha menyatukan (talfiq) agama dan filsafat, sebab filsafat adalah pengetahuan yang benar (bahts ’an al-haq), oleh sebab itu al-Qur’an tidak mungkin bertentangan dengan filsafat.

Dalam pandangan Al-Kindi, teologi adalah bagian dari filsafat, sementara orang Islam wajib mempelajari teologi, maka filsafatpun wajib dipelajari. Sehingga bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kabaikan menjadi tujuan dari keduanya. Dengan demikian, pengingkaran pada filsafat berarti menginkari kebenaran (al-haq), dan vonisnya adalah kafir[7]. Pengingkaran terhadap hasil kerja filsafat yang barangkali bertentangan dengan satu-dua ayat Al-Qur’an menurut al-Kindi tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, sebab hal itu dapat dilakukan takwil, tafsir dan studi hermeneutik (historisitas-normativitas) untuk mencari relevansi dengan situasi dan segala kemungkinan—ja’a al-haq wa zahaq al-bathil.

2. Al-Razi (Ray, Iran 865 – Ray 925 M)

Sekarang paman Descartes, Baruch Spinoza, Leibniz dan Blaise Pascall yang harus cium tangan pada kiai Al-Razi. Ia adalah Bapak Rasionalisme (bukan Descartes), dan dokter pertama yang memperkenalkan teori bedah, sirkulasi darah serta orang pertama yang dapat mengobati penyakit khisbah (cacar). Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakaria bin Yahya al-Razi. Di Barat ia dikenal dengan nama Razhes (patungnya ada di depan fakultas kedokteran Universitas Sorbonne, Prancis). Ia lahir di Ray dekat Teheran, Iran dan hidup pada masa Dinasti Saman (204-395 H), ia hafal Al-Qur’an sejak kecil dan mulai serius belajar filsafat pada Al-Balkhi pada usia 17 tahun, belajar kedokteran pada Ali al-Thbari. Kiai kampung yang satu ini menguasai filsafat, teologi, kedokteran, astronomi, sastra dan kimia.

Pak Kiai ini juga menjadi direktur Rumah Sakit (RS) selama enam tahun, di antaranya RS Ray dan RS Baghdad. Selama itu ia menulis buku kedokteran berjudul al-Thibb al-Manshuri sebagai hadiah untuk khalifah Al-Manshur. Dalam menentukan lokasi pendirian RS ia meletakkan potongan-potongan daging di berbagai tempat, kemudian memilih tempat yang paling minim pembusukan dagingnya. Ia memberikan pengobatan gratis pada orang miskin. Ia adalah filsuf dan dokter terbesar dan orisinal dari seluruh dokter, juga penulis paling produktif[8]. Proses kreatif Al-Razi dituangkan dalam lebih dari 200 karya, yang terkenal adalah: Sirah al-Falsafiyah (sejarah filsafat) Kitab al-Asrar (kimia), Al-Hawi (ensiklopedi kedokteran terpopuler di Eropa sampai abad XVI, tahun 1279 diterjemahkan ke bahasa Latin dengan judul Continens), Thibb al-Mansuri 10 jilid (Latin: el-Mansori Liber el-Mansoris) dan lain-lain.

Inti filsafat Al-Razi bertumpu pada rasionalitas murni, menurutnya, manusia tak dapat menentukan, mengendalikan dan memerintah akalnya, sebab akal adalah penentu, pengendali dan pemerintah manusia. Eropa harus menunggu 6 abad untuk menerapkan ajaran Al-Razi ini. Rasionalitas bagi Al-Razi adalah pemungkin utama untuk mendekati Tuhan, alam, manusia, moral dan bahkan jiwa. Sedangkan lapangan metafisika Al-Razi berkisar pada pandangan tentang Lima Kekal, yakni: Tuhan (al-Bari Ta’ala), Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulli), Materi Pertama (al-Hayuli al-Ula), Ruang Absolut (al-Makan al-Muthlaq) dan Waktu Absolut (al-Zaman al-Muthlaq). Kiai Al-Razi juga berpendapat bahwa alam diciptakan bukan dari ketiadaan (creatio exnihilo/al-ijad min al-’adam) tetapi dari sesuatu atau unsur-unsur yang telah ada (al-ijad min al-syay’). Selanjutnya—dengan bekal rasionalitas—ia banyak menjangkarkan pandangan kritisnya terhadap moral, kenabian dan sains. Inilah yang menginspirasi para faylafuf (Islam) dan filsuf (Barat) yang datang kemudian.

3. Al-Farabi (Atrar, Turkistan 870 – Damaskus 950 M)

Nah, sekarang bukan cuma penguikut Plato dan Aristoteles di Barat yang harus cium tangan pada Al-Farabi, faylasuf Muslim sekaliber Al-Ghazali, Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina pun harus membayar royalti ­al-fatihah pada filsuf terbesar setelah Arisatoteles ini. Nama lengkap kiai ini adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh al-Farabi. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Avennasar. Kiai Al-Farabi mengajar filsafat selama 20 tahun di Baghdad sejak usia 19 tahun. Murid-muridnya tidak hanya orang Islam, tapi juga orang-orang Nasrani, Majusi (Zoroaster) dan Yahudi.

Pada tahun 330 H/945 M, ia pindah ke Damsyik/Damaskus dan mulai dekat dengan Saifuddaulah al-Hamdani, raja dinasti Hamdan di Aleppo. Masa 10 tahun di tempat ini ia curahkan untuk melahirkan banyak karya manumentalnya, seperti Al-Jam’u bayn Ra’yain al-Hakimain Aflathun wa Aristhu. Kitab inilah yang banyak membantu dan membuka mata dunia akan pemikiran Plato dan Aristoteles, tak terkecuali Eropa. Bahkan Ibnu Sina lebih 40 kali membaca seluruh karya Aristoteles sampai hafal, tapi tak kunjung mengerti. Ibnu Sina baru mengerti pemikiran Aristoteles sestelah ia khataman kitab kiai Al-Farabi berjudul Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da al-Thabi’ah. Karena pengetahuan yang mendalam tentang filsafat Yuhani, khususnya pemikiran Aristoteles, maka ia dijuluki al-Mu’allim al-Tsani (guru kedua)[9], sementara al-Mu’allim al-Awwal (guru pertama) adalah Aristoteles sendiri. Selain filsafat, ia juga ahli tatanegara, sastrawan dan musisi handal, ini tertuang dalam karyanya al-Musiq al-Kubra ( The Big of Music), dialah orang pertama yang menciptakan alat musik organ (qanun) yang di zaman modern ini menjadi keyboard.

Filsafat bagi al-Farabi adalah pengetahuan tentang eksistensi[10]. Sebagai pengagum al-Kindi, Al-Farabi juga menjangkarkan filsafatnya pada sinkretisme (talfiqiyah). Namun, usaha al-Farabi ini jauh melampaui al-Kindi dan bahkan seluruh filsuf Neo-Platonis. Al-Farabi tidak hanya mempertemukan seluruh aliran filsafat, tapi juga menekankan bahwa aliran-aliran filsafat itu hakikatnya satu, meski kemunculannya di setiap zaman berbeda corak dan ragamnya. Berkat jasanya, pemikiran Plato dan Ariastoles bersinergi. Al-Farabi membagi jiwa manusia dalam tiga daya, yakni: gerak (al-muharrakah, motion), mengetahui (al-mudrikah, cognition) dan daya pikir (al-nathiqah, intellection). Daya berpikir ini dibagi dua, yakni praktis (’amali) dan teoritis (nazhari). Kemudian, daya teoritis ini dibagi menjadi tiga lagi, yakni: Akal Potensial (al-’Aql Hayulani), Akal Aktual (’Aqal bi al-Fi’l) dan Akal yang dapat menagkap makna (’Aql al-Mustafad). Akal terakhir ini menerima pancaran langsung dari Tuhan.

4. Ibnu Sina (Transoxiana 980 – Isfahan 1049 M)

Martin Heidegger (1883-1976), Jean Paul Satre (1905-1980), Karl Jaspers (1883-1969), Gabriel Marcel (1889-1973), Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) dan sang pembunuh Tuhan Friedrich Nietzsche (1844-1900) boleh saja pura-pura tidak kenal dengan Abu Ali al-Husein bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina alias Ibnu Sina (di Barat lebih dikenal dengan nama Avicenna), tapi dialah perumus filsafat eksistensialisme (wujudiyah). Bahkan, filsuf manapun yang membahas eksistensialisme adalah catatan kaki dari kitab Ibnu Sina berjudul Manthiq al-Masyriqiyyin (Logika Timur). Dialah Bapak Eksistensialisme dari Timur. Ibnu Sina sudah hafal Al-Qur’an dan banyak lagi buku-buku sastra Arab ketika masih berusia 10 tahun, umur 16 tahun ia hafal seluruh karya Aristoteles dan sebagian karya Plato, Socrates dan beberapa filsuf Yunani lainnya. Kecerdasan ini sulit dicari tandingannya di Eropa.

Pada usia 18 tahun ia sudah berprofesi sebagai faylasuf, penyair, pengarang, guru dan dokter termasyhur sehingga diundang untuk mengobati sultan Samanid di Bukhara, Nuh bin Manshur. Karena berhasil menyembuhkan, ia pun diizinkan memanfaatkan perpustakaan raksasa milik sang Sultan yang berisi buku-buku kuno. Karya-karya Ibnu Sina lebih dari 270 buah, yang terpenting adalah: Al-Qanun fi al-Thibb (ensiklopedi kesehatan yang menjadi pedoman di seluruh rumah sakit dan universitas di Eropa sampai abad 17), Al-Isyarah wa al-Tanbihah, Al-Hikmah al-Arudhiyah dan Al-Syifa (penyembuhan, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi Sanatio), ensiklopedi sebanyak 18 jilid mengenai fisika, matematika dan metafisika. Kitab ini ditulis selama sang Kiai menjadi menteri di Isfahan.

Filsafat Ibnu Sina berangkat dari metafisika, menurutnya eksistensi (wujud) memiliki kedudukan tertinggi dari pada sifat lain, bahkan lebih penting dari pada esensi. Bagi Ibnu Sina, esensi terdapat dalam akal, sedangkan eksistensi terdapat di luar akal, namun demikian tanpa eksistensi, esensi tidak penting artinya. Ada tiga bentuk eksistensi, yakni: Mamnu’ al-Wujud (tidak mungkin ada/impossible being), Mumkin al-Wujud (mungkin ada atau tidak/contingent being) dan wajib al-wujud (wajib ada, necessary being), yakni Tuhan sendiri. Wajib al-Wujud inilah yang mewujudkan Mumkin al-Wujud dan meniadakan Mamnu’ al-Wujud. Hubungan ketiganya bersifat emanasionistis.

5. Al-Ghazali (Thus, Khurasan 1056 – Thus 1111 M)

Nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, ayahnya pemintal benang (al-ghazzal), lahir pada tahun 450 H/1056 M di Ghazaleh, sebuah kampung kecil Thus, termasuk wilayah Khurasan, Iran. Setelah hafal Al-Qur’an pada usia 9 tahun dan sepeninggal orang tuanya, Al-Ghazali sekolah di Madrasah al-Nizhamiyyah, Naisabur (Nysapur) di bawah pimpinan Abdulmalik Al-Juwaini (Imam Al-Haramain), di tempat inilah ia belajar teologi dan filsafat, bahkan rektornya merasa iri karena Al-Ghazali menjadi pembahas paling pandai di bidang filsafat, teologi, logika, hukum dan tasawuf di zamannya, bahkan di usia 19 tahun bukunya berjudul Maqashid al-Falasifah (Tujuan-tujuan Filsafat) sudah terbit, ia tinggal di sana sampai Al-Juwaini meninggal (1085 M).

Dahaga jiwanya akan ilmu membuatnya melanglang buana ke Baghdad, enam tahun kemedian (pada usia 21 tahun) ia diangkat menjadi profesor di Universitas Al-Nizhamiyyah, Baghdad[11]. Karya Al-Ghazali lebih dari 300 buah, yang utama adalah: Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf), Mi’yar al-‘Ilm (Kriteria Ilmu), Ma’rifah al-‘Aqilah (Rasionalitas Ilmu), Al-Iqtishad fi al-‘Aqidah (Moderasi Akidah), Misykat al-Anwar, Risalah Ladunniyah, Minhaj al-‘Abidin dan magnumopusnya Ihya’ Ulum al-Din. Menurut Fakhruddin Al-Razi, orang paling jenius setelah kanjeng Nabi Saw dan Imam Syafi’i adalah Al-Ghazali. Al-Ghazali menancapkan pemikiran falsafinya dalam epistemologi, metafisika, moral dan jiwa. Dalam kitabnya, Al-Munqidz min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan), ia menyatakan bahwa epistemologi adalah pencarian akan kebenaran sejati dan kemudian meyakininya, seperti kebenaran 10 lebih banyak dari 3, ”kalau ada yang mengatakan bahwa 3 lebih banyak dari 10 dengan argumentasi dan apologi bahwa tongkat dapat ia ubah menjadi ular, dan itu betul-betul memang ia lakukan, maka saya akan kagum dengan kemampuannya, namun demikian, keyakinan saya bahwa 10 lebih banyak dari 3 tidak akan berubah”[12]. Menurut Al-Ghazali lapangan filsafat ada enam, yakni: logika, matematika, fisika, metafisika, politik dan etika. Hubungan keenam arena filsafat itu ada yang bertentangan dengan agama dan ada yang tidak. Lebih lanjut Al-Ghazali membagi filsuf pada 3 golongan: dahriyyun (materialis), thabi’iyyun (naturalis) dan ilahiyyun (theis).

Semula ia beranggapan bahwa pengetahuan berasal dari pancaindera, ternyata indera berdusta dan bisa dibohongi oleh realitas (misal: bayangan rumah yang berpindah-pindah karena sinar matahari, padahal rumahnya tidak berpindah), kemudian Al-Ghazali meletakkan pada akal, namun akal juga tak dapat dipercaya (ketika manusia tidur dan bermimpi, akal tidak bekerja dan bisa dibohongi), akhirnya—setelah ia dilanda skeptis—ia memilih intuisi (al-dzawq) yang datang dari Tuhan. Pemikiran ini 100% dijiplak oleh Descartes. Di penghujung usia sampai akhir hayatnya Al-Ghazali memilih jalan sufistik (Tasawuf) untuk dijalani.

Al-Ghazali berpendapat bahwa kemampuan manusia mengetahui berada dalam ruh (lathifah), ruh memiliki hubungan khusus dengan hati. Maka, kemampuan menalar ilmu berada dalam hati, inilah logika intuisi (irrasional)[13]. Al-Ghazali tentu saja tidak ngawur dengan doktrin ini, sebab kata ”hati” (qalb, fu’ad) dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 146 kali. Di bidang metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberi reaksi keras terhadap Neo-Platonisme Islam (Al-Farabi dan Ibnu Sina). Dalam bukunya, Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali menjabarkan kekeliruan para filsuf dalam 20 persoalan (16 dalam bidang metafisika dan 4 di bidang fisika). Dari 20 itu, 17 di antaranya[14] menyebabkan filsuf menjadi ahl al-bida’ dan 3 lainnya[15] menyebabkan kafir. Inilah yang satu abad kemudian dibantah oleh Ibnu Rusyd dalam bukunya, Tahafut al-Tahafut (bantahan di atas bantahan).

6. Ibnu Rusyd (Cordova 1126 – Maraques, Maroko 1217 M)

Dalam usia 19 tahun Abu al-Walid bin Muhammad bin Rusyd sudah menjadi asisten menteri dan dua tahun berikutnya sudah menjadi menteri dan hakim di Sevilla, Spanyol. Di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes dan komentator (syarih) terbesar Aristoteles. Ia lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M dari keluarga hakim dan fuqaha’, bahkan ayah dan kakeknya adalah kepala pengadilan. Ibnu Rusyd belajar filsafat, teologi dan logika kepada kiai Ibnu Thufail, belajar kedokteran pada Abu Ja’far Harun. Tidak hanya itu, Ibnu Rusyd juga belajar ilmu hadits, tafsir Al-Qur’an, matematika, astronomi, fisika dan sastra. Ia dipandang sebagai faylasuf paling menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam (700-1200 M). Keunggulannya terletak pada ketajaman analisa, kekuatan kritik dan keluasan pengaruh filsafatnya di Eropa selama lebih 5 abad, sejak abad ke 12 M[16]. Karya-karya besarnya—selain yang telah diterjemahkan oleh Michael Scott dkk ke dalam bahasa-bahasa Eropa—adalah: Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (fikih), Al-Kulliyat fi al-Thibb (kedokteran, diterjemahkan ke bahasa Latin, Coliget), Tahafut al-Tahafut (filsafat, sanggahan terhadap karya Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah. Kitab ini banyak mempengaruhi Thomas van Aquinas). Jelaslah bahwa Barat sangat berguru—dengan cara menjiplak—pada Islam.

Filsafat Ibnu Rusyd banyak dipengaruhi ustadz Aristoteles, bahkan karena kekagumannya ia mengatakan bahwa Aristotelas adalah teladan bagi otak manusia untuk mendekati akal universal, ini terlihat dalam bukunya Al-Thabi’ah (fisika). Sebagai komentator, ia banyak mengkritik al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibnu Bajjah dengan merumuskan ”Metode Pembuktian Kebenaan” melalui: metode retorika (al-khatabiyyah), metode dialektika (al-jadaliyyah) dan metode demonstratif (al-burhaniyyah). Metode retorik dan dialektik diperuntukkan bagi orang awam sdangkan metode demonstratif untuk kalangan tertentu[17]. Yang layak diteladani dari Ibnu Rusyd adalah bahwa sepanjang hidupnya ia tidak pernah berhenti membaca dan menulis, kecuali 2 malam saja, yakni malam ketika ia menikah dan malam ketika ayahnya meninggal.

d. Oleh-oleh dari para Faylasuf

Dengan menziarahi situs-situs pemikiran filsafat Islam, tidak hanya pencerahan falsafi dan kecerdasan intelektual yang kita dapatkan, tapi juga kecerdasan emosional, mental dan spiritual. Sebab, mereka adalah ulama-ulama shalihin dan mukhlishin. Sebenarnya ada banyak nama-nama faylasuf besar yang belum disebutkan dalam makalah ini, seperti kiai Ibnu Miskawih (932-1030 M, dialah pencetus teori evolusi mineral), Ibnu Bajjah (1082-1138 M, pencetus teori al-ittishal)[18], Ibnu Thufail (1110-1185 M, orang pertama yang menyatukan filsafat dengan tasawuf melalui karya sastra), Nashiruddin al-Thusi (1201-1274 M, Bapak Psikologi dan penemu optik)[19], Suhrawardi al-Maqtul (1153-1190 M, Bapak Iluminasi yang mati muda), Mulla Shadra (1571-1641 M, penyelaras rasionalisme dan spiritualisme)[20] dan Muhammad Iqbal (1873-1938)[21] Al-Afghani, (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905 M), dan Husain Thabathaba'i (1903-1989 ). Adalah tugas generasi muda ”mencambuk” kediriannya untuk membangkitkan semangat mereka, khususnya generasi Bayt al-Hikmah yang telah memperluas cakrawala pengetahuan dan prisma pemikiran modern. Kepada merekalah kita dan Barat seharusnya berterima kasih. Allahu yuwaffiquna ila sabilil-anbiya’ wal-mursalin. Salam Ta’zhim.

***
[1] disampaikan dalam Sekolah Filsafat PMII Rayon Ibnu Aqil pada 12-14 Dzulhijjah 1431 H/19-21 November 2010.
[2] alias Ach Dhofir Zuhry, sambil bertani menjadi direktur lembaga kajian Avennasar Institute, bukunya yang sudah terbit Tersesat di Jalan yang Benar (Kalam Mulia, 2007), Terjemah Shalawat Haji: Tahni’ah Li Qudumi Hujjaj Bayt al-Haram, Istighotsah dan Tafsir az-Zuhry vol. I (Nurudh-Dholam Institute, 2006) dan A’malul Yaumiyah fi Taqarrubi Rabb al-Bariyyah (YND Jakarta, 2010). Kumpulan cerpennya, Para Nabi Dalam Botol Anggur insya Allah akan terbit di Intrans Malang akhir tahun ini, kumpulan puisi Orgasme dan Matahari Tumbuh Dari Senyummu, sedang dipersiapkan untuk terbit.
[3] Muhammad ibnu Musa Al-Khawarizmi, salah satu bukunya yang diterjemahkan ke Latin adalah Algoritmi de Numero Indorum.
[4] Ibn Nadim, al-Fihrist, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, hlm. 400
[5] Muhammad al-Bahi, Al-Janib al-Ilahi min al-Tafkir al-Islami (Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1967) h. 131-134. bdk. S.I. Santoso, Capita Selecta Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Sinar Hudaya, 1977) h. 46
[6] Al-Kindi, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, ed. Abu Ridah, Kairo, 1950, Juz I, hlm. 97.
[7] Abu Ridah Muhammad (ed), Rasail al-Kindi al-Falsafiyah, (Kairo: Dar al-Fikr, 1950) h. 103-104
[8] Philip K. Hitti, History of the Arab, (London: Macmillan, 1974) h. 365-366
[9] Arthur Hyman dan James Walsh , Philosophy in the Middle Ages (New York: Happer, 1969) h. 236
[10] Al-Farabi, al-Jam‘ Bayn Ra’yay al-Hakîmayn, ed. Albert Nashri Nader, al-Mathba‘ah al-Kathulikah, Beirut, 1969, hlm. 81
[11] Dhofir Zuhry, Ach, Tersesat di Jalan yang Benar (Jakarta: Kalam Mulia, 2007) h.148 bdk. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. jil II, Jakarta: UI Press, 1978, hlm. 52
[12] Al-Ghazali, Al-Munqidz, h. 4-5
[13] Ali Isa Othman, Manusia Meuurut Al-Ghazali, terj. (Bandung: Pustaka Salman, 1981) h.130-136
[14] Diantaranya tentang Keabadian alam, waktu dan gerak; Penolakan pada sifat-sifat Tuhan; Wujud Tuhan itu sederhana dan murni; pembuktian bahwa Tuhan mengetahui dirinya sendiri; Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, dll. Lih. Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, ed. Sulaiman Dunya (KAiro: Dar al-Ma’ruf, tt) h. 85
[15] Pernyataan filsuf yang menyebabkan mereka kafir adalah: Alam kekal dalam arti tidak berawal, Tuhan tidak mengetahui perincian partikular (juz’iyat) di dunia dan Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-ajsad) di akhirat.
[16] Paul Edward, Ensyclopedia of Phylosophy, (New York: Macmillan, 1972) h. 220
[17] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gema Media Pratama, 1999 h. 116
[18] Adalah teori tentang kemampuan manusia berhubungan dengan Akal Fa’al (akal aktif) melalui ilmu pengetahuan. Teori ini dijabarkan dalam mahakaryanya Tadbir al-Mutawahhid. Lih. Madkur, Fi al-Falasifah, II h.54-56
[19] Pemikirannya yang terkenal adalah tentang penyakit jiwa dan akal teoritis yang berawal dari tiga hal, yakni: kebingungan (hairat), kebodohan sederhana (jahl al-basith) dan kebodohan fatal (jahl al-murakkab). Teori inilah yang banyak mengilhami Sigmund Freud.
[20] Pemikirannya ini tertuang dalam kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah, sebuah karya filsafat Islam paling monumental yang mnyelaraskan seluruh argumen rasional, iluminasi dari kesadaran spiritual yang merupakan puncak aktivitas intelktual. Lih. Hasyimsyah Nasution, h.174
[21] Faylasuf muslim abad 19, teorinya yang terkenal adalah tentang keabadian ego dan insan kamil.

1 komentar:

  1. assalamu'alaikum, maaf pak. untuk diktat filsafat baratnya kenapa tidak sekalian di upload? terimakasih.

    BalasHapus