Custom content

Selamat datang di blog Sekolah Tinggi Filsafat "AL-FARABI" Silahkan kirim tulisan anda ke alamat stf.alfarabi@gmail.com

MEMBEBASKAN SETAN


MEMBEBASKAN SETAN[1]
Oleh: Ach. Dhofir Zuhry


”...jarak kian menjarak, waktu kian mewaktu
jika tak bersyukur pada sang Pemberi umur
manusia hanya akan sia-sia...” (Mu’allim Tsalits)


”Jangan bebaskan dia!”, teriak seseorang berkain sarung dan mengenakan baju batik. Gepeng kenal suara lelaki tua itu, kiai Imamul Muslimin, ”Saya yang mengikatnya di pohon kamboja itu. Dia tawanan saya!”, sang kiai sedikit tergesa-gesa menghampiri mereka dan diikuti tiga puluhan warga yang ingin melihat Setan dari jarak dekat. Pagi itu rupanya Gepeng dan Gondes memaksa Setan menyebutkan angka-angka yang akan keluar pada judi togel esok hari dengan imbalan dia akan dibebaskan.
”Lho kenapa, kiai? kita cuma mau tolong dia kok”, Gepeng coba mengelak
”Ketahuilah, tidak semua pertolongan itu baik”, jawab kiai Mus dengan bijak di hadapan para warga, ”menolong orang lain berbuat jahat, kita sama dangan penjahat. Menolong Setan berarti
kita akan menemani dia ke nereka, mau ke neraka?”   
”Tidaaak”, kata orang-orang yang berkerumun hampir serempak
”Nah, lantas kenapa kiai menangkap dan menyandra Setan ini?”, tanya salah seorang warga seraya mengacungkan telunjuknya.
”Karena dia berusaha mengganggu konsentrasi saya ketika shalat tahajjud semalam. Dia...”, ujar kiai Mus sambil menjambak rambut Setan yang kumal-gimbal, ”dia merasuki pikiranku dengan video porno artis, gambar rumah dan mobil mewah. O ya satu lagi dia menawari saya jabatan di Parpol dan PNS. Saya lantas menyeretnya ke dekat kuburan ini, biar dia digigit nyamuk, kelelawar dan ular.”
”Kiai sempat tergoda dengan tawaran Setan?”, seorang di antara mereka memberanikan diri bertanya
Mendengar pertanyaan konyol itu semua orang yang hadir tertawa geli, tapi kemudian tertegun, saling pandang dan ngeri sampai akhirnya suara sang Kiai kembali bergema, ”Nah, para hadirin sekalian. Mau kita apakah Setan busuk ini?”
”Bakar!”
”Cincang saja!”
”Eit, jangan! Diawetkan saja, Kiai. nanti pajang di musium Rekor” 
”Bunuh, bunuh, bunuh!”
”Panggang saja, Kiai”
”Gunduli saja, buang sisik-sisiknya dan iris kupingnya terus arak keliling kampung”, beberapa warga saling memberi komentar dengan mengacung-acungkan kepalan tinju ke atas.
”Cukup, Setan tidak bisa kita bunuh saudara-saudara”, kiai Mus angkat bicara, ”hanya Tuhan yang tahu kapan dia akan mati. Jadi, para hadirin sekalian, percuma saja kita bakar, dia tercipta dari api. Bahkan kita tidak mungkin memaksanya untuk pensiun dini menjadi setan, banting setir jadi pemulung misalnya, tidak bisa.”
***


Jum’at kliwon jam 2.00 WIB dini hari di bulan Ramadhan, dalam keadaan sempoyongan setengah mabuk sambil sesekali batuk dan tertawa lepas tanpa sengaja sepulang dari tempat pelacuran dan berjudi, Ari Gepeng dan Dedi Gondes melihat Setan, ya Setan yang sedang meringkuk tertunduk lesu di pohon kamboja dengan kedua tangan dan kaki terikat tambang yang kokoh tak jauh dari pintu keluar pekuburan. Tak seperti yang lain, Setan yang ini terlihat pucat-pasi, kerempeng dan keceng, seperti kurang makan, lebih tepatnya mirip penderita busung lapar. Yang jelas, dalam versi mereka, ini adalah Setan yang paling tidak meyakinkan. 
Gepeng pun heran setengah kaget, ”kok Setan kelihatan malas dan tidak semangat?”, gumamnya, ”aneh ya Des! Apa karena bulan Puasa ya?”
Gondes belum yakin kalau yang dilihatya benar-benar Setan, ”hm, Setan kok kayak pecandu Narkoba, hahaha”
Sebelumnya pemandangan malas dan patah semangat itu biasa mereka saksikan sehabis pemilu dan pilkada yang lazimnya diikuti dengan ritual bunuh diri atau minimal gila. Tidak hanya itu, Gepeng dan Gondes yang sudah menekuni profesi sebagai preman pasar selama 15 tahun tak pernah menemui seorang pemalas pun di pasar. Orang Indonesia, dalam pandangan kedua preman itu, adalah pekerja-pekerja tangguh bermental baja, mereka baru tahu ada pemalas yang kelewat malas di Republik ini ketika nonton TV dan sesekali baca koran di pasar. Dari media-media itu mereka tahu bahwa banyak sekali pemalas berdasi yang ngantor di Senayan (gedung DPR), di kantor pajak, maupun di lembaga-lembaga milik negara lainnya dari ibukota sampai tingkat desa. Tapi kali ini benar-benar lain, hampir tidak mungkin. Mengapa ada Setan yang lesu dan tak bergairah, padahal biasanya Setan pantang menyerah?.
”Hei, Setan, kamu Setan kan?”, tanya si Gondes
”Sudah tahu nanya”, jawab Setan dengan sinis
”Ih, Setan ngambek, kamu kenapa?”, tanya Gepeng sambil menepuk pundak Setan yang bersisik kusam, ”ngapain bulan Puasa kamu main-main di kuburan, o ya, tapi kok tangan dan kaki kamu terikat. Jangan-jangan kamu maling ayam ya?”
”Apa! maling ayam?”, Setan menyalakan mata, ”aku tersesat di sini”
”Lho kok, biasanya kan kamu yang menyesatkan orang-orang? Aku jadi preman juga gara-gara kamu, Setan”
”Ya jangan aku terus yang disalahkan”, jawab Setan, ”manusia juga punya andil besar untuk menjerumuskan dirinya sendiri ke neraka”
Di tengah obrolan itu tiba-tiba si Gondes mencium bau busuk, seraya menutup hidungnya, dia mendekati Setan dan berkata, ”kok bau bangkai sih? Setan semprul, kamu kentut ya?”
”Enak saja! aku memang Setan, tapi tidak kentut sembarangan macam kalian”
”Sudah, sudah!”, Gepeng berusaha menengahi dan melerai mereka dengan merentangkan kedua tangannya ke samping, ”kentutnya dihirup bareng-bareng saja, nanti lama-lama juga hilang. Nah, sekarang kamu lenjutkan cerita!”
”Tidak kentut saja bau, apalagi kentut”, Gondes tampak masih menggerutu
”Ceritanya begini, aku ditugaskan pimpinan untuk pindah rumah, pindah lokasi dinas. Ini untuk kenaikan pangkat katanya!”, Setan mulai berkisah
”Oo kamu dimutasi? kamu tinggal di mana selama ini?”, Gepeng menyela
”Sebelumnya, aku tinggal di hati orang-orang Islam penggemar 3-ta. Mereka rata-rata dari kalangan pejabat dan aparat negara, makelar kasus, calo industri, selebritis dan ustadz-ustadz palsu yang suka nongol di TV maupun habib-habib kontaminasi yang sering jual minyak di makam-makam para wali. Waktu itu aku pernah ke makam Sunan Ampel, nah aku nyamar jadi anak kecil, ee...aku langsung ditawarin minyak oleh habib palsu itu, katanya kalau dioles di kepala jadi cerdas seperti BJ. Habibi, hahaha. Kalau memang bisa cerdas kenapa tidak dioles di jidatnya sendiri saja ya? Itulah manusia, serba palsu dan amatir. Orang-orang macam itu paling gampang aku tipu. Isi hati dan kepala mereka ya cuma 3-ta itu, muter-muter di situ.”
”Harta, wanita dan tahta?”, tanya Gepeng sembari menawari Setan rokok, ”terus kamu disuruh pindah ke mana oleh bos kamu?”
”Dalam surat perintah tertulis alamat baru: di hati orang-orang miskin yang beriman”, ujarnya sembari menunjuk ke arah koper di sebelahnya. Gepeng membuka koper besi itu dan menemukan selembar Surat Mutasi yang distempel dan ditandatangani langsung oleh pimpinannya, Prof. DR. Iblis, MBA, MSc, MM. Gondes pun segera menyalakan lampu senter dan perlahan membaca surat itu berikut lampirannya kira-kira 100 halaman yang berisi tentang strategi dan metode mengelabuhi manusia. Rupanya Setan sudah menggelandang tersesat di Indonesia selama 40 tahun, itu terlihat dari Surat Peritah Iblis tertanggal 26 April 1970.
”Aku sudah di Indonesia selama 40.000 tahun, bukan 40 tahun?”, Setan kembali bersuara sambil sesekali menggesek-gesekkan pipinya ke batang pohon kamboja karena digigit nyamuk
”Kok begitu?”, tanya Gondes
”Satu tahun di alam kalian sama dengan 1000 tahun di alam kami”
”Wah, Setan awet muda ya, awet jelek lagi”, Gondes berseloroh
”Aku juga awet di neraka, makanya harus cari teman macam kalian”
”Nah, terus kenapa kamu kesasar? di Indonesia ini kan banyak orang miskin!”, tanya Gepeng dan Gondes bergantian
”Tapi orang miskin yang benar-benar beriman, yang arif sikap dan bening budi, yang jernih akal dan hatinya susah dicari, Semua Nabi dan Rasul kecuali Sulaiman dan Yusuf adalah orang miskin, para wali dan orang-orang suci kebanyakan miskin. Makanya sampai sekarang aku tuna wisma, jadi gelandangan”
”Maksud kamu?”, Gepeng tampaknya belum mengerti
”Kamu tidak lihat, wajahku yang semakin terbakar menahan amarah, kedua tandukku patah, kedua mataku bernanah, kakiku pincang sebelah dan ekorku berwarna merah? Ini karena aku sudah ribuan tahun tak bisa tidur. Dulu sebelum terus-terusan tersesat dalam pencarian alamat ini, aku termasuk Setan yang gagah, ganteng lagi, dan tentu saja banyak disukai wanita”, Setan bercerita sambil sesenggukan setengah manangis, ”sudahlah, jangan tanya itu lagi! Aku jadi sedih”
Seketika itu Gepeng dan Gondes yang masih sedikit mabuk tertawa ngakak serempak, terpingkal-pingkal, ”ya ya, teruskan ceritamu! Jangan nangis ah, tambah jelek. Setan kok cengeng!”, kata Gondes
”Aku tiba di Indonesia ketika orang-orang miskin yang saleh macam Kiai Khotib Sambas, Imam Nawawi Banten, Syeikh Irsyad Banjarmasin, Kiai Abdush-Shomad Palembang, Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Mahfudh Termas, Kiai Hasyim Asy’ari[2], syeikh Ihsan Jampes, Kiai Zaini Mun’im[3], Kiai Wahid Hasyim, Bung Hatta, Kiai Agus Salim dan pejuang-pejuang kemerdakaan sudah meninggal. Bahkan sampai sekarang makam mereka dijaga ribuan malaikat spesialis penjinak Setan, mana berani aku, tuanku Iblis saja takut!”
***


”Kiai”, sambil berterik Setan mendongakkan kepala, ”ketahuilah, Setan yang sesungguhnya bukan saya, saya jahat dan menyesatkan manusia karena menjalakan tugas dari atasan. Saya hanyalah realitas fisik lemah yang telah diprogram untuk mengurangi kuota orang-orang saleh dengan menambah jumlah penduduk neraka sebanyak-banyaknya. Tapi jika Tuhan tidak berkenan, saya tak bisa berbuat apa-apa.”
”Kalau bukan kamu, lantas siapa?” kali ini Gepeng yang menarik leher Setan dan meringkusnya dengan paksa, menyeret tubuhnya ke hadapan para warga. Semua yang hadir di situ meringis menelan air liur dan memalingkan wajah.  
Setan masih meronta-ronta berusaha melepaskan diri dan masih terus melanjutkan pembelaannya, ”Setan yang sesungguhya adalah akal bulus manusia, sikap ceroboh dan nafsu binatang manusia serta hatinya yang sudah membatu. Saya hanya sedikit melakukan provokasi dan kampanye-kampanye kemaksiatan, sedikit saja, kiai. Selebihnya, manusia sudah jauh lebih hebat dari saya dalam menciptakan kerusakan di muka bumi. Manusia ultra modern sudah jauh mengungguli kami bangsa Setan dalam segala aspek kehidupan”
”Buktinya apa?”, tanya kiai Mus
”Kami para Setan tidak paham internet, tidak punya facebook, black berry dan lain-lain”, Setan tampak berapi-api membela diri di hadapan orang banyak. Ia tidak mau reputasinya semakin tersudut, ”kiai, saya rasa Setan yang paling bejat sekalipun tidak ada yang iseng membuat video porno dan menyebarkannya di internet. Saya sendiri tidak pernah merekam aktifitas intim saya bersama isteri. Kenapa? karena kami bangsa Setan punya rasa malu pada Tuhan”  
”Ah, kamu memang pembual”, kata kiai Mus, ”mana ada Setan malu”
”Betuuul, ya betul”, kata beberapa warga serempak
”Kiai, saya tahu persis isi hati kiai kok, sudahlah tak usah munafik fik fik fik. Di dunia ini siapa yang tidak suka 3-ta? Kalau kiai bebaskan saya, apa saja saya kasih. Kiai suka nikah Sirri juga kan?”, bisik Setan sambil memicingkan sebelah matanya yang juling, ”kami para Setan tidak ada yang kawin Sirri, Kiai”
”Diam kamu!”, bentak sang Kiai. Setan pun tampak pucat ketakutan dan langsung menundukkan wajah, akan tapi kiai Mus kemudian berbisik pelan, ”yang penting kan halal. Nikah Sirri kan tidak membatalkan puasa, justru menambah pahala puasa, karena nikah juga ibadah.”  
”Hadirin sekalian”, sang kiai melanjutkan sambil memeriksa arlojinya, ”sekarang saya ada jadual mengisi pengajian di kampung sebelah. Ingat, siapapun saja di antara kalian jangan coba-coba melepaskan tawanan saya ini. Saya percaya para hadirin kalian akan pegang janji, ini bulan Puasa. Tolong, jangan dibebaskan Setan ini, apapun imbalan yang ditawarkan. Sebab Setan bisa menjerumuskan kita sekalian dengan hal-hal yang kita anggap baik, dengan cara yang paling kita suka. Sekali lagi jangan bebaskan dia! Nah, kalau itu tetap saudara lakukan, berarti Anda sekalian telah membeli satu tiket dan voucher menginap gratis di Jahanam. Baiklah, besok pagi saya dan pak Lurah akan kumpulkan saudara-saudara sekalian dan seluruh warga di depan Balai Desa untuk menentukan mau kita apakan tawanan ini. Sekian terima kasih, ayo sekarang bubar.”
***


Malam harinya, dengan segala persiapan yang telah direncanakan Gepeng dan Gondes mulai mengendap-endap di balik rerimbunan semak. Mereka menghindari cahaya lampu yang sengaja dipasang oleh kiai Mus sore tadi. Setelah dirasa aman untuk menyelinap dan mematikan lampu dekat pintu masuk pekuburan, mereka langsung memutus sambungan listrik dengan tang yang telah disiapkan.
”Hati-hati, Peng”, kata Gondes sambil sesekali mendongakkan kepalanya melihat sekeliling, ”jangan sampai ada yang tahu. Aku jaga-jaga di sini”
”Beres!”
”Sssst”, suara itu mengagetkan Setan dari lamunan 
”Setan, ini aku, Gepeng”
”Ada apa, kawan?”
”Kita mau tolong kamu?”
”Nah, ayo kalau begitu, cepat sebelum kiai yang suka nikah Sirri itu datang!”
”Setan, kita mau bebaskan kamu, tapi ada syaratnya”
”Apa? katakan cepat!”
”Nomor togel, kita mau pasang empat angka”
Setan berpikir sejenak, ”oh gampang, kalian memang harus jadi orang kaya. Susah mau kaya kalau cuma mengandalkan profesi sebagai preman pasar. Kalian harus meniti karir menjadi preman yang lebih parlente, preman yang punya kantor, punya jabatan dan kuasa. Nah, ini angkanya 4108” 
Seketika itu mereka melepas ikatan tambang yang melingkar di tangan-kaki Setan. Setan tak bisa melepas sendiri ikatan itu karena tentu saja kiai Mus menyematkan bacaan-bacaan khusus dan rajah-rajah dari Kitab Suci.
”Aaah, ah ah ah ah, akhirnya aku bebas dari jeratan kiai busuk itu, aaah, ah ah ah ah. Terima kasih saudaraku, nanti aku temui kamu lagi setelah kalian jadi pejabat. Ingat, tak ada cara yang paling jitu untuk menjadi kaya selain menipu. Nah, kalian mesti kreatif di situ”, Setan menyeringai lebar memperlihakan taring merahnya yang panjang, ”Oke, selamat tinggal saudaraku. Kalu ada perlu, panggil saja aku!”
”Tunggu, kamu mau ke mana?”, tanya Gondes
”Aku mau cari orang miskin yang beriman. Di negara ini susah dicari, rata-rata orang miskin di sini sombong, angkuh, egois dan gemar foya-foya. Nah, menurut saudara sebaiknya aku ke mana, hah?”
Gepeng-Gondes saling pandang beberapa saat, seperti ada yang dipikirkan, salah satu dari mereka kemudian berkata: ”Sekarang aku sarankan kamu ke Aceh saja, di sana ada ratusan ribu orang miskin korban Tsunami yang sudah enam tahun tak diurus oleh pihak pemerintah. Kamu ke sana saja, barang kali ada orang-orang miskin yang masih beriman. Sebab Tsunami-tsunami yang lain akan segera menyusul di negeri ini, yang jelas akan semakin banyak orang susah dan miskin”
Tiba-tiba nun di kejauhan mucul kiai Mus dari arah siluet malam, ia tampak tergopoh-gopoh lari sambil mengacung-acungkan sorbannya, ”ooy, mau ke mana kamu Setan tengik? Jangan lari!”
Tak ada jawaban dari Setan, kedua preman itu pun berhambur kabur ke semak belukar. Bersamaan dengan itu kilatan api merah saga melesat ke arah langit utara yang diikuti tawa membahana membelah cakrawala.    
***

Kepanjen, 12 Ramadhan 1341 H


[1]   Cerpen ini bersama 15 cerpen lainnya dalam kumpulan PARA NABI DALAM BOTOL ANGGUR diterbitkan oleh Beranda (Intrans Publishing) Malang
[2]   Hasyim Asy’ari (1871-1947 M), pahlawan nasional dan pendiri Nahdlatul Ulama, di antara karya-karya monumentalnya adalah: Adab al-Alim wal al-Muta’allim, al-Tanbihat al-Wajibat, Durar al-Muntatsirah, Qanun Asasi, Risalah Ahlussunnah wa al-Jama’ah, al-Thibyan, Dhau’ al-Misbah, Ziyadah al Ta’liqat, al-Nur al-Mubin. Kitab terakhir inilah yang menginspirasi penulisan cerpen ini.   
[3]  Mereka adalah nama-nama yang mengibarkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia. Runtutan mata rantai (sanad)nya adalah: Imam Abu Hasan al-Asy’ari (w. 234 H) — Abdullah al-Bahili — Abu Bakar al-Baqillani — Imam Haramain al-Juwayni — Imam al-Ghazali — Abdul Karim asy-Syahristani — Fakhruddin ar-Razi — Abduddin al-Iji — Abi Abdillah as-Sanusi — al-Bayjuri — ad-Dasuqi — Ahmad Zaini Dahlan — Ahmad Khotib Sambas, Nawawi Banten — (Irsyad Banjarmasin, Abdush-Shomad Palembang), Mahfudh Termas dan Kholil Bangkalan — Hasyim Asy’ari — Zaini Mun’im — Wahid Zaini — Ach Dhofir Zuhry.

0 komentar: